Mohon tunggu...
Sofia Amalia
Sofia Amalia Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Guru PAUD yang kadang nulis, kadang nganggur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Punya Akal? Mari Berpikir Sebelum Bertindak

16 Februari 2020   07:29 Diperbarui: 16 Februari 2020   08:03 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Halu", Kita semua tentu sangat familiar dengan kata tersebut. Bukan hanya itu, kata tersebut menjadi trend center di kalangan anak muda saat ini. Ketika saya iseng mengetik kata "Halu" di beranda pencarian google,  kurang lebih menampilkan 10.000.000 hasil dalam waktu 0.34 detik. Hasil yang ditampilkanpun beragam, mulai dari judul berita, brand dari sebuah produk kekinian, hingga judul dari sebuah lagu yang ternyata sering saya dengar dan baru mengetahui bahwa lagu itu berjudul "Halu".

Halu sendiri berasal dari kata halusinasi, yang tentunya memiliki konsep pengertian yang berbeda dari konsep "Halu" dari pandangan anak muda. Kata "Halu" yang sering digunakan sekarang ini memiliki maksud tanggapan/julukan kepada seseorang yang berbicara atau berpkir atau bertingkah laku jauh dari realita yang ada. Contoh dari hal-hal yang dianggap halu oleh netizen saat ini seperti seorang selebgram sensasional  yang sedang heboh pemberitaannya hingga "Rangga" Sunda Empire yang kata netizen halu karena memikirkan "Cinta".

Dari kasus-kasus yang dikatakan halu tersebut, tidak jarang netizen termasuk saya pribadi berpikir, kenapa orang-orang seperti mereka bisa melakukan hal-hal semacam ini? Padahal jika kita tinjau dari segi psikologi kognitif, dalam ranah pola berpikir manusia, ada tahap dimana manusia itu sendiri mampu menilai dan memahami sesuatu yang sedang atau pernah mereka perhatikan (atensi), apakah hal ini baik atau malah sebaliknya. Tahapan ini kemudian disebut dengan istilah persepsi oleh Atkinson (1996).

Jika kita sudah mengetahui baik atau buruknya suatu hal, apabila hal tersebut buruk, apa yang akan kita lakukan? Tentunya secara sadar kita tidak ingin melakukan atau mengalaminya lagi. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang dianggap halu tadi? Secara sadar mereka terus melakukan atau membicarakan hal-hal yang umumnya dianggap tidak wajar.

Kondisi yang paling buruk adalah ketika sebagian besar netizan mengklaim bahwa tindakan mereka "halu" namun, masih saja ada yang mengikuti "kehaluan" mereka. Tidak sampai disitu saja, pemberitaan tentang "mereka" menjadi trending di berbagai sosial media.

Terkadang saya sedikit bingung dengan hal-hal yang semacam ini. Jika mereka menganggap hal ini adalah hal yang tidak benar 'halu', lalu mengapa mereka mengikutinya? Sebagai manusia normal dalam ranah pola pikir manusia, mereka akan menyimpan ingatan hasil persepsi dan kemudia mereka akan menganalisanya.  "Apakah hal ini pantas dilakukan?" atau "kapan waktu/kondisi yang tepat untuk bertindak atau berbicara semacam ini?"

Dalam keadaan sadar, ketika pengambilan keputusan (Decition making) tentang hal apa yang harus dilakukan, manusia normal akan menjauhi hal-hal yang tidak wajar atau yang melanggar norma di masyarakat.

Lalu bagaimana mereka yang diklaim "halu" oleh netizen tadi? Apakah mereka tidak berpikir seperti orang-orang pada umumnya atau memang sengaja tidak ingin berpikir?

Manusia diberikan akal agar kita semua bisa berfikir, jika masih punya akal, mari berpikir sebelum melakukan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal dan jauh dari batas kewajaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun