Pergi dan pulang itu persoalan transportasi saja sebenarnya. Tentu termasuk konsekuensi biaya beserta persyaratan maupun bekal selama perjalanan dan di tempat tujuan. Artinya, siapa pergi ya nanti kapan-kapan, atau kelak, akan kembali alias pulang.
Tapi malu? Ke mana wajah ini harus kusembunyikan? Dulu pergi dengan gagah dan seolah ogah menengok ke belakang. Apapun masa lalu hapus dan hilangkan. Tapi harap tak tergapai, tinggal mimpi. Yang bersisa semata malu.Â
Tak salah pepatah lama mengatakan: "Daripada berputih mata lebih baik mata berputih tulang." Lebih memilih mati dengan terhormat daripada menanggung malu akibat harga dirinya tercabik-cabik. Sudahlah salah langkah, lalu kalah, dan kemudian terasa semuanya punah.
Kini pilihan tinggal dua: pulang malu, gak pulang rindu. . . . . ah ah. Seperti cerita dalam roman picisan zaman beheula saja.
*
Ungkapan di atas berlaku pula untuk eks WNI dan eks ISIS. Jumlah mereka 600 orang lebih, bukan angka kecil, dan konon dulu mereka pergi untuk berjihad. Ya, mereka pergi ke medan perang, memerangi atau diperangi.
Kalau belakangan muncul alasan lain itu sekadar basa-basi dan argumentasi yang bukan dari lubuk hati. Apalagi ada yang berkilah pergi untuk memperbaiki hidup.
Tetapi yang terjadi sebenarnya mereka merasa tertipu, terhasut, terpecundangi, dan kata lain serupa itu. Intinya, mengharap burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan. Nah, begitulah jadinya. Kalah, malu, minta pulang.
Ya, ISIS kalah dan terbuka akal-akalan dibalik itu. Terkuak agama sebagai  topeng alias kedok untuk  menutupi boleng-belang-borok-busuk.Â
*
Berbagai sepak terjang ISIS sudah lengkap diberitakan dan diulas media. Pertempuran demi pertempuran dengan berbagai perilaku mereka selama perang lengkap dibeber media.