Mencermati sepak terjang Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, kuat sekali tendensi ada agenda politik yang diincar Gatot setelah pensiun dari TNI pada Maret 2018 mendatang. Jokowi nampaknya paham hal ini.
Kelihatannya, Jokowi tidak akan mengulang kesalahan yang dilakukan seniornya, Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia ke-5.
Dulu Megawati mengalami suasana “revalitas” dengan SBY. Mega mengucilkan SBY di kabinet, yang berujung pengunduran diri SBY dari kursi Menko Polkam, 11 Maret 2004. Sebuah blunder politik yang barangkali akan terus disesali Megawati sepanjang sisa hidupnya.
Jokowi pintar membaca sejarah dan mengambil pelajaran darinya. Gatot dibiarkannya terus menjabat Panglima TNI hingga mengakhiri karirnya dengan baik. Pilihan politik Jokowi demikian adalah sangat terpuji.
Gatot Nurmantyo telah merintis karir militer di TNI selama puluhan tahun. Sebagai presiden, panglima tertinggi dan seorang kesatria adalah terpuji Jokowi membiarkan Gatot mengakhiri karirnya dengan cemerlang dan tanpa cela.
Jokowi sekaligus memperlihatkan kelasnya. Sebagai presiden, Jokowi tidak dalam posisi bersaing dengan bawahannya. Merasa bersaing pun tidak boleh, apalagi menujukkan sikap sedang bersaing.
Jokowi diyakini tidak memperlihatkan perubahan sikap pada Gatot Nurmantyo. Keadaan ini membuat Gatot merasa nyaman untuk terus menunjukkan loyalitas pada presiden. Bisa dilihat kekompakan Gatot dan Jokowi dalam banyak momen.
Jokowi benar-benar menunjukkan sikap seorang negarawan yang berkelas, elegan dan kesatria tiada tara. Gatot pun memperlihatkan kelasnya pula sebagai seorang Panglima TNI.
Adalah hak setiap warga negara, termasuk Gatot Nurmantyo, untuk menduduki posisi politik apapun selepas pensiun dari TNI, jika benar Gatot mengincar posisi politik pascapensiun.
Jokowi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin, pengatur strategi yang cemerlang, dan pengelola konflik tingkat tinggi yang tiada duanya. Semua akan berakhir sama-sama enak, tapi tetap Jokowi keluar sebagai pemenang di 2019.(*)
SUTOMO PAGUCI