Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Homoseksualitas: Sebuah Sekapur Sirih

1 Agustus 2018   00:56 Diperbarui: 1 Agustus 2018   11:58 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
theauthenticgay.com

Kebutuhan untuk memahami isu ini dengan benar semakin besar seiring dengan dikeluarkannya surat Pernyataan Pastoral PGI tentang LGBT oleh Majelis Pekerja Harian PGI pada tanggal 28 Mei 2016. Pernyataan yang ditandatangani oleh Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat sebagai ketua umum dan Pdt. Gomar Gultom sebagai sekretaris umum ini menghimbau jemaat untuk tidak mempersoalkan LGBT, karena LGBT bukanlah persoalan. Yang menjadi persoalan adalah ketidakmampuan banyak gereja untuk mengerti isu homoseksualitas. Benarkah demikian?

Dengan semangat untuk memainkan sebuah peranan kecil dalam menjernihkan situasi di atas, saya telah memberanikan diri menulis artikel ini. Satu artikel jelas tidak akan memadai untuk meniadakan semua kekaburan. Diskusi seputar homoseksualitas menyentuh beragam aspek yang kompleks dan rumit. Walaupun demikian, penjelasan di bawah ini diharapkan bisa berfungsi sebagai sebuah pengantar yang objektif dan komprehensif bagi aspek-aspek terkait.

Istilah "homoseksualitas" pertama kali muncul di Jerman pada tahun 1869 dalam sebuah surat terbuka yang ditulis oleh Karl Maria Kertbeny dan ditujukan pada pejabat hukum/keadilan di sana. Walaupun istilah ini baru muncul pada abad ke-19 Masehi, gaya hidup homoseksual sendiri sudah dijalani oleh sebagian orang sejak lama. Tidak salah jika Alkitab mengajarkan bahwa tidak ada yang baru di bawah matahari (Pkh. 1:9).

Alkitab yang ditulis ribuan tahun yang lalu pun sudah menyinggung tentang praktik homoseksualitas. Larangan Alkitab terhadap homoseksualitas tentu tidak diberikan tanpa alasan. Larangan di Perjanjian Lama (Kej. 19; Im. 18:22; 20:13; Hak. 19) seyogianya dipahami dalam perbandingan dengan praktik homoseksual di Timur Dekat Kuno. Begitu pula dengan larangan yang sama di Perjanjian Baru (Rm. 1:24-27; 1Kor. 6:9-11; 1Tim. 1:9-11) yang harus dilihat dalam konteks homoseksualitas di budaya Yunani-Romawi kuno. Berdasarkan catatan yang tersedia, homoseksualitas (dan hal-hal lain seputar seks) tampaknya tidak terlalu tabu bagi masyarakat Yunani-Romawi jika dibandingkan dengan masyarakat Yahudi. Laki-laki Romawi tidak didorong oleh warisan budaya mereka untuk mengkategorikan, juga untuk mengevaluasi dan menilai tindakan-tindakan maupun pelaku-pelaku seksual hanya atas dasar apakah pihak yang terlibat itu antar laki-laki atau laki-laki dengan perempuan.

Homoseksualitas juga ditemukan sejak dahulu pada beragam budaya lain di Eropa, Asia, maupun Afrika. Sebagai contoh, catatan tertua tentang gaya hidup ini di Tiongkok berasal dari Dinasti Shang (abad ke-16 sampai ke-11 SM). Di Indonesia sendiri komunitas homoseksual (dalam arti "banci") mulai ada di beberapa kota perdagangan sejak awal tahun 1800.

Situasi Baru yang Memprihatinkan

Apa yang sudah lama ada, kini dibicarakan lagi. Kali ini dengan atmosfir yang berbeda. Perhatian penduduk dunia terhadap isu ini semakin meningkat tajam seiring dengan keputusan Pengadilan Tertinggi Amerika Serikat yang mengesahkan gaya hidup homoseksualitas pada pertengahan tahun 2015. Para penganut homoseksualitas tidak lagi merasa diperlakukan sebagai noda dalam masyarakat maupun warga negara kelas dua.

Jadi, apa yang baru dalam diskusi seputar homoseksualitas? Bukankah isu ini selalu mencuat di setiap zaman? Yang baru adalah legalisasi dan perubahan perspektif secara institusional. Pada zaman dahulu homoseksualitas kadangkala memang dibiarkan, namun juga tidak ada upaya untuk membenarkan praktik itu secara hukum. Beberapa abad yang lalu sikap terhadap homoseksualitas lebih sebagai pendirian pribadi dalam tatanan sosial tertentu. Beberapa catatan bahkan menunjukkan penolakan komunal terhadap praktik ini, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun legal.

Kini semua berubah. Kekuatan legal sudah di tangan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) dan kelompok yang mendukung mereka. Apa yang dilegalkan dianggap sebagai ukuran, seolah-olah keputusan legal selalu benar dan melulu didasarkan pada pertimbangan moral. Banyak orang terlihat telah melupakan suatu fakta penting bahwa ada banyak faktor dan kepentingan yang turut melahirkan sebuah keputusan legal.

Situasi yang baru ini menempatkan para penentang homoseksualitas pada situasi yang kurang menguntungkan. Mereka harus bersiap-siap mendapat berbagai label negatif: anti-hukum, anti-sosial, super-fanatik buta, dan lain sebagainya. Salah satu contoh adalah reaksi publik terhadap komentar juara tinju kelas berat Tyson Fury di tahun 2015. Kritikan Fury terhadap homoseksualitas dianggap mengganggu dan melukai perasaan banyak orang. Kontroversi pun bermunculan. Terlihat sekali bahwa resistansi dikenakan bukan pada cara penyampaian Fury, tetapi lebih kepada isi pernyataannya. Tidak peduli seberapa santun penolakan terhadap LGBT disampaikan, stigma negatif tetap akan dilekatkan pada para penentang homoseksualitas.

Bagaikan sebuah bola salju, keputusan legal di Amerika Serikat tidak akan berhenti sampai di situ saja. Keputusan tersebut berpotensi melahirkan wacana-wacana baru yang selama ini ditabukan atau - paling tidak - diabaikan. Jika gaya hidup seksual semacam ini sudah diberi ruang dalam konstitusi, tidak sulit untuk membayangkan bahwa beragam gaya hidup seksual lain yang selama ini ditabukan juga akan dipertimbangkan ulang di kemudian hari.

Bukan hanya melahirkan wacana-wacana baru di bidang seksualitas, legalitas homoseksual juga membawa pengaruh besar dan luas di bidang-bidang lain. Sebagian gereja dipaksa untuk memikirkan ulang sikap mereka terhadap homoseksualitas maupun cakupan disiplin gerejawi terhadap homoseksualitas. Kegagalan melalukan adaptasi semacam ini akan semakin memperkuat stigma negatif terhadap gereja sebagai komunitas yang berpikiran picik dan anti-sosial. Materi-materi pembelajaran yang lama dengan bahasa dan ungkapan di dalamnya yang kadangkala kurang sensitif terhadap perasaan LGBT perlu direvisi. Tidak tertutup kemungkinan, beberapa hal sepele dan praktis yang berkaitan dengan aspek seksual juga akan disesuaikan, misalnya pembedaan toilet sesuai jenis kelamin.

Di tengah budaya global yang tercipta melalui teknologi dan media seperti sekarang, apa yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menjadi bahan percakapan di berbagai tempat. Posisi Amerika Serikat yang sangat menentukan di mata dunia bisa mendorong banyak orang di banyak tempat untuk mengikuti jejaknya. Kita yang berada di Indonesia tidak boleh meremehkan kemungkinan ini. Semua bisa terjadi. Siapa menyangka bahwa negara yang didirikan oleh orang-orang Kristen yang saleh (seperti Amerika Serikat) pada akhirnya menjadi seperti sekarang? Siapa mengira bahwa kerja keras para pendukung homoseksualitas sejak tahun 1990 akhirnya membuahkan hasil seperti sekarang?

Situasi sejarah tentang homoseksualitas modern di Indonesia tampaknya memberikan sinyal bahwa jalan ke arah sana tidak sesempit dan sesulit yang dipikirkan oleh banyak orang. Sejak awal tahun 2000, komunitas homoseksual di beberapa kota besar di Indonesia (Surabaya, Bali, Makassar) mulai terbentuk secara resmi, walaupun tempat mangkal mereka di beberapa bagian kota ini sudah ada sejak awal 1980. Tidak seperti tradisi bencong/waria yang agak mengagetkan para pengunjung luar negeri, karakteristik homoseksualitas modern di Indonesia lebih ke arah peniruan gaya hidup Barat, dan sebagai akibat dari pengaruh globalisasi lewat media dan teknologi.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, gereja tidak boleh berdiam diri dan berpangku tangan. Sama seperti gereja di abad permulaan ditantang untuk memberikan respons Kristiani, demikian pula gereja diundang untuk berpartisipasi secara konstruktif dalam persoalan homoseksualitas di abad ke-21 ini. Apakah gereja mumpuni dan berani dalam menyuarakan kebenaran dengan semangat yang penuh kasih?

Kosakata baru

Isu seputar homoseksualitas sebenarnya bukan hal baru bagi saya. Pada waktu saya masih duduk di bangku sekolah dasar, ada seorang laki-laki yang sudah sering menjadi bahan ejekan teman-teman saya. Gayanya terlihat begitu feminin. Kegemarannya untuk bermain dengan perempuan meyakinkan teman-teman saya bahwa ia memiliki selera seksual yang berbeda dengan banyak orang pada umumnya. Satu kata yang menggambarkan dia adalah “banci”. Kosakata yang sama digunakan untuk beragam perilaku lain yang sejenis. Satu kata untuk semua.

Kini situasi sudah berubah. Berbagai istilah baru diperkenalkan. Bagi sebagian orang, istilah-istilah itu tampak membingungkan. Bahkan beberapa orang yang mampu menyebutkan kepanjangan LGBT pun tidak sedikit yang belum memahami arti tiap kata di dalamnya. Di luar LGBT kita masih memiliki sekumpulan istilah lain yang juga perlu untuk diketahui.

Bahkan para pakar pun masih memperdebatkan cakupan definisi yang ada. Sebagai contoh, apakah “lesbian” mencakup dorongan sekaligus perilaku seksual antar sesama perempuan? Seandainya seorang perempuan memiliki ketertarikan dengan sesama jenis tetapi memutuskan untuk tidak mewujudkan keinginan itu dalam bentuk perilaku, apakah ia layak disebut “lesbian”? Jika “lesbian” mencakup keinginan atau dorongan seksual, apakah ada ukuran tertentu untuk menilai suatu dorongan sehingga layak dikategorikan “lesbian”? Apakah ketertarikan yang hanya muncul sesekali masuk dalam kategori itu?

Apa yang diterangkan di bawah ini hanyalah definisi secara umum.

  • Lesbian: perempuan yang memiliki dorongan seksual dan keterikatan emosional dengan perempuan lain.
  • Gay: laki-laki yang memiliki dorongan seksual dan keterikatan emosional dengan laki-laki lain. Istilah ini kadangkala juga digunakan untuk semua golongan homoseksual (lesbian atau gay).
  • Bisexual: orang yang memiliki dorongan seksual dan keterikatan emosional dengan lawan jenis maupun sesama jenis.
  • Transgender: orang yang identitas atau ekspresi gendernya berbeda dengan ciri-ciri seksual secara biologis dari orang itu. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang menganggap dirinya perempuan atau berpenampilan seperti perempuan.
  • Transsexual: orang yang memiliki hasrat yang sangat kuat untuk mengambil karakteristik fisik maupun peranan gender dari jenis kelamin yang berbeda. Misalnya, laki-laki yang menjalani operasi alat kelamin (pemotongan penis) atau penyuntikan hormon wanita untuk memperbesar payudara.
  • Queer: sebuah istilah untuk memayungi seluruh komunitas LGBT. Istilah ini kadangkala malah digunakan untuk mempertanyakan ide, kategori, atau labelisasi yang berhubungan dengan homoseksual (misalnya LGBT).
  • Genderqueer: orang yang mempertanyakan pandangan dominan tentang seks, gender, dan dorongan seksual di suatu budaya. Mereka merasa memiliki identitas yang tidak termasuk dalam kategorisasi tradisional atau yang dominan.
  • Intersexed: orang yang anatomi tubuh atau pola kromosomnya tidak sepenuhnya selaras dengan pembedaan baku antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, orang yang lahir dengan vagina dan penis sekaligus.

Bacaan penting :

  • Francis M. Mandimore, A Natural History of Homosexuality (Baltimore/London: The John Hopkins University Press, 1996).
  • Eric Marcus, Is It a Choice?: Answers to the Most Frequently Asked Questions about Gay and Lesbian People (third edition, New York: HarperCollins, 2005).
  • Donald J. Wold, Out of Order: Homosexuality in the Bible and the Ancient Near East (Grand Rapids: Baker, 1998).
  • Craig A. Williams, Roman Homosexuality (second edition, Oxford: Oxford University Press, 2010).
  • Wainwright Churchill, Homosexual Behavior Among Males: A Cross-Cultural and Cross-Species Investigation (New York: Hawthorn Books, 1967).
  • Fang-fu Ruan, "China: Male Homosexuality," dalam Sociolegal Control of Homosexuality: A Multi-Nation Comparison, ed., Donald J. West and Richard Green (New York et al: Kluwer Academic, 2002).
  • Jeff Lewis and Belinda Lewis, Bali's Silent Crisis: Desire, Tragedy, and Transition (Lanham et al: Lexington Books, 2009).
  • Tom Boellstorff, The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005).
  • Dede Oetomo, “Gays and Lesbians in Indonesia,” dalam The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, ed., Tineke Hellwig & Eric Tagliacozzo (Durham and London: Duke University Press, 2009). Dede Oetomo adalah pendiri organisasi aktivis homoseksual pria pertama di Indonesia yang diberi nama “Lambda Indonesia” (1982). Selanjutnya organisasi ini bernama GAYa INDONESIA.
  • Derrick S. Bailey, Homosexuality and the Western Christian Tradition (London: Longmans, Green, and Co., 1955).
  • John Boswell, Christianity, Social Tolerance, and Homosexuality: Gay People in Western Europe from the Beginning of Christian Era to the Fourteenth Century (Chicago/London: The University of Chicago Press, 1980)
  • Bernadette J. Brooten, Love Between Women: Early Christian Responses to Female Homoeroticism (Chicago/London: The University of Chicago Press, 1996).
  • Chuck Stewart, Homosexuality and the Law: A Dictionary (Santa Barbara/Denver/Oxford: ABC-CLIO, 2001).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun