Sudah menjadi rumus absolut dari sistem demokrasi bahwa mayoritas adalah segalanya. Suara mayoritas merupakan penentu akhir dari setiap keputusan menyangkut kelompok yang lebih besar (mayoritas dan minoritas). Seandainya pun ada nilai musyawarah dan mufakat (sebelum voting), maka itu tidak lebih dari bumbu kearifan lokal yang coba ditanamkan elit negeri ini dalam demokrasi yang lebih meng-Indonesia.
Dalam sejarah kepresidenan RI, sampai dengan yang ketujuh, yang baru beberapa hari terakhir dilantik, ternyata tidak ada satupun darah Sunda menyelip di antaranya. Padahal etnis Sunda merupakan etnis terbesar kedua setelah etnis Jawa. Menjelang 70 tahun kemerdekaan, ternyata ruang (atau kesempatan) itu belum pernah (atau sempat) disediakan untuk orang Sunda. Bahkan etnis Bugis yang jauh lebih sedikit saja pernah menyumbangkan putra terbaiknya menjadi Presiden RI.
Pertanyaannya, tidak adakah putra terbaik dari tanah Sunda yang bisa dipandang pantas menjadi Presiden, atau minimal nyapres? Sejak dahulu di pentas nasional boleh jadi tidak terhitung lagi banyak ki Sunda yang malang melintang, sebut saja nama-nama seperti Ali Sadikin, Umar Wirahadikusumah, Ginanjar Kartasasmita, dll.
TAPI, bagi saya, orang Sunda justru tidak perlu berkecil hati. Bagaimanapun kontribusi orang Sunda bagi bangsa ini sangatlah besar. Budaya dan adat Sunda yang menerima dan menghargai orang lain juga turut menjadi fondasi kokoh dalam konteks keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk memahami mengapa orang Sunda tidak ricuh dan mengusik persoalan ini, ada baiknya kita memahami orang Sunda dalam konteks historis, sosiologis dan antropologisnya. Dalam bahasa sederhananya dapat diuraikan secara singkat seperti berikut:.
- Adalah fakta bahwa orang Sunda memiliki kesadaran kolektif untuk menyumbangkan dan merelakan tanah leluhurnya menjadi pusat sosial, ekonomi dan politik nasional. Inilah sumbangan terbesar orang Sunda, yang tidak dilakukan oleh etnis lain. Jawa Barat dan Jakarta (Sundakelapa) adalah tanah Sunda yang sampai saat ini mengelola 80% perekonomian nasional.
- Orang Sunda juga sangat identik dengan identitas Islam, yang menjadi agama mayoritas di Indonesia. Sangat aneh atau jarang mendengar ada orang Sunda beragama di luar Islam. Bandingkan dengan suku Jawa yang relatif lebih toleran atau permisif dalam beragama, di mana banyak ditemukan keragaman beragama. Maka akan sangat mudah bagi orang Sunda untuk menerima Presiden dari kelompok manapun, etnis apapun, selama agamanya Islam. Mereka tidak akan terlalu mempermasalahkan kesukuan, pada akhirnya. Bagi mereka, posisi wapres yang dipegang oleh misalnya Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, atau Try Soetrisno (berdarah setengah Sunda) mungkin sudah lebih dari cukup.
- Orang Sunda tidak mau dipanggil Jawa. Ada teman saya dari Aceh yang terheran-heran dan bertanya kenapa orang Sunda enggan disebut orang Jawa, padahal tinggal di pulau Jawa. Ini pun seperti semacam konvensi atau kesepakatan tidak tertulis, Jawa Barat (dan Jakarta) memang bukan bagian dari pulau Jawa. Sehingga kalau orang mau mudik dari Jakarta ke Surabaya, Semarang atau Jogja, maka mereka menyebutnya mau mudik ke Jawa. Dikotomi Jawa - Sunda ini sudah menjadi semacam kesepakatan tidak tertulis. Mungkin ada unsur historis yang turut menyumbang mengapa pembedaan ini terjadi, semisal perang bubat di jaman kerajaan baheula.
- Merujuk ke ilmu geografi, tanah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa (termasuk Brunei dan Malaysia bagian timur) itu masuk dalam gugusan yang disebut Sunda besar, sementara ke sebelah timur Indonesia dikelompokkan menjadi gugusan Sunda kecil. Penamaan Sunda ini bukan tanpa alasan, karena berkaitan erat dengan kehadiran etnis Sunda itu sendiri.
Kebesaran nama Sunda tidak ditentukan oleh ada tidaknya orang Sunda yang jadi Presiden. Sejarah sudah menunjukkan apresiasinya yang tinggi terhadap ki Sunda, seperti dibahas di poin-poin di atas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI