Mohon tunggu...
Siti Mugi Rahayu
Siti Mugi Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru yang tertarik pada pendidikan yang humanis.

Mengajar di SMA Al Muslim

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kita Belum Siap Menghadapi Gempa

15 April 2012   15:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:34 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya teringat pada suatu ketika mengikuti pelatihan metode pembelajaran. Di sana kami yang berjumlah kurang lebih 150 orang dibagi ke dalam beberapa kelompok. Si pembicara tidak menjelaskan metode apa yang akan dipraktekkan pada saat itu. Kelompok yang dibuat beranggotakan kurang lebih 6 hingga 7 orang. Di dalam kelompok tersebut kami harus memposisikan sebagai suatu keluarga utuh. Ada ayah, ibu, anak pertama, kedua, dan seterusnya. Anak pertama dikisahkan duduk di bangku SMA, anak kedua duduk di bangku SMP, anak ketiga di bangku SD, anak ke empat adalah anak TK, anak kelima adalah bayi.

Setiap kelompok berada pada posisi pos masing-masing dengan diberi kursi sebagai tandanya. Kursi ini disebut rumah. Jumlah kursi adalah sejumlah kelompok yang dibuat.  Kami harus membekali diri dengan buku dan pulpen. Pembicara lalu menceritakan bahwa kami adalah keluarga-keluarga di daerah bencana gempa. Jika peluit dibunyikan tandanya pada saat itu terjadi gempa,  maka setiap keluarga harus segera berlari menuju kursi-kursi kelompok lain yang juga ditinggalkan oleh pemiliknya. Kelompok tidak boleh menempati rumah sendiri, kelompok harus pindah mencari rumah lain dengan waktu yang sangat terbatas. Setiap orang harus bertanggungjawab dengan perannya masing-masing. Akhirnya kelompok kami berunding. Ayah akan membawa anak-anak no 3, sementara ibu menggendong bayi. Anak pertama relatif sudah besar maka dia akan jalan sendiri menuntun adiknya yang nomor 2.

Sebelum gempa terjadi, setiap orang dalam keluarga harus memikirkan lima buah barang yang harus dibawa oleh masing-masing pemeran. Akhirnya, si ayah menulis lima buah keperluannya seperti laptop, mobil, surat berharga, dompet, dan handphone. Ibu memilih membawa susu bayi, baju bayi, peralatan bayi, dompet dan ATM. Anak SMA membawa laptop, handphone, baju, buku, dan peralatan ibadah. Anak SMP membawa baju, handphone, sepatu, buku, dan makanan. Anak SD dan anak TK membawa baju, boneka, makanan, minuman, dan susu. Peluit pertama berbunyi. Tandanya gempa pertama mulai menggoyang daerah kami. Setiap orang mulai tergesa-gesa memegang anak-anak dan adik masing-masing dan berlari berpegangan tangan mencari tempat yang aman.

Setelah kami menempati rumah baru secara rebutan dengan keluarga lain, kami harus mengurangi bawaan kami hingga empat untuk masing-masing pemeran. Peluit berbunyi lagi dalam waktu singkat dan kami harus mengurangi lagi barang bawaan hingga masing-masing hanya membawa tiga. Peluit kembali berbunyi tanda gempa terjadi lagi lalu kami berlari terus mencari tempat aman. Suasana hiruk pikuk penuh kepanikan. Barang bawaan kembali dikurangi menjadi dua untuk setiap orangnya. Sampai akhirnya pada gempa terakhir, kami sekeluarga hanya boleh membawa tiga jenis barang. Kepanikan kembali terjadi. Namun kali ini panik campur bingung, mau bawa apa kalau gempa ya ? Semua barang yang ingin dibawa tidak mungkin dibawa semuanya.  Kami harus memikirkan tiga buah barang paling penting bagi keluarga kami. Akhirnya, kami memilih membawa dompet, tas yang sudah kami persiapkan standbye dalam lemari, dan susu bayi.

Saya tidak tahu pilihan keluarga kami tepat atau tidak. Yang pasti, saya menyimpulkan sesuatu dari simulasi pembelajaran dengan tema gempa ini. Bahwa setiap gempa yang terjadi selalu menimbulkan kepanikan. Dalam panik itu kita dituntut berfikir cepat untuk melakukan sesuatu atau membawa sesuatu. Tapi kita  bingung harus membawa apa? Itu menandakan kita memang tidak siap menghadapi gempa. Di Indonesia belum ada pengarahan secara khusus bagaimana menghadapi bencana yang satu ini. Setidaknya itu yang saya rasakan. Saya bisa tahu hanya dari membaca di buku, internet, bahkan televisi. Itupun tetap tanpa persiapan. Semisal, di luar negeri orang sudah biasa menyiapkan satu tas berisi peralatan yang akan dibawa dalam sekali tarik. Tapi kita tetap tidak melakukan itu.

Di sekolah-sekolahpun tidak diajarkan bagaimana kalau gempa terjadi. Beberapa pernah saya dengar berinisiatif melakukannya, terutama di daerah rawan gempa seperti Aceh, Jogjakarta, dan Padang. Di tempat-tempat lain mungkin belum merasa perlu. Tidak perlu mungkin masuk ke dalam kurikulum, tetapi harus tetap ada inisiatif menghadapi bencana ini karena dia datang tanpa permisi. Masuk ke dalam kurikulum itu lebih baik lagi. Semisal, masukkan ke dalam indikator pembelajaran IPS /Geografi/IPA dalam materi yang sesuai dengan SK dan KD yang ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun