Mohon tunggu...
Sofhia Farra
Sofhia Farra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pencuri Impian

20 Maret 2017   22:07 Diperbarui: 21 Maret 2017   06:01 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PENCURI IMPIAN

Ada seorang gadis yang sangat suka menari. Kepandaiannya menari sangat menonjol dibandingkan dengan rekan-rekannya, sehingga ia sering menjadi juara dalam berbagai perlombaan. Suatu hari di kotanya, datanglah seorang pakar tari yang berasal dari luar negeri. Ia mencuru-curi kesempatan untuk dapat bertemu dengan sang pakar untuk menunjukkan kebolehannya dalam menari, jika mungkin, ia ingin memperoleh kesempatan untuk menjadi muridnya.

            Hingga tibalah kesempatan bertemu dengannya dibelakang panggung. Ia berkata,” Pak, saya ingin sekali menjadi penari professional kelas dunia. Apa anda punya waktu untuk melihat pertunjukkan saya sejenak? Saya ingin tahu pendapat anda”

            “Oke, menarilah selama 10 menit saja,” jawab sang pakar.

            Belum 10 menit ia menari, sang pakar meninggalkannya tanpa bebicara sepatah kata apapun. Betapa hancur hati sang penari itu, ia berlari pulang dan menangis sejadi-jadinya. Ia melemparkan sepatu tarinya dan bersumpah tidak akan menari lagi seumur hidupnya. Puluhan tahun berlalu, kini ia sudah mempunyai 3 orang anak, ketika itu suaminya baru saqja meninggal. Sang pakar kembali mengunjungi kota tersebut. Di sela-sela acara, sang penari itu pun ingin bertemu dengannya. Sang Pakar tampak sudah tua dan mulai memutih rambutnya. Ternyata Sang Pakar masih mengenalinya.

Si penari pun berkata,”Pak, ada yang mengganjal hati saya selama ini, ini terkait dengan penampilan saya beberapa tahun silam. Apa penampilan saya begitu jelekkah sampai anda meninggalkan saya tanpa berkata sepatah kata pun??”

            “Oh ya, peristiwa itu, terus terang saya belum pernah melihat tarian seindah itu. Saya raasa kamu penari kelas dunia. Saya tidak mengerti mengapa kamu berhenti dari duania tari” , jawab sang pakar.

            Si penari sangat terkejut. “ini tidak adil. Sikap anda telah mencuri impian saya. Kalau memang bagus mengapa anda meninggalkan saya begitu saja? Anda seharusnya memuju saya dan bukan mengacuhkan saya begitu saja. Mestinya saya sudah menjadi penari kelas dunia. Bukan hanya penjaga toko seperti saat ini!” sergahnya dengan luapan amarah.

            “Tidak! Tidak! Saya rasa saya tidak melakukan salah. Anda tidak perlu mencoba 1 barel jus mangga untuk membuktikan bahwa jus mangga itu enak. Begitu pula saya, tidak perlu melihat hingga akhir karena saya tahu tarianmu sangatlah bagus. Malam itu saya sangat lelah. Saya pergi untuk mengambil kartu nama saya unukmu berharap anda akan datang keesokkan harinya. Saya terkejut anda sudah tak berada di sana. Satu hal yang perlu anda pahami seharusnya anda focus dengan impian anda, bukan pada ucapan dan tindakan saya. Lalu mengenai pujian, Anda mengharapkan pujian? Ah, iya anda semasa itu sedang tumbuh. Dengar! Pujian itu layaknya pedang bermata dua. Adakalanya memotivasimu, bisa pula melemahkanmu. Tapi dari kebanyakan orang yang banyak mendapatkan pujian saat maasa tumbuh hanya akan melemahkannya dan membuatnya tidak berkembang. Karena ia merasa puas atas dirinya saat itu. Saya justru lebih suka untuk mengacuhkan anda, agar hal itu bisa melecutmu tumbuh lebih cepat lagi. Lagi pula, pujian itu sepantasnya datang dari keinginan saya sendiri. Tidak pantas anda meminta dari orang lain. Anda lihat sendiri, ini hanyalah masalah yang sepele. Seandainya anda terus berlatih lebih keras dan tetap menari, pasti sekarang sudah menjadi penari kelas dunia. Mungkin ketika itu anda merasa sangat sakit  hati, tetapi sakit hati anda akan hilang begitu sanda kembali.”

            Setelah sang Pakar pergi, ia terdiam menyesali kesalahannya. Saat ia memiliki sebuah potensi dan ingin memaksimalkanya, seharusnya ia berbuat sesuatu tanpa harus menunggu datangnya pujian dari seseorang. Tidak ada keberhasilan yang berasal hanya dari pujian orang lain. Seharusnya ia tidak berhenti dan melanjutkan impiannya tanpa rasa putus asa apalagi berhenti. Seharusnya ia jadikan kejadian itu cambuk baginya untuk terus berkembang. Seharusnya ia tak meminta pujian dari orang lain. Namun kini, semua telah menjadi sebuah penyesalan yang takkan terobati sepanjang hidupnya.

            Kawan, tak sepantasnya kita melakukan sesuatu demi sebuah pujian. Pujian sering kali membuat seseorang itu tak berkembang dan merasa puas.  Jauhilah sifat ingin di puji, sebelum anda menyesal dikemudian hari.

                                                                                               

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun