Mohon tunggu...
Fergusoo
Fergusoo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Spe Salvi Facti Sumus

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pedoman Memahami RUU Ketahanan Keluarga

22 Februari 2020   00:17 Diperbarui: 22 Februari 2020   23:33 2559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembagian tugas seperti ini adalah teori yang sangat usang dan kampungan bagi saya. Kita tahu sekarang bahwa revolusi perempuan ala R.A Kartini ingin agar menempatkan perempuan memiliki peran yang setara dan ruang yang luas demi keterbelakangan mental laki-laki dalam menerjemahkan perempuan tidak ada lagi.

R.A Kartini ingin agar dirinya juga bisa berjuang dan menjadi militan bagi kemerdekaan ibu pertiwi. Namun sayangnya, kodratisasi wanita pada zaman itu, belum bisa membuat ia mendapatkan panggung yang luas.

Kini, era modern seperti ini sudah seharusnya peran wanita jangan ditutupi. Walaupun memang wanita adalah pengasuh yang paling baik dan dekat dengan anak. Namun kesempatan untuk mengembangkan diri jangan dihalangi. Nafkah itu bisa dicari sembari mengurusi keluarga. 

Soal apakah pengasuhan yang diberikan oleh perempuan kepada anak dan keluarganya tidak bisa maksimal, bisa diselesaikan dan dibicarakan dengan baik oleh keluarga masing-masing. Bukan malah membegal eksistensi dari isteri sebagai perempuan.

Ilustrasi foto (icfmakati.org)
Ilustrasi foto (icfmakati.org)

Langkah pemerintah seharusnya adalah memfasilitasi kemajuan perempuan khususnya bagi mereka yang sudah berumah tangga. Misalnya saja menambah cuti melahirkan bagi perempuan dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Atau misalnya tidak hanya istri saja yang mendapatkan cuti melahirkan. 

Sang ayah juga pun seharusnya diberikan waktu cuti yang setara. Karena siapa yang akan mendampingi sang istri dalam menghadpai morning sickness, panic attack atau baby blues pasca melahirkan. 

Kehadiran sosok laki-laki sebagai suami dan kepala rumah tangga akan sangat menguatkan sang istri. Dengan hal seperti ini seharusnya ketahanan keluarga perlu diterapkan.

Selanjutnya Pasal 31 dan Pasal 32 diatur bahwa setiap warga negara dilarang menjualbelikan sperma atau ovum, memberikan atau menerima donor sperma atau ovum secara sukarela, serta dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan. 

Dari pasal ini saja kita sudah bisa tahu bagaimana negara ingin menjadi malaikat yang sok tahu mengatur kebebasan individu dan keluarga. Perihal di atas adalah hal yang dilakukan dalam dunia kesehatan.

Hal tersebut didasari bukan karena sekedar mencari duit atau tahta, namun lebih kepada membantu pasangan rumah tangga yang ingin mendapatkan keturunan namun tebentur dengan masalah kesehatan reproduksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun