Isu mengenai sertifikasi para dai atau penceramah yang sempat menjadi kritikan berbagai pihak karena dianggap absurd dan sulit direalisasikan, nampaknya membuat Kementrian Agama (Kemenag) merubah arah kebijakannya dengan berencana membuat pedoman penceramah di rumah-rumah ibadah yang berlaku untuk seluruh agama. Padahal, isu sertifikasi dai atau penceramah pada awalnya hanya difokuskan kepada para penceramah muslim yang seringkali berceramah di masjid-masjid—baik dalam khutbah Jumat atau ceramah-ceramah pada event keagamaan—terkadang ditemukan unsur-unsur materi ceramah yang bernada provokatif.
Saya kira, kasus serentetan demonstrasi umat Islam yang sangat besar bisa jadi merupakan entry point bagi pemerintah untuk mengatur dan membuat standarisasi ceramah keagamaan di rumah-rumah ibadah agar tidak lagi ada unsur-unsur penyebaran kebencian yang sangat mengganggu hubungan sosial dan juga toleransi.
Kebijakan pemerintah mengenai hal ini, telah sangat gamblang dijelaskan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin bahwa akan dibuat standarisasi yang diberlakukan kepada para penceramah, para pengelola rumah ibadah serta masyarakat yang hadir (dalam rumah ibadah) agar memiliki persepsi yang sama, mengenai apa yang “boleh” dan apa yang “tidak boleh” ketika sebuah kegiatan ibadah dengan model ceramah digelar. Bagi saya, ukuran “boleh” dan “tidak boleh” justru masih menyisakan pertanyaan,
bolehnya kenapa dan tidak bolehnya karena unsur apa. Jika “boleh” atau “tidak boleh” kemudian diukur oleh standar nilai-nilai masyarakat, baik agama, budaya atau keyakinan, jelas tidak akan memiliki standarisasi kesamaan. Sangat sulit rasanya mengukur standarisasi melalui parameter “boleh” dan “tidak boleh” karena jika kemudian disangkutkan kepada materi ceramah yang tertulis, misalnya, ceramah pada akhirnya akan bersifat monoton, hanya yang “lolos seleksi” saja ceramah itu boleh dilaksanakan.
Lalu bagaimana jika ceramah itu tidak tertulis? Ini akan menyisakan banyak pekerjaan yang akan lebih sia-sia lagi, karena sebuah pedoman umumnya tidak akan mengikat seperti regulasi atau undang-undang yang berimplikasi hukum. Lagi pula, bagi saya, seorang penceramah di rumah ibadah, seperti masjid misalnya, adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan agama yang tentu saja sangat paham dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang tertuang dalam ajaran agama,
terlebih bahwa ceramah itu disampaikan di rumah ibadah bukan dilakukan diluar rumah ibadah. Membuat pedoman standar yang kemudian diberlakukan kepada beberapa objek, baik penceramah, pengelola rumah ibadah dan mereka yang hadir justru semakin absurd, karena masing-masing adalah objek yang berbeda latar belakangnya.
Jika kemudian pedoman ini dibuat berdasarkan kesepakatan para ulama dan tokoh agama sekalipun, pasti akan memiliki pandangan yang berbeda-beda dan tidak seragam. Jangankan soal standarisasi ceramah, soal standarisasi penanggalan awal Ramadhan dan Idul Fitri saja seringkali berbeda, meskipun pada akhirnya pemerintah tetap membuat keputusan final dengan membuat keseragaman walaupun ada yang tidak mau mengikuti ketetapan pemerintah.
Belum lagi, bahwa soal standar ceramah ini kemudian diberlakukan kepada seluruh umat beragama, mungkin bisa dibayangkan begitu repotnya para pemuka agama “menyamakan persepsi” soal standarisasi ceramah yang nantinya mengatur, tidak hanya penceramah dan pengelola rumah ibadah juga audiens yang mendengarkannya. Saya kira, membuat aturan secara spesifik, tetapi berkait dengan himbauan moral yang luas, terlebih berlaku untuk seluruh umat beragama, adalah harapan utopis.
Saya khawatir, bahwa perumusan pedoman standar ceramah ini hanya mengikuti “tekanan” dari penguasa yang terlampau takut dengan berbagai macam kritikan yang datang justru dari berbagai kalangan agama, terutama umat Islam. Padahal, berbagai regulasi yang mengatur larangan hatespeech atau penghinaan terhadap siapapun, baik dalam media sosial atau media verbal, sudah secara tegas dijalankan. Unsur-unsur perbuatan yang melawan hukum saya kira sudah menjadi bagian kesadaran setiap warga negara tak terkecuali,
untuk selalu hati-hati dan waspada terhadap setiap apa yang ditulis dan diungkapkannya di hadapan publik. Jika memang itu mengandung implikasi hukum, maka konsekuensinya adalah siapapun akan berhadapan dengan hukum dan diproses sesuai hukum dan aturan yang berlaku. Sehingga, bentuk-bentuk “pemaksaan” atau “rekayasa” dengan membuat standarisasi soal ceramah, misalnya, saya kira bukanlah esensi dari upaya menyadarkan umat soal pentingnya menjaga toleransi keagamaan.
Lagi pula, masyarakat saat ini sudah lebih cerdas, untuk memilah dan memilih mana yang harus diikuti oleh dirinya dan mana yang tidak. Terlebih di era keterbukaan informasi dan penegakkan demokratisasi justru memberikan keluasan kepada siapapun untuk mengeluarkan pendapat di muka umum yang memiliki jaminan dalam undang-undang. Jika konsep standarisasi ceramah yang kemudian ditetapkan pemerintah hanya menyasar ceramah-ceramah keagamaan saja, lalu bagaimana jika bukan ceramah keagamaan tetapi justru mengundang provokasi dan hasutan kebencian? Ini jelas berakibat pada kecurigaan publik,