Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tragedi SMPN 1 Turi, Musim Penghujan Bukan Waktu yang Tepat untuk Susur Sungai

22 Februari 2020   00:07 Diperbarui: 22 Februari 2020   18:26 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pencarian korban di sungai sempor sleman | Sumber Gambar: (Dok.Pusdalops DIY)

Dunia pendidikan kembali berduka. Kali ini bukan terkait dengan korban bullying, tindak asusila, maupun kekerasan di lingkungan sekolah. Namun, terkait dengan salah perhitungan dalam kegiatan susur sungai, yang menyebabkan sejumlah siswa terseret bajir.

Data sementara korban tewas 7 orang, masih dalam pencarian 3 orang, luka-luka 23 orang, dan 216 orang siswa lainnya terkonfirmasi selamat. (Sumber)

Total 249 orang siswa mengikuti kegiatan pramuka yang diselenggakan sekolah. Kegiatannya susur Sungai Sempor di Dusun Dukuh, Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (21/2/2020) sore.

Saat kegiatan susur sungai berlangsung, aliran air Sungai Sempor tiba-tiba menjadi deras sehingga sejumlah murid terseret arus. Dikabarkan, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Turi , Tutik Nurdiana tidak diberi tahu terlebih dahulu meskipun ia mengakui kegiatan susur sungai rutin dilakukan. (Sumber)

*

Kondisi musim penghujan memang tidak mudah diprediksi. Hujan dapat terjadi setiap hari. Mendung tebal belum berarti turun hujan merata ke semua wilayah. Sebaliknya hujan lebat pada suatu kawasan dapat berdampak banjir ke daerah lain, meski daerah itu kering tanpa hujan.


Agaknya hal terakhir itu yang kurang diwaspadai oleh orang-orang yang beraktivitas di sepanjang aliran sungai. Namun, bisa jadi karena kurang waspada. Atau tidak mempunyai informasi cukup lengkap apa yang harus dilakukan bila hal-hal tidak diinginkan tiba-tiba terjadi.

Meski persiapan cukup memadai, tetapi perubahan cuaca yang tiba-tiba tidak dapat diantisipasi dengan cepat pula. Seperti yang terjadi belum lama ini di Kabupaten Karawang.

Tiga mahasiswa Universitas Singaperbangsa (Unsika) meninggal dunia setelah terjebak di Goa Lele, Kampung Tanah Bereum, Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, Senin (23/12/2019).

Caving atau susur gua dilakukan 15 orang mahasiwa, terdiri atas 9 mahasiswa Persika Karawang, dan 6 mahasiswa Polibisnis Purwakarta. Dari jumlah itu 8 orang masuk ke dalam gua, dan sisanya berjaga di luar gua.

Persiapan fisik dan peralatan tak ketinggalan. Cuaca juga cerah sebelum diputuskan rencana susur gua dilanjutkan.

Beberapa saat setelah para mahasiswa masuk ke dalam gua, cuaca tiba-tiba mendung dan turun hujan. Informasi segera dikirim para mahasiswa yang ada di dalam gua.

Mereka berjuang keras untuk segera naik ke permukaan gua, tetapi air lebih cepat datang. Air dari segala arah dan segera menyerbu lubang gua. Lima orang mahasiswa selamat, tapi tiga orang kehabisan oksigen dan tewas. (Sumber)

*

Pelajaran yang perlu dipetik dari dua peristiwa di atas yaitu keharusan memasang kewaspadaan tinggi bila mengadakan kegiatan di alam pada musim penghujan. Tetapi bila tidak sangat mendesak lebih baik dipindahkan waktunya ke waktu lain yaitu pada musim kemarau.

Musim penghujan, jangankan yang sengaja hendak "menaklukkan" alam; sedangkan yang berdiam diri di dalam rumah saja dapat tertimpa bencana: banjir, tanah longor, menjadi korban hewan berbisa, dan lainnya.

Untuk peristiwa terseret banjir kemungkinan besar prosedur sederhana, yaitu masalah komunikasi, tidak dijalankan dengan baik. Artinya, bila banjir menjadi salah satu kemungkinan yang terjadi dan menjadi penyebab terganggunya kegiatan (bahkan meminta korban jiwa), mestinya ada petugas monitoring di hulu sungai.

Kejadian di Sleman tentu berbeda dengan di Karawang. Perbedaannya, di Karawang kondisi gua ada di bawah permukaan tanah sehingga air hujan (banjir) meluncur deras. Belum lagi aliran dari sisi-sisi gua. Bisa saja air tidak datang dari mulut gua, tetapi dari sisi-sisi gua. Akibatnya sama, sangat fatal dan mematikan.

Hal kedua, pada susur sungai di Sleman pesertanya sangat banyak. Kemungkinan besar masalah komunikasi antarsiswa, siswa dengan pembimbing, tidak dapat serentak dilakukan. Bisa saja antara siswa yang paling depan dengan siswa yang paling belakang jaraknya cukup jauh.

Bila melihat sepintas aliran sungai (melalui berita di layar televisi) tidak ada bantaran sungai yang memungkinkan siswa menyelamatkan diri ke luar sungai. Kemungkinan lain, aliran sungai terlalu besar sehingga arus air sampai ke bibir permukaan tanah.

*

Andai saja para mahasiswa yang turun ke dalam gua membekali diri dengan tabung oksigen, kalau saja pada susur sungai ada petugas khusus yang memantau kondisi sungai di hulu dan setiap siswa membekali diri dengan pelampung meski sederhana (ban dalam mobil bekas, pelampung plastik, dsb.)

Namun tentu saja kita tidak bisa berandai-andai di saat musibah terlanjur terjadi. Korban tewas tak terelakkan.

Lepas dari tudingan Bupati Sleman Sri Purnomo bahwa susur sungai di musim penghujan merupakan kecerobohan, mudah-mudahan hikmah di balik itu dapat dipetik. Yaitu pembelajaran penting. Pembelajaran bagi dunia pendidikan bila akan melakukan kegiatan serupa.

Keselamatan tetap harus diutamakan. Hindari aktivitas susur sungai pada musim penghujan. Persiapan yang baik saja belum cukup. Perlu upaya antisipasi bila hal terburuk terjadi. *** Sekemirung, 21 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun