Mohon tunggu...
Siti Mawaddah
Siti Mawaddah Mohon Tunggu... lainnya -

Siswi Kelas VII B Damora, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

An Interesting Travel

18 Mei 2015   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:51 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kilau matahari pagi menyusup di antara kedua kelopak mataku yang tertutup, memaksaku untuk memalingkan wajah ke arah bayangan. Belum semenit aku kembali tidur, kini sebuah panggilan yang mengusikku. Enggan membuka mata, aku membiarkan sang pemilik suara menghampiriku. Seakan mengerti, dia menggelitik telapak kakiku, daerah paling sensitif yang aku tak akan bisa menahannya. Seketika itu juga aku bangun dan tertawa sedikit keras sambil berusaha menghentikan jari-jari yang terus menjelajah di telapak kakiku.
“Nadya?”, ternyata Linda.
“Hemm?”
“Dah bangun?”
“Lihat ni mata aku”
“Sekarang cepat kamu mandi, kita akan terlambat kalo kamu belum siap dalam waktu sepuluh menit”
“Hah?”
“Hiking, Nad!”
“Oh iya”, sahutku sambil segera mengambil perlengkapan mandi di pojok tenda.
“Nad, kamu mau kemana?, kamar mandinya sebelah kiri”
--**_**--
“Siap gerak!”
“Setengah lengan lancang kanan gerak!”
“Tegak gerak!”
“Istirahat di tempat gerak!”
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”
“Wa’alaikum salam wa rahmatullahi wa barakatuh”
“ Adek-adek, kalian tau sekarang kita akan melakukan apa?”
“Siap, tau kak!”
“Apa?”
“Siap, hiking kak!”
“Sebelum kita mulai acara kita hari ini, ada baiknya kita berdoa dulu, berdoa dimulai!”
“Selesai”
“Nama kakak kak Syarif, sekarang kakak mau bagi kelompok baru untuk kalian, kakak mau dalam setiap kelompok ada perwakilan dari masing-masing sekolah, karena ada tujuh sekolah, jadi, setiap kelompok terdiri dari tujuh orang”
“Lin, kalo gini caranya kita gak akan sekelompok”, ujarku pada Linda.
“Gak papa kali Nad, kita kan jadi bisa kenalan sama mereka”
“Iya sih, tapi...”
“Gak papa Nadya”
--**_**--
Aku duduk melingkar dengan teman-teman sekelompokku, kami dalam diam sambil saling melirik satu sama lain, hingga akhirnya..
“Kamu Nadya kan?”
“Iya, dari smp Indah, kamu?”
“Aku Arlin, dari smp 5”
“Aku Lia, dari smp Malahayati”
“Aku Rahma, dari smp Kamboja”
“Aku Putra, dari smp 1”
“Aku Abyan, dari smp 4”
“Aku Rifki, dari smp 3”
“Kita kan udah kenalan, sekarang gimana kalo kita pilih ketuanya”, kata Arlin.
“Suara terbanyak aja ya”, sambung Rifki.
Kami semua mengiyakan, aku langsung merobek selembar kertas dari minibookku. Setelah kutimbang-timbang, aku memilih Arlin, kelihatannya dia memiliki bakat sebagai pemimpin. Kami meletakkan kertas-kertas kami di tengah lingkaran.
“Aku yang baca ya”, kata Rifki.
Kami mengangguk.
“Arlin, Arlin, Arlin, Rifki, Arlin, Arlin, Rifki. Berarti ketuanya Arlin”
“Terima kasih atas kepercayaan kalian padaku, dan sebagai pinru, aku memilih Rifki sebagai wakil karna dia terbanyak kedua”.
“Kakak hitung sampai sepuluh, kalian harus sudah berbaris sesuai regu masing-masing, satu!”, terdengar suara kakak panitia.
Kami segera berlari ke tempat kak Syarif berdiri, dengan cepat membentuk barisan sesuai tinggi badan kami.
“Sembilan, sepuluh, siap gerak!”
“Lancang kanan gerak!”
“Tegak gerak!”
“Sekarang kita akan mulai agenda kita, yaitu hiking, kakak mau semua alat elektronik dikumpulkan, baik itu handphone, jam, dan sebagainya. Masing-masing kelompok akan kami beri peta dan satu Walky Talky. Dimulai dari kelompok satu, ayo jalan”
Lima belas menit kemudian, “Kelompok dua”
Kami bergerak maju, setelah memberikan jam dan handphone kami ke kak Syarif, kami segera menuju area hiking. Dimulai dengan jalan setapak yang semakin jauh semakin sempit. Arlin menyuruh kami berpegangan tangan ketika jalan setapak itu benar-benar hilang dan kami akan mulai memasuki bagian tengah hutan. Sinar matahari kalah dengan dedaunan hutan yang begitu lebat. Tiba-tiba Arlin berbalik ke arah kami.
“Bagaimana kalau kita bagi-bagi tugas?”, katanya.
Tanpa menunggu jawaban kami, Arlin kembali berkata
“Aku yang pegang peta, Abyan dan Nadya cari tanda-tanda dari kakak-kakak panitia, Lia dan Rahma perhatikan tanda-tanda alam, Rifki dan Putra jaga barisan. Siap?!”
“Siap!”, jawab kami bersamaan. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Di kejauhan aku melihat seperti ada garis hijau di sebuah batang pohon yang lumayan besar. Aku menarik Abyan dan menunjuk ke arah pohon itu.
“Yan, kayaknya kita harus kesana deh, liat tuh, ada garis hijaunya”, kataku.
Abyan menaikkan kacamatanya sebelum mengangguk.
“Arlin!”, panggil Abyan.
“Ya?”, sahutnya.
“Itu tandanya bukan?”, tanyaku.
“Hmm, di balik peta ini tertulis, ‘garis hijau maju, palang merah jauhi’, berarti kita ke sana, ayo maju”.
“Bentar, sekarang udah jam berapa sih?”, tanya Putra.
“Karna tadi waktu kita berangkat sudah pukul dua siang, maka matahari akan semakin condong ke barat, dan sekarang kita bisa lihat dari bayangan yang panjangnya kurang lebih sama dengan bendanya menunjukkan sudah sekitar pukul tiga sore, memang kenapa kamu tanya itu?”, jelas Lia.
“Gak papa sih, aku cuma penasaran kita udah berapa lama jalan”, jawab Putra.
Kami kembali berjalan, semakin lama sinar matahari semakin sulit menembus dedaunan dan kami semakin sulit melihat ke sekitar tanpa bantuan senter. Kami pun tiba di depan sebuah danau yang membelah jalur kami menjadi dua cabang. Kami berhenti.
“Berdasarkan peta kita harus pergi ke arah barat", kata Arlin.
“Barat ya?, Hmm, itu dia!”, tunjuk Rahma ke sebuah pohon yang ditumbuhi lumut.
“Kalian lihat lumut ini, lumut akan tumbuh di bagian pohon yang tidak terkena sinar matahari, jadi bagian yang bersih dari lumut adalah barat”, jelas Rahma.
“Berarti, kita belok kanan, ayo!”, kata Arlin mengajak.
Kami terus berjalan hingga tiba di sebuah tempat yang luas, tidak ada pohon yang tumbuh disana, tapi aku bisa melihat ada garis hijau di tengah-tengah tanah luas itu, garis yang sedikit berbeda dan agak aneh.
“Arlin, disana ada garis hijau”, tunjukku.
Arlin berjalan mendahului kami ke tempat garis tersebut, tapi kemudian garis itu bergoyang. Tanah di tempat Arlin berdiri membuka dan menghisap kakinya.
“Lumpur hisap!”, pekik Arlin. Seketika aku sadar kami sudah salah jalan.
“Arlin, hati-hati!”, teriak Rifki.
Rifki segera mematahkan dahan pohon yang agak panjang di belakangnya dan mengulurkannya ke arah Arlin, Rifki menariknya sekuat tenaga. Tak ingin hanya menonton, aku membantu dengan menarik badan Rifki, Lia menarikku dari belakang, Rahma menarik Lia, Putra menarik Rahma, dan Abyan menarik Putra. Akhirnya kami berhasil menarik Arlin keluar, tetapi sepatu sebelah kanannya terhisap lumpur.
“Kamu gak papa Lin?”, tanya Rahma.
“Alhamdulillah, aku gak papa, tapi kakiku...”, jawab Arlin.
“Kamu gak bisa ngelanjutin hiking tanpa sepatu”, cetus Rifki.
“Maaf ya Arlin, ini salahku. Aku yang nunjukin garis hijau lumut itu tadi”, kataku.
“Kamu gak salah kok, aku yang gak hati-hati”, jawab Arlin.
“Terus sekarang kita ngapain?, kita gak mungkin ngelanjutin hiking lagi”, tanya Putra.
“Kan ada Walky Talky, kita minta aja kakak-kakak panitia jemput kita di sini”, Abyan memberi usul.
“Kalo gitu, paling cepat besok pagi mereka akan jemput kita”, cetus Lia.
“Berarti malam ini akan jadi malam yang mengesankan bagi kita”, kata Arlin.
“Lebih baik sekarang kita cari dedaunan untuk alas kita tidur, dan juga kita harus nyalakan api unggun. Arlin, kamu hubungi kakak panitia saja”, kata Rifki.
--**_**--
“Hei kalian, bangun bangun!”, suara kak Syarif.
“Kak Syarif?”
“Iya, ayo balik ke perkemahan”
Serentak kami melompat dan memeluk kak Syarif.
“Makasih banyak ya kak, kalo gak ada kakak kami gak tau harus gimana lagi”
“Iya, sekarang ayo kita pergi, cepat”
Akhirnya kami kembali ke arena perkemahan, teman-temanku langsung mengerubungi dan mewawancarai kami.
“Nadya, akhirnya kamu balik juga, kamu gak papa kan?, aku takut banget kalo gak bisa jumpa kamu lagi”, kata Linda.
“Aku gak papa kok, lagian yang tertarik ke lumpur kan bukan aku”
“Ya udah, sekarang kamu siap-siap gih, mau penutupan”
“Sip!”
Aku berlari ke arah tenda, sambil berkemas aku kembali mengenang saat-saat kami ketakutan dan kebingungan kemarin. Kenangan yang tak akan kulupakan.
...*******...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun