Dibandingkan para jagoan, yang sudah malang-melintang sejak Orde Baru, Jokowi adalah "anak kemarin sore". Tapi justeru karena itulah, ia lebih bisa dipercaya. Satu hal yang sering dinafikan, tak dimengerti atau disalahartikan, bahkan bisa jadi digelapkan, bahwa rakyatlah sesungguhnya yang selalu menghendaki perubahan. Namun tidak demikian halnya dengan para elite, baik di dunia politik, pendidikan, dan akhir-akhir ini agama. Mereka lebih mewakili sistem kekuasaan yang korup, yang justeru makin berkecenderungan menutup kemungkinan perubahan itu.
Selama 32 tahun dalam kungkungan Soeharto, dan kemudian dalam situasi transisi hingga dua periode kekuasaan SBY, Indonesia belum banyak berubah. Dari berbagai indikasi sosial, ekonomi, politik, justeru paska longsornya Soeharto, Indonesia makin terpuruk. Jokowi, bagaimana pun adalah presiden, dan 'lebih apalagi' lagi, dia adalah pembelajar yang baik. Tidak mungkin Jokowi nir-politik. Tetapi mantra politiknya bukan pada kekuasaan, melainkan bekerja di dalam spirit pengabdian seorang pekerja.
Memang tidak gagah, di dalam masyarakat yang masih mimpi tentang pemimpin yang perkasa. Jangan lupa, dunia berubah, meski kebijaksanaan sejati itu abadi. Di dalam ke-kerempeng-annya, dia lebih bisa diandalkan, karena apa yang disebut 'trust' itu. Sebagaimana para konglomerat kaya sakerat-erat pun tak bisa membeli waktu, begitu juga kepercayaan. Orang gagah perkasa pun tak akan bisa menarik-narik kepercayaan, dengan seberapapun duit yang tanpa seri itu. Duit tanpa seri? Jangan-jangan duit palsu!
Demokrasi tanpa kendali, tanpa aturan, adalah juga demokrasi tanpa arah. Lagi-lagi kita akan melihat, orang-orang seperti Prabowo, meski mengklaim punya banyak pendukung fanatik, tak akan pernah memenangkan jamannya, sekiranya masih hanya suka menarik-narik kepercayaan dengan gimmick. Kepercayaan selalu datang dengan sendirinya, dengan tulus-ikhlas. Seperti tuyul, datang tak diundang, pergi minta digendong.