Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pacar Cerewet

27 April 2017   20:57 Diperbarui: 28 April 2017   06:00 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pacar pertama saya adalah kakak kelas sewaktu masih di sekolah menengah atas. Kami putus setelah dia lulus dan melanjutkan kuliah di kota.

Lima tahun setelahnya saya masih sendiri, belum ingin membina hubungan lagi. Sampai suatu ketika di acara seminar kepenulisan, saya bertemu Malik. Teman sebangku waktu masih berseragam putih merah—meski itu hanya setahun, sebab dia harus mengikuti ayahnya yang dipindahtugaskan ke Papua.

Malik seratus delapan puluh derajat berubah. Suaranya sudah tidak cempreng. Gaya rambutnya pun berbeda: mirip David Villa, pemain bola andalan saya. Dia juga terlihat lebih hitam. Mungkin karena terlalu sering terkena paparan cahaya matahari waktu masih di Papua.

Seminggu setelah jadian, saya menemukan satu lagi perubahan dari seorang Malik. Dia menjadi cerewet. Awalnya saya menganggap itu bentuk perhatian. Tapi lama kelamaan membuat risih juga. Bagaimana tidak, kalimat tanya semisal saya sudah makan atau belum, sudah mandi atau belum, hari ini keramas atau tidak, jangan lupa gosok gigi, pulang kampus jam berapa, kenapa tidak mau pulang sama-sama, sudah sampai rumah atau belum, kenapa belum tidur, terus saja berputar-putar di telinga saya sepanjang waktu.

Di lain waktu dia akan bercerita tentang kehidupannya. Tentang prestasi akademiknya, keaktifan berorganisasinya, hobinya, pacar-pacar dia sebelum bersama saya, adik-adik kelas yang menaruh hati sama dia, kepopulerannya sewaktu SMA, ayahnya yang kini seorang jenderal. Kakak perempuannya yang saat ini bekerja di kementerian. Semua hal dia ceritakan. Malik tidak ada bedanya dengan siaran berita dua puluh empat jam. Dan itu membuat saya muak.

“Saya mau putus saja!” saya berseru kesal. Memotong cerita Malik tentang dosen yang tadi pagi minta dielus perutnya, biar punya anak yang mirip dia.

Malik diam. Saya bersyukur karena itu. Akhirnya untuk pertama kali dia tidak bersuara. Saya lantas melanjutkan, “Kamu terlalu banyak berbicara dan enggan mendengarkan.”

Malik masih diam. Dia seperti sedang berusaha merangkai kalimatnya sendiri.

“Kamu tak pernah mau mengizinkan saya untuk bercerita. Bahkan untuk memberikan tanggapan dari ceritamu pun saya tidak bisa.”

Sekarang Malik menunduk. Samar-samar saya mendengar suara dia, “Itu karena napas kamu bau.”

Saya kehilangan kata-kata. Menatap langit senja sambil mengingat-ingat kembali kapan terakhir kali menyentuh pasta gigi.

Hari itu saya kembali jomblo. Dan sekarang, enam tahun sejak kejadian tersebut, saya pun masih tetap jomblo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun