Mohon tunggu...
Sigit Priyadi
Sigit Priyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Padang rumput hijau, sepi, bersih, sapi merumput, segar, windmill, tubuh basah oleh keringat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi KA Petarukan: Nestapa Tiada Akhir

4 Oktober 2010   01:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:45 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore tanggal 1 Oktober 2010, penulis menulis status di face book, dengan kalimat: "The Darkness Era .....",sebagai ungkapan perasaan terdalam setelah mengamati berita-berita   sebulan  yang lalu. Peristiwa demi peristiwa yang bernuansa kekerasan dan darah menghiasi  halaman buku harian Republik ini, selama Bulan Oktober 2010 (setelah Hari Raya Idul Fitri 2010 Hijriah). Keesokan harinya, tanggal 2 Oktober, penulis bangun pagi.  Setelah sholat Subuh berjama'ah di Mesjid, saya melanjutkan dengan membaca Al Qur'an.  Seperti biasa, pada hari Sabtu yang menjadi hari libur kantor, saya menyempatkan diri menonton berita televisi. Alangkah terkejutnya saya, melihat tayangan ‘Breaking news' di Metro TV. ‘Breaking News' pagi itu menayangkan berita terkini tentang ‘tubrukan kereta api di stasiun Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah' antara rangkaian Argo Bromo dan Senja Utama Semarang. Sedemikian hebatnya tubrukan tersebut sehingga menewaskan 30-an penumpang, di tempat kejadian. Reaksi spontan saya adalah geleng-geleng kepala sambil mengucapkan do'a: ‘Innalillahi Wa Innilaihi Roji'un, sambil menangkupkan kedua telapak tangan ke wajah. "Ya Allah dosa apa yang telah kami lakukan, sehingga musibah demi musibah berdarah selalu menghantam kehidupan masyarakat di negeri  kami  ini." [caption id="attachment_277882" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi penulis: Detik-detik mencekam sebelum lokomotif ArgoBromo menghantam gerbong paling belakang rangkaian Senja Utama."][/caption] Belum hilang kesedihan mendengar tubrukan kereta api di Pemalang tersebut, kami mendengar lagi  berita kecelakaan  ke-2, di Surakarta, antara rangkaian kereta api Bima dan Gaya Baru Malam.  Singkat cerita, pada malam itu telah terjadi dua kecelakaan kereta api secara  berturut-turut di Jawa Tengah. Kecelakaan kereta api berkali-kali terjadi di Pulau Jawa. Kecelakaan demi kecelakaan   yang terekam di benak penulis beberapa bulan yang lalu, paling banyak  terjadi di provinsi Jawa Timur, berupa  anjloknya rangkaian kereta  dari rel  di stasiun dan  tergulingnya rangkaian kereta ke sawah. Kemungkinan penyebabnya hingga saat ini mungkin tidak pernah dipublikasikan untuk umum. Apakah akibat paku-paku relnya dilepas pencuri? Apakah tanah pijakan relnya lunak? Apakah kecepatan kereta melebihi batas maksimum yang diijinkan dalam kaitannya dengan keamanan teknis? Bila melihat laju kecepatan dan keistimewaan yang diberikan kepada rangkaian kereta api ‘kelas atas', secara pribadi, saya merasakan adanya ‘sikap berlebihan' dari managemen PT KAI. Betapa tidak? Saat rangkaian kereta ‘mewah' ini melintas, semua harus ‘minggir tanpa kecuali' untuk mengosongkan jalan bagi lajunya rangkaian kereta tersebut, yang selalu melaju dengan kecepatan sangat tinggi. Seakan-akan bila rangkaian ini telah dilepas dari stasiun Jakarta, maka diminta jangan ada lagi yang menghalangi laju kecepatannya sampai stasiun tujuan. Mungkin bisa digambarkan seperti ‘banteng ketaton' (bahasa Jawa), yang berarti:  Mengamuk liar tak terbendung. Kekhawatiran penulis mungkin bisa dilihat dari kejadian dinihari, di Petarukan tersebut. Rangkaian Argo dengan kecepatan sangat tinggi melaju melibas stasiun kecil, namun di rel yang sama tengah berhenti rangkaian kereta kelas bawah. Akibat yang mengerikan langsung terjadi: "Dhuaaaaaaaaar !!!!". Bila melihat puluhan nyawa melayang tanpa terduga dan kerugian material PT KAI akibat kejadian itu, terbayanglah kesia-siaan upaya kita dalam membangun system pelayanan transportasi kereta api, sebagai angkutan rakyat yang murah, berdaya muat masal, dan ramah lingkungan, yang selama bertahun-tahun  telah dilakukan. Berpuluh-puluh  lokomotif yang diimport berharga milyaran rupiah, ratusan gerbong baru yang dibangun , semuanya tergeletak dengan kondisi tercabik-cabik, terlipat, compang-camping, penyok-penyok , akibat kecelakaan yang berulangkali terjadi. Pertanyaan kedepan: 1. Apakah untuk mempertahankan keawetan dan merawat sarana umum yang sangat vital, adalah sesuatu yang sangat sulit ? 2. Apakah kenyamanan minimal dan rasa aman, yang sebenarnya hanya keinginan paling dasar  yang ‘dituntut' oleh  sebagian besar masyarakat pemakai jasa kereta api, akan semakin sulit ‘ditebak' ? 3. Apakah transportasi kereta api kita tidak akan diper'modern' ? seperti halnya Negara-negara maju yang serius dengan rancang bangun jaringan kereta apinya secara ‘signifikan', yaitu: Jepang, Belanda, Perancis, Jerman, Denmark ? Cileungsi, 3 Oktober 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun