Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Zakat "Wajib" bagi PNS Muslim, Bagaimana Pengelolaannya?

6 Februari 2018   15:00 Diperbarui: 7 Februari 2018   10:05 1823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

Baru-baru ini, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mengemukakan usulannya untuk menarik zakat sebesar 2,5 persen kepada PNS atau ASN muslim yang kebijakannya akan dituangkan dalam bentuk Keppres yang disebutnya sebagai "zakat khusus" ini. Mungkin istilah "khusus" dilabelkan, karena zakat model ini berupa kegiatan sukarela yang diberlakukan bagi PNS dan sifatnya tidak wajib. Jika ada yang keberatan, maka PNS diperbolehkan untuk tidak mengeluarkan zakatnya. 

Usul Menag ini selanjutnya mendapat apresiasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) jika benar-benar usul ini diimplementasikan. MUI bahkan memperluas, zakat tidak hanya diwajibkan bagi PNS atau ASN saja, namun dapat juga menyasar sektor lain, seperti TNI atau Kepolisian.

Bagi saya, soal zakat ini selalu menarik perhatian, karena selain terkait dengan pengelolaan keuangan hasil zakat yang harus transparan, juga mengenai distribusinya yang harus tepat sasaran kepada mereka yang berhak dan membutuhkan. Sejauh ini, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) terus menunjukkan capaian hasil zakatnya yang semakin meningkat. 

Tahun 2018 ini saja, mereka mengklaim target pengumpulan zakat mencapai 7,8 triliun yang meningkat 1 triliun lebih dibanding pada 2017 lalu, hanya berada pada angka 6 triliun rupiah. Ini adalah angka perolehan zakat yang cukup fantastis dan jika dikelola untuk memberdayakan umat, sangat masuk akal jika seharusnya dapat mengurangi tingkat kemiskinan dalam masyarakat terlebih jika mampu bersinergi dengan pemerintah yang mengelola aset berupa dana-dana sosial.

Angka 7,8 triliun target Baznas di tahun ini, tentu saja diluar "kewajiban" PNS atau ASN yang akan dipungut sebesar 2,5 persen nantinya dari penghasilan dirinya, sehingga dapat dibayangkan angka perolehan zakat tentu saja akan semakin meningkat jika benar-benar direalisasikan. Pengelolaan zakat yang baik dan terstruktur, tentu tidak saja dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, namun jauh dari itu semua, setiap pribadi muslim yang taat zakat akan menjadi pribadi yang suci dan bersih---bahkan terhapus dosanya---karena zakat sejatinya adalah "dosa" dan "kotoran" yang menempel pada harta yang kita miliki, sehingga "wajib" dibuang dengan cara disedekahkan kepada yang berhak menerimanya.

Itulah kenapa kemudian istilah "zakat" dalam ajaran Islam terkait dengan sesuatu hal yang "tumbuh" (an-namaa'u) dan juga "berkembang" (az-zaad). Sesuatu yang tumbuh atau berkembang, tentu saja harus menghilangkan segala "benalu" atau "hama" yang menempel, jika ingin pertumbuhannya subur dan baik. Tidak mungkin sesuatu yang tumbuh baik itu masih tersisa "kotoran" didalamnya, karena sudah pasti sulit berkembang apalagi dapat memberikan kemanfaatan kepada yang lainnya. 

Lalu, jika zakat dalam hal pengelolaannya berkembang tetapi tidak memberi manfaat kepada yang lain, bisa dipastikan masih ada "benalu-benalu" liar yang menempel yang sudah seharusnya dibersihkan. Makna filosofis dari zakat sangatlah mulia dan berdampak secara luas terhadap perkembangan dan pertumbuhan kehidupan manusia, karena melalui zakat, setiap muslim "dibersihkan" sekaligus mendorong tumbuh kembang masyarakat dalam berbagai segi kehidupannya.

Saya selalu sepakat dengan upaya pemerintah---dalam hal ini Kemenag---jika memang akan membuat kebijakan soal zakat yang "khusus" diwajibkan kepada abdi negara yang beragama Islam. Namun, sejauh ini, perolehan dana zakat yang sedemikian besar yang pengelolaannya ada di lembaga zakat negara, dirasakan masih kurang optimal pengelolaannya.Bagaimana tidak, jumlah masyarakat dalam garis kemiskinan tetap saja stagnan yang pada tahun 2017 saja angka penduduk miskin Indonesia masih sekitar 27 juta orang tak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya.

Zakat dan segala pengelolaannya--baik soal kapan dikeluarkan dan penerimaan dan pendistribusiannya--sangat terkait dengan teknis ilmu fiqih yang memang harus dibahas bersama dengan para ahli agama Islam, termasuk didalamnya MUI dan juga ormas-ormas Islam terkait. Zakat tidak serta merta dapat "diwajibkan" melalui sebuah kebijakan pemerintah--berbeda dengan pajak--karena terkait aturan fiqih yang melingkupinya. 

Zakat dalam perspektif fiqih terkait dengan "zakat pribadi" (zakatul badan) dan "zakat kepemilikan" (zakatul maal). Keduanya terikat dengan "waktu" (haul), "ukuran" (nishab), serta soal "terpenuhinya kesempuraan jumlah harta" (saumun wa milku at-taam). Keseluruhan syarat yang diperlukan dalam hal pengeluaran zakat tentu saja tidak identik dengan pajak, yang jika penghasilan sudah mencapai jumlah tertentu, maka seseorang terbebani kewajiban pajak.

Saya justru membayangkan, jika seorang ASN atau PNS hanya berada pada golongan I atau II yang tidak mempunyai tunjangan jabatan dengan penghasilan hanya pas-pasan disamakan dengan mereka dengan golongan lebih tinggi yang memiliki tunjangan jabatan dan previlege lainnya dari negara dalam soal kewajiban zakatnya yang 2,5 persen (prorata), justru ini bisa masuk kategori "kezaliman", apalagi zakat terikat dengan faktor-faktor fiqhiyyah yang disesuaikan kemudian dengan "kesempurnaan harta kepemilikan" yang telah mencapai "nishab" seseorang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun