(lanjutan dari dua tulisan sebelumnya, terkait FGD mengurai "Kebuntuan R-KUHP" Pucuk Gunung Es Kekusutan Fundamental Sistem Hukum Indonesia, oleh D*LIGHT Institute dan Yayasan LENO, Jakarta, 5 Oktober 2019)Â
___________
Bennie E. Matindas membuat semacam kesimpulan ringkas untuk memudahkan para peserta lebih terfokus to the point melihat dan memahami masalah untuk sebuah strategi bersikap dan bertindak dalam bingkai falsafah dasar Pancasila dan Konstitusi yang khas Indonesia.Â
Yang telah dirumuskan dengan begitu baik bahkan terbaik oleh orang-orang terbaik Indonesia jelang proklamasi kemerdekaan, dan kiranya seterusnya disesuaikan seterusnya tanpa meninggalkan apa yang menjadi inti sari sebagai dasar konsensus bersama.Â
***
Upaya para politisi untuk memasukkan nilai serta norma agama ke dalam hukum nasional harus bisa dimaklumi, walau usaha mereka itu tidak sepenuhnya tepat, harus disempurnakan dulu.Â
Memasukkan hukum agama ke dalam negara yang masyarakatnya plural haruslah hanya nilai dan norma-norma yang rasional universal.Â
Norma yang hanya bernilai komunal, sektarian, parokial, terlebih yang irasional subyektif, pasti menjadi ketidakadilan atas kelompok warga lainnya, dan nilai tak adil tentu bertentangan dengan fitrah hukum.Â
Kita perlu memaklumi upaya kelompok politik keagamaan untuk memperjuangkan agamanya menjadi falsafah dasar hukum itu, walau sudah dalam era modern sekarang.Â
Karena justru modernitas itulah yang menyajikan pengalaman betapa semua ideologi dan filsafat sekuler itu terbukti bukan saja gagal mencapai janji-janji kemakmuran melainkan pula memurukkan umat manusia dalam dekadensi moral yang parah, kegersangan batin, (kata Ivan Illich:) reifikasi yang subhumanisasi, manusia merosot ke bawah standard homo sapiens.Â
Sementara janji kemakmuran hanya menghasilkan ketimpangan yang lebar dan pasti menyuburkan ketidakadilan.Â