Mohon tunggu...
Sorang Tumanggor
Sorang Tumanggor Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Nama Lengkap:Sorang Tumanggor, S.Ag Tempat Tanggal Lahir: Alahan, 21 Mei 1972 Pendidikan: SD Negeri Alahan, SMP N 1 Parlilitan, SMA Seminari Menengah Pematang Siantar, S-1 Filsafat Agama Katolik Unika St. Thomas Medan Jabatan:Penyuluh Agama Katolik Unit Kerja:Kantor Kementerian Agama Kab. Dairi sampai sekarang. Pernah menjadi editor selama 7 tahun di Penerbit PT. Bina Media Perintis, Medan. Pernah magang di Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1999.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyongsong Jubileum 75 Tahun Gereja Katolik di Dairi dan Pakpak Bharat Kevikepan Santo Andreas Rasul, Keuskupan Agung Medan 1938-2013

12 Juni 2013   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:08 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13710238811238504400

Menyongsong

Jubileum 75 Tahun Gereja Katolik Di Dairi Dan Pakpak Bharat Kevikepan Santo Andreas Rasul, Keuskupan Agung Medan

1938-2013

Para Misionaris Berjalan Kaki Menyusur Bukit Barisan

...Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus...(Bdk. Mat. 28: 18-20)

Tahun 1911 Bertolaklah para Misionaris Pertama Kapusin ke Sumatera. Tahun 1934 Pastor van Rossum tiba di Balige. Tahun 1936 Pastor Diaego van den Biggelaar berlabuh di Pulau Samosir. Tahun 1935 Pastor Marinus van den Acher, dan Pastor Oscar Nuijten bersama Pastor Lambertus Woestenberg seperti ditakdirkan ke Lintongnihuta, Pakkat Humbang dan Tarutung. Tahun 1933 Tali Pengukur itupun” jatuh di Laras Simalungun berkat kedatangan Pastor Aurelius Kerkers yang disusul oleh Pastor Elpidius van Duynhoven yang merambat ke Simalungun Atas bersama Pastor Cl. Hamers.

75 Tahun yang Lalu

Pada Januari 1938 bertolaklah Johanes Sihombing, seorang Katekis dari Pematangsiantar ke Sidikalang. Tujuannya untuk memberi Pelajaran Agama Katolik kepada umat Katolik sekalipun mereka belum merupakan suatu komunitas Gerejawi, namun Jiwa Kekatolikan mereka sungguh hidup. Perintisan yang diawali oleh katekis tersebut memberikan angin segar, sekalipun tidak sedikit tantangan. Sementara itu (di) daerah-daerah pedalaman atau perkampungan di Dairi sebenarnya sudah tersebar sejumlah orang Katolik. Hal itu dapat terjadi karena telah terjadi migrasi oleh sejumlah penganut Katolik dari Samosir, Humbang, Sumatera Timur dan Simalungun ke Dairi. Khususnya ke arah Kota Sidikalang, sebagai pusat distrik Dairi (yang kala itu termasuk wilayah Tapanuli), kehadiran para migran yang “berprofesi” sebagai pegawai ini sungguh memberikan warna baru. Perlahan, namun pasti, terbentuklah simpul-simpul komuniter Katolik. Entitas inilah yang menjadi embrionalitas “Gereja awali dan gereja darurat” Katolik di Dairi.

Tak berapa lama kemudian, tanggal 28 Pebruari 1938, datanglah Pastor Cl. Hammers OFM Cap ke Dairi. Kedatangan tersebut mendapat sambutan meriah di Sitinjo. Penyambutan disertai tor-tor dan Gondang Sabangunan, suatu hal yang sangat luar biasa saat itu. Kedatangan Pastor Cl. Hammers menjadi sejarah bagi Gereja Sidikalang dan Distrik Dairi pada umumnya. Sidikalang dijadikan pusat pelayanan pastoral. Pastor Cl. Hammers inilah peletak dasar Gereja Katolik di Dairi sekaligus sebagai Pastor Paroki Pertama Dairi. Permandian pertama di Dairi terjadi tanggal 26 September 1938. Pastor Cl. Hamers OFM Cap menerimakan Baptisan yang pertama pada 26 September 1938. Mereka yang dibabtis itu antara lain:

Yohanes Sihombing (Sidikalang),

Karim Napitupulu (Jumasiulok),

Daniel Kudadiri (Parongil),

Andi Matanari (Sitinjo,Juli 1939),

Iskander Panjaitan (Sitinjo, Juli 1939),

Karel Silaban (Sitinjo Juli 1939),

S.M.A Sihombing (Silalahi, Maret 1939),

Bismar Situmorang (Sitinjo, Maret 1940),

Reksa Kudadiri (Sitinjo, Maret 1940),

Gr J.A. Poerba (Sibaubau, Juni 1940),

Manatar (Jumasiulok, Agustus 1940),

Sintua Yustin Silaban (Huta Gerah, Oktober 1940).

Tempo Kriris 1942-1954

Pada April 1942 Perang Dunia II berkecamuk. Kekalahan Belanda atas Jepang waktu itu berimplikasi buruk terhadap Misi Katolik. Pastor Cl. Hammers yang saat itu berkedudukan di Sidikalang, ditangkap (Internir) oleh Tentara Jepang ke kamp di Tarutung. Para Misionaris atau Pastor (Belanda) yang berkarya di tanah misi Dairi diputus hubungannya dengan umatnya. Akibatnya penggembalaan hidup rohani umat terancam. Dalam rangka ini, jasa para katekis sangat signifikan. Katekis mengkawal dan melanjutkan karya misi Gereja.

Biji karya misi Katolik yang baru jatuh ke Tanah Dairi, harus kehilangan gembalanya. Untuk melanjutkan karya kegembalaan di daerah Dairi, diangkatlah S.M.A Sihombing, seorang katekis dan menjadi pemimpin atas Gereja “setempat”. Tugas utama yang harus diembannya adalah memelihara dan menjaga segala inventaris Gereja dan menggalang persatuan umat. Katekis ini untuk sementara menempati “pastoran”. Ketika masa penahanan Pastor Cl. Hammers memasuki bulan keenam, Jepang menggeledah atas segala inventaris Gereja. Katekis S.M.A Sihombing tidak diperkenankan tinggal di “pastoran”. Atas perampasan hak beriman itu, kemudian Katekis yang “tampan” ini pindah ke Botik Horbo; dan tetap sebagai katekis. Tetapi pelayanan Gereja di Sidikalang tidak dapat dilaksanakan oleh S.M.A Sihombing. Untuk untuk menggantikan S.M.A Sihombing dan mengantisipasi tantangan i menggereja di Sidikalang, maka Jemaat Gereja menunjuk H. Lumbantobing sebagai Vorhanger di Sidikalang. Sejak 1 Januari 1943 Rumah Ibadat dipindahkan dan kegiatan hari Minggu. Untuk sementara waktu, ibadat diadakan di rumah H. Lumbantobing.

Di luar dugaan, ternyata Tentara Jepang yang mengadakan pemeriksaan atas barang-barang inventaris Gereja dan akhirnya menangkap S.M.A Sihombing untuk dimintai pertanggung jawaban. Penahanan atas diri katekis terjadi sekitar tahun 1943-1944. Selama masa penahanan tersebut Umat Katolik di Sidikalang mengalami ketakutan dan kekalutan. Ada juga yang berusaha untuk pindah agama, tetapi pada akhirnya kesetiaan pada Gereja Katolik menjadi pemenang.

Untuk mengelola kesulitan ini, para katekis menoleh ke Gereja Katolik yang ada di luar Dairi dalam rangka membawa pemikiran baru, usaha-usaha untuk mencari tenaga katekis. Untuk siasat itu, H. Lumbantobing mulai membangun komunikasi denagn sesama Katolik di Balige, Kutacane dan Pematangsiantar. Upaya tesebut menghasilkan buah berkat kedatangan dari Kenan Hutabarat seorang katekis senior yang telah dikader oleh Pastor Aurelius Kerkers di Pematangsiantar. Tugas yang harus dipikulnya adalah mengangkat salah seorang guru yang dicalonkan menjadi Katekis. Jawaban atas harapan itu adalah ditunjuknya Daniel Kudadiri dari Sitinjo sebagai calon katekis. Dasar penunjukkannya adalah karena D. Kudadiri sudah lama menjadi guru dan Sintua yang sangat rajin di Huria (Jemaat) sejak tahun 1938. Tak lama kemudian, datanglah katekis J.Bonifacius Panggabean dari Balige untuk meresmikannya. Namun, faktanya bebeda dengan yang diharapkan. Sementara itu, J.B. Panggabean tetap berkeliling sambil mempermandikan “para katekumen” di wilayah Sidikalang dan sekitarnya.

Di pihak lain, “rejim” Jepang mulai memaksakan pembentukkan sebuah Majelis Tinggi Agama Masehi (di) Tapanuli. Untuk maksud ini pemerintah Jepang meminta supaya ada utusan dari setiap paroki untuk duduk di majelis ini. H. Lumbantobing terpilih mewakili umat Dairi di dalam majelis ini. Tugas rangkap diembannya karena sejak 12 Desember 1944 dia juga bertugas sebagai wakil katekis. Melihat beratnya medan pastoral maka diadakanlah pembagian wilayah kerja. Daerah Parongil dipercayakan kepada H. Siburian dibantu oleh Liberti Sianturi. Merekalah yang membantu kelangsungan Gereja di daerah (itu).

Tempo Proklamasi Kemerdekaan RI 1945-1947

Karena situasi yang kurang menguntungkan dan para Pastor Belanda tidak bebas bergerak, maka pimpinan awam beiman Katolik di Tapanuli mendesak pimpinan Gereja di Medan untuk mengambil tindakan. Atas usaha dan permintaan umat, Mgr. Brans akhirnya mengontak pimpinan Gereja Katolik di Jawa. Pada tahun 1947 Mgr. A. Soegijapranoto, S.J., (“Uskup Agung Semarang”) mengutus Pastor Sutopanitro SJ ke daerah Republik di Tapanuli. Pada bulan Mei 1947 tibalah Pastor Sutopanitro di Sumatera Utara. Selama tiga bulan Pastor Sutopanitro mengunjungi semua paroki.

Kunjungan ini besar artinya bagi umat Katolik Sidikalang, di saat, 22 Juni 1947, Imam Jesuit ini tiba di Sidikalang. Atas kehadiran anggota SJ ini diadakanlah pertemuan dengan para pemuka Gereja di rumah H. Lumbantobing. Pertemuan tersebut membangkitkan kesadaran baru bagi Umat Katolik Dairi, bahwa mereka tidaklah sendirian. Pertemuan itu membuahkan semangat baru. Semangat juang dari para katekis tetap membara. Bahkan tanggal 22 Mei 1946 tercatat kehadiran “Pendeta” Petrus Datubara, (kelak memiliki anak menjadi Uskup Agung Medan berrnama Mgr A. G. Pius Datubara) dari Lawe Bekung Kutacane, Aceh Tenggara yang juga ikut serta membantu Umat Katolik di Dairi.

Jelang Tahun 1948 Gereja Katolik Sumatera Utara mendapat bantuan dengan datangnya utusan dari Jawa. R.D. (Pastor) A. Poedjohandojo diutus dari Jakarta untuk tugas selama 8 (delapan) bulan di Sumatera Utara. Pastor ini berpastoral di daerah terlarang bagi para Misionaris (Belanda). Imam Diosesan ini sempat juga ke Sidikalang dan menerimakan Sakramen Permandian. Pada tahun yang sama terjadi “mutasi” atas Ch. Sinaga, seorang tokoh Katolik Sidikalang ke Pandan, karena diangkat menjadi kepala sekolah di sana.

Menyingsingnya Fajar Baru 1947-1954

Pastor Cl. Hammers yang sudah dibebaskan dari kamp Jepang di Tarutung, tidak langsung kembali ke “posnya” di Sidikalang. Barulah pada  tahun 1950 Pastor Cl. Hammers ke Sidikalang dan selama beberapa bulan tinggal di rumah H. Lumbantobing.

Tahun 1949 dibuka (Stasi) Sumbul Jehe sebagai buah pewartaan Injil. Pada tahun 1951 dibuka kembali Lae Markelang sebagai Stasi. Tahun berikutnya Lae Garut, Lae Mbereng dan Bulu Duri (1952). Mengapa terjadi kebangkitan baru atau menyingsingnya fajar yang demikian?

Karena, Pastor Cl. Hammers telah bebas dari masa inteniran. Saudara Dina Kapusin ini ditemani oleh Pastor A. Kamphof OFMCap. Dengan kedatangan Misionaris Kapusin Belanda, Pastor Kamphof di Sidikalang tahun 1951, karya pelayanan di Dairi semakin maju. Tak lama kemudian datang juga Pastor Stephanus Krol OFM Cap (tahun 1952). Kemajuan karya misi Katolik sampai juga ke Parongil 1954. Tahun 1953 telah dibuka Stasi (Santa Hilaria) Batu Dongkol, Sopobutar, Sukandebi dan Tumpakraja.

Gerak maju Gereja ini menghasilkan refleksi baru, yaitu “apa yang harus diupayakan untuk menggapai efisiensi dan efektitas pelayanan pastoral?”

Maka, karena di Parongil makin banyak stasi, akhirnya diambil kebijaksanaan untuk membentuk suatu pusat pelayanan baru. Parongil serta-merta menjadi pusat kedua pelayanan setelah Sidikalang. Secara resmi Parongil menjadi sebuah paroki yag terpisah dari Sidikalang pada tanggal 1 Mei 1954. Pastor A. Kamphof ditunjuk menjadi Pastor Paroki Pertama di Parongil, yang di kala itu telah menggembalakan 18 Stasi (Cabang Gereja di sebuah Paroki) dan Sidikalang sendiri saat itu telah terhampar “bagaikan padi yang berbulir di lereng gunung dan dataran yang menghijau dan berliku” dengan jumlah stasi sebanyak 23 unit.

On Going Formation 1954-1965

Usaha memajukan pendidikan mulai “bekedip di atas langit” Dairi. Sekolah SD (yang pada tempo itu disebut dengan Sekolah Rakyat atau SR). Tanggal 1 Agustus 1956 didirikanlah bangunan SMP Santo Paulus yang dimulai dengan 100 Siswa yang memiliki sinergi yang amat anggun dalam pengembangan misi Katolik di ranah Dairi. Banyak murid dari pelosok-pelosok datang ke Sidikalang. Gelombang minat pendidikan ini juga mendorong para Misioanris untuk mendirikan sarana domestifikasi, semacam Asrama. Dalam perjalanan waktu di mana Gereja juga “berubah” di dalamnya, SMP Santo Paulus bernaung di dalam Yayasan Pendidikan “BHAKTI MENGABDI”.

Patut dikenang jasa Pastor Krol dalam pembangunan gedung SMP yang dimulai dengan 3 lokal, dan yang kemudian segera dirasa perlu untuk ditambah lagi. Umat Katolik di Sidikalang kota semakin banyak, apalagi kaum migran semakin banyak. Gedung Gereja sudah tidak sanggup lagi menampung. Pembangunan gereja baru ini memakan waktu tiga tahun, dan pada tahun 1959 bangunan telah selesai, lalu diberkati. Pemberkatan Gereja oleh Mgr Van Den Hurk OFM Cap pada tahun 1959. Bangunan Gereja Paroki Sidikalang yang kedua, diberkati oleh Mgr. A.H Van den Hurk OFM Cap.

Pada tahun 1959 Pada masa Pastor Krol pembinaan umat semakin ditingkatkan. Adanya tokoh umat yang rela memberikan tenaganya merupakan sumbangan besar dalam hal ini. Pendidikan di SMP St. Paulus makin berkembang pesat. Perlu dipikirkan lagi pengadaan Sekolah Dasar sebagai kesinambungan karya misi Katolik. Tenaga Pastor silih berganti datang dan pergi dalam mengembangkan karya pastoral di Dairi. Pastor Van Stralen, Pastor R. Ressens, Pastor Pennock, Pastor Kramer kesemuanya adalah Pastor Kapusin. Perkembangan tidak hanya dialami oleh Paroki Sidikalang, tetapi juga Parongil. Menjelang meletusnya pemberontakan G 30S PKI pada tahun 1965, telah mencapai 88 Stasi.

Dari Kapusin ke Karmel

Paus Yohannes XXIII mendirikan Hirarki Gereja Katolik Indonesia, 1 Januari 1961. Fakta sejarah apostolik ini juga sekaligus mengguratkan dengan akurat, bahwa Gereja Katolik Dairi yang merupakan bagian utuh dari Gereja Lokal Keuskupan Agung Medan, Indonesia berkembang semakin pesat. Hal ini adalah salah satu alasan dari Mgr A.H. Van den Hurk, Pimpinan Ordo Carmel Indonesia bersama Ordo Kapusin Indonesia untuk bekerjasama dengan Ordo Karmel yang mulai menangani wilayah pastoral di Dairi pada tahun 1965.

Maka pada tahun 1965, Pastor Krol, OFMCap menyerahkan Paroki Sidikalang ke Pastor Q. Kramer O.Carm. Pastor R. Ressens OFMCap menyerahkan Paroki Parongil kepada Pastor van Wanroij O.Carm.Tidak lama kemudian datanglah Pastor A. Hutten O.Carm dan Pastor J. Kachmadi O.Carm memperkuat karya pelayanan di Sidikalang.

Dampak politik dari meletusnya G30S/PKI, terjadilah kehidupan rohani dikalangan masyarakat Dairi dan Indonesia pada umumnya. Banyak masyarakat Dairi yang memilih menjadi Anggota Gereja Katolik. Implikasi poisitifnya adalah tuntutan akan penguatan Stasi-stasi dan pemekaran paroki. Dalam hal ini adalah Paroki di Tigalingga pada tanggal 21 Nopember 1965. Pemisahan ini dimulai secara bertahap melalui jalur administrasi Buku Permandian. Pada tahun 1967 Tigalingga resmi menjadi sebuah paroki. Pembagian lapangan kerja pastoral ini demi efisiensi tugas para pastor.

Tahun 1965 ini sekaligus merupakan saat perkembangan bagi karya pastoral di bidang pendidikan. Tidak lama setelah kedatangan para Karmelit, menyusul juga para Suster dari Kongregasi St. Yosef (Amensfoort, kelak bernama KSSY) yang (telah) berkarya di Medan, tiba di Sidikalang. Para Suster ini untuk sementara tinggal di rumah R. Ujung di sebelah Gereja. Karya mereka adalah kesehatan dan pendidikan-sekolah. Tanggal 1 Agustus 1965 berdiri Sekolah Dasar (SD). Sr. Yosephine Batubara adalah Kepala Sekolah Pertama dari S.D. St. Yosef yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Bhakti Mengabdi itu.

“Skapulir Melebarkan Sayap Di Ranah Dairi” 1967-1968

Tahun 1967 Pastor J. Kachmadi O.Carm menjadi Pastor Paroki Pertama di Tigalingga. Dengan jumlah Stasi 24 Unit. Sementara umatnya beranekaragam subetnis Batak yaitu, Karo, Toba dan Pakpak. Selanjutnya menyusul para (Pastor) Karmelit lainnya, antara lain A.J. Soedibjo dan Fredericus Kasmono.

Kemudian pada tahun 1968, dengan mengambil alih sejumlah 23 Stasi dari wilayah Paroki Sidikalang, didirikan  lagi sebuah Paroki, yaitu Paroki Santo Dionisius Sumbul Pegagan, dengan Pastor Paroki pertama adalah Pastor Q. Kramer O.Carm.

Paroki Sumbul yang dirintis oleh Karmelit Indonesia ini selanjutnya diambil alih oleh Para Karmelit Australia. Lalu berangsur-angsur kembali lagi ke Karmelit Indonesia tahun 1982. Karmelit Australia yang pernah membantu di Sumbul adalah Pastor R.A. Scerri. Pada tahun 1969 Para Karmelit diserahi tugas oleh pihak Keuskupan Agung Medan untuk menangani sebuah paroki di kota Medan. Maka Pastor B. Peper O.Carm merintis pembukaan paroki baru di Medan, yaitu Paroki St. Paulus, Pasar Merah yang merupakan pemekaran dari Paroki Katedral Medan.

Gereja ke Arah Kemandirian

Bahana Konsili Vatikan II (1962-1965) telah meniupkan angin perubahan dan pembaharuan di dalam Gereja. Jendela Gereja makin terbuka lebar dan menjemaat saatnya awam semakin berpartisiasi. Gereja semakin ditantang agar peduli di dalam “Kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan umat manusia dewasa yang merupakan kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan murid-murid Kristus pula”. Kemandirin Gereja semakin mendesak. Tahun 1985 didirikan SMA Cahaya yang dikelola oleh Yayasan Seri Amal. SD St.Yosef dan SMP St. Paulus yang dikelola oleh Yayasan Bhakti Mangabdi dioper kepada Yayasan Seri Amal sejak tahun 1970. Taman Kanak-kanak St. Maria yang sebelumnya menempati bangunan SD St. Yosef menempati bangunan sendiri sejak tanggal 4 Agustus 1968.

Karya pelayanan kepada umat juga meningkat dengan dibukanya karya pertukangan. Karya pertukangan ini dimulai oleh Bruder Otto Flapper O.Carm yang membantu penggantian bangunan gereja-gereja darurat menjadi bangunan permanen atau semi-permanen. Karya besar ini tampak misalnya Bangunan gereja Paroki Sumbul yang mengambil model rumah adat-tradisional Pakpak Dairi, yang semakin jarang kita jumpai saat ini.

Karya pertukangan mendorong umat menyadari arti pentingnya pembangunan (gereja) dan Gereja (di) stasi-stasi, yang tidak mungkin hanya mengandalkan bantuan diosesan saja. Umat juga harus ikut berpartisipasi. Peran serta pemuka umat makin tampak seiring gerak Keuskupan Agung Medan: Gereja Menjemaat. Karya pertukangan ini membantu juga pembangunan gereja-gereja lain di wilayah Dairi, yang dinilai cukup memadai dengan situasi sosial dan ekonomi umat Dairi.

Arah pendewasaan iman umat dibina juga melalui kursus-kursus dan sermon atau kaderisasi yang dilakukan melalui peran pemuka jemaat. Pembinaan ini tidak bisa diabaikan seiring dengan laju derap kemajuan dan perkembangan masyarakat dunia (global). Gereja mempunyai misi utama yaitu mendewasakan iman umat serta mengamalkannya demi pembangunan manusia seutuhnya.

Hal yang menarik dan merupakan suatu “situs” sejarah besar bagi Gereja Katolik di Dairi khususnya di Paroki Sidikalang, yakni di stasi Kaban Julu terdapat makam Pastor Koning O.Carm. Latar belakangnya adalah karena Pastor Koning O.Carm pada bulan Juli 1972 mengalami sakit peradangan perut dan beliau meninggal di Dolok Malangir dalam perjalan menuju pengobatan ke Medan. Jenasahnya tidak mungkin dibawa ke negeri Belanda maupun ke Malang. Maka jenasah Misionaris Karmelit ini dibawa kembali ke Sidikalang.

Mengingat Ordo Karmel di Sumatera Utara belum mempunyai pemakaman untuk anggota Ordo karmel, maka jenasah itu rencananya hendak dimakamkan di kompleks paroki Sidikalang, akan tetapi pihak Marga Tanah (tuan tanah) tidak mengijinkan hal tersebut karena dianggap akan membawa sial.

Sebab itu, jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Gereja di stasi Kaban Julu. Menurut keterangan pengurus stasi, bahwa seringkali keluarga Pastor Koning O.Carm berziarah ke makam tersebut, hampir setiap 3 tahun sekali. Pihak leuarga P. Koning pernah hendak membawa tulang-belulang P. Koning ke Belanda karena khawatir terlantar. Namun rencana itu gagal, karena para umat di stasi tersebut berjanji akan mengurus makam tersebut.

Quo Vadis Gereja Katolik Kevikepan Santo Andreas Rasul Sidikalang?

Tahun 2013 ini, tigaperempat abad telah berlalu. Namun Allah Yang Maha Kasih, tidak akan penah berlalu. Dia abadi; Dia tetap sama, dahulu, kini dan sepanjang segala abad. Firman telah menjadi daging dan diam di antara kita.. Berkat Babtis dan Krisma, Gereja telah diangkat martabatnya menjadi Citra-Gambar Allah. Atas dasar itu, Gereja didirikan bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk seluruh dunia dan dengan demikian dia memperoleh keselamatan. Gereja Katolik Kevikepan Sidikalang, Keuskupan Agung Medan terpanggil dan terus terpanggil utuk mengamalkan Panca Tugas Gereja, agar semakin signifikan ke dalam dan relevan ke luar, maka mesti terus-menerus berbenah diri agar semakin kokoh secara vertikal (Allah) dan tanda (sakramen) keselamatan secara horizontal. Untuk itu, Gereja Katolik tidak boleh tidak kecuali berdaya-upaya dan bahu-membahu seraya Bangkit dan Bergeraksambil berbenah diri dengan Membangun Habitus Baru Bangsa. Dengan demikian, Gereja Katolik di Dairi dan Pakpak Bharat semakin Berbakti Kekatolikannya, selaras padu dengan Bakti Budaya dan tampak-partisipatif di dalam Bakti Kemasyarakatan. Dengan dan di dalam semangat spiritualitas Yesus Kristus sebagaimana membahana di dalam isi dan cara atau model hidup pastoral Ordo Karmel. Perayaan Jubileum 75 Tahun ini sungguh didamba menjadi momentum historicum. Betapa mendasar dan menyeluruh serta integral dalam mendayung biduk Pejiarahan Gereja Lokal ke depan. FIAT VOLUNTAS TUA, DUC IN ALTUM!

(SorangTumanggor, sekretaris eksekutif panitia Jubileum, disarikikan dari berbagai sumber)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun