Mohon tunggu...
Cahaya
Cahaya Mohon Tunggu... Lainnya - Dualisme Gelombang-Partikel

Penyuka pohon johar, cahaya matahari, dan jalan setapak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Perjalanan Pulang

20 Maret 2017   14:23 Diperbarui: 20 Maret 2017   14:56 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ada desas-desus tentang pembunuhan sadis di desa.” Aku membuka suara, mencoba meminta kakak menimbang kembali keputusannya untuk pulang. “Aku sih tak percaya,” kata kakak cuek. “Kudengar, si pembunuh memutilasi korbannya, tujuh hari setelah membunuh mereka.” “Jangan terlalu mudah termakan isu yang belum tentu benar. Semua itu hanya akan membatasi langkahmu.” “Jadi kau akan tetap pergi?” tanyaku menanggapi. “Iya.” Kakak memasukkan lembar terakhir pakaiannya ke dalam tas ransel berwarna abu-abu lantas memandangku lekat, “Bagaimana denganmu?” Aku diam. Kuakui, kabar pembunuh sadis yang berkeliaran bebas di daerah asalku benar-benar membuat takut, tetapi, merayakan Natal sendirian di kota se-ramai ini sepertinya jauh lebih horor.

“Tidak, eng ... maksudku ... siapa yang mau merayakan Natal seorang diri.” “Pilihan yang bijak.” “Semoga aku tidak menyesal.” “Kemasi saja barangmu, kecuali jika kau memilih naik bus lalu diantar tukang ojek untuk tiba di rumah kita.” “Jangan bercanda. Aku pasti lebih memilih duduk di belakangmu ketimbang harus menghabiskan setengah jam mencium bau badan om tukang ojek, yang lebih mirip kopra gagal kering itu.” Kakak tertawa. Dia lalu menuju dapur, memeriksa kembali keadaan pintu belakang. Sedang aku bergegas mimilih pakaian dan barang bawaan yang mungkin akan kubutuhkan ketika di desa nanti. *** Setelah setengah perjalanan, kami mampir sebentar ke warung kopi di pinggir jalan.

Melepas penat dengan memesan kopi tanpa gula. Selain aku dan kakak ada seorang bapak berusia sekitar tiga puluhan tahun, juga, lelaki yang sepertinya adalah seorang supir truk, dan lelaki muda seusiaku duduk di meja sebelah. Setengah gelas kopinya sudah berkurang. “Ke mana?” Bapak tiga puluh tahun itu. “Desa Kolontigi, Pak, Natalan.” “Berhati-hatilah di perjalanan, jangan berhenti di tengah jalan. Jangan percaya pada siapa pun, termasuk kakek tua yang terlihat lemah.” Aku menelan ludah. Kopi di tangan sedikit bergetar. Sudah setengah jalan. Haruskan aku kembali? “Habiskan kopimu, kita harus segera sampai sebelum matahari terbenam.” Kakak memberi aba-aba. Kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini aku yang duduk di belakang setang, menggantikan kakak.

*** Setengah jam lagi kami tiba, seandainya tidak ada plang di depan motorku yang memberitahukan bahwa sedang ada penutupan jalan, karena longsor. Artinya, aku dan kakak harus berjalan memutar untuk dapat sampai di desa kami dan itu memakan waktu sekitar satu setengah jam lagi, setidaknya begitu menurut petugas yang kami tanyai tadi. “Bagaimana ini?” Aku bertanya sedikit ragu. “Teruskan saja, kita sudah hampir sampai.” “Tapi aku belum pernah melewati jalanan di samping gunung itu.” “Kau takut?” “Ta-takut?” Aku membalikkan badan, menatap kakak, “Aku hanya tidak yakin dengan medan yang kita tempuh nanti, bisakah kendaraanmu ini melewatinya?” kataku sambil menepuk bagian depan motor miliknya. Lelaki itu tertawa. “Kalau begitu biar aku yang membawanya.”’

“Baiklah, jika kau memaksa.” Dia tertawa lagi. Kami pun memutar haluan, menuju jalanan di samping pegunungan. Ada sekitar sepuluh menit, perjalanan terasa mulus. Setelahnya, beberapa kali pantatku bertumbukan dengan alas duduk akibat jalanan berlubang di mana-mana. Meski motor yang kami kendarai sempat oleng, tetapi saudara laki-lakiku itu, masih bisa menangani hal tersebut. Sayang, ketangguhannya tak berlangsung lama, karena setelah itu kami terjatuh oleh tikungan menanjak yang berpasir. Beruntung, tidak melintas truk atau kendaraan lain di belakang kami. Tapi sialnya, bensin yang kami siapkan di jeriken, terpental keras lantas berakhir di bawah motor, mengakibatkan nyaris semua isinya tumpah. Sempurna. Bensin motor hampir habis dan kami tidak punya cadangan lagi.

“Sekarang apa?” “Kita lanjut saja, semoga di depan sana ada yang berjualan bensin eceran.” Kami pun meneruskan perjalanan. Sekian meter kemudian akhirnya menemukan penjual bensin eceran. Puji Tuhan. Bensin itu berada dalam botol bekas minuman mineral 1500 mL yang tidak terisi penuh. Berjajar sebanyak lima buah di rak kayu tanpa cat. Keempat botol lain sudah kosong dan hanya tersisa satu. Tak masalah. Satu botol sepertinya cukup untuk perjalanan setengah jam kemudian. Yang jadi masalah adalah ... di mana penjualnya? Pertanyaanku terjawab sesaat setelahnya. Seorang lelaki tua berjalan mendekati kami. Matanya bulat dengan alis tebal yang sudah memutih di hampir semua helainya. Jadi, meskipun kepalanya plontos, kami tetap bisa mengetahui kalau lelaki yang kini di hadapan, jelas berusia senja.

“Kalian terlihat letih, singgahlah beristirahat barang sebentar.” Lelaki tua itu melayangkan tangan kanan ke arah rumah papan di belakangnya, “Kebetulan cucuku baru saja memanen kelapa muda untuk dijual besok pagi. Kalian bisa menikmatinya secara gratis, sebagai hadiah.” “Ti—” ucapku terpotong oleh perkataan kakak. “Dengan senang hati, kebetulan kami sangat haus, Kek.” Aku memandang kakak dengan wajah mengerut, meminta penjelasan. “Tak usah terlalu khawatir, apalagi sampai termakan omongan bapak-bapak di warung kopi tadi. Lelaki tua yang tinggal bersama cucunya tidak mungkin seorang pembunuh.” Kakak berkata pelan, dia ternyata dapat membaca isi kepalaku. “Tapi bisa saja kakek itu berbohong tentang cucunya!” “Kalaupun dia berbohong, kurasa tidak mungkin dia seorang pembunuh, apalagi sampai memutilasi korbannya.

Tidakkah kaulihat getaran tangannya ketika menyerahkan sebotol bensin tadi? Orang tua itu tak cukup kuat untuk mengangkat parang.” “Lewat sini!” seru lelaki tua tadi. Kakak melangkah cepat, aku menyusul pelan dari belakang dengan perasaan was-was dan kurang nyaman. Setiba di dalam, kami langsung disuguhkan dengan kelapa muda yang bagian atasnya sudah dilubangi. Meminum air kelapa muda langsung dari batoknya adalah cara terbaik, apalagi di saat kehausan. Lelaki tua tadi kini di hadapan kami, dia bercerita banyak mengenai kehidupan. Bahwa hidup, sebisa mungkin berguna bagi orang lain. Seperti halnya pohon kelapa, di mana semua bagiannya dapat kita manfaatkan.

Mulai dari pelepah untuk membuat bungkusan ketupat, atau kerajinan buatan tangan. Tempurung kelapanya bisa kita gunakan untuk membuat briket atau kerajinan tangan yang bernilai tinggi. Airnya sebagai penghilang dahaga, juga sebagai infus alami. Daging buah muda bisa kita nikmati sebagai campuran es buah, sedangkan yang tua bisa sebagai santan di sayur ataupun kari, bisa juga sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng. Lalu batangnya dapat kita gunakan sebagai bahan membangun rumah, bahkan ada yang menggunakannya sebagai lantai rumah. Aku terenyuh mendengarkan cerita orang tua itu.

Terenyuh sekaligus semakin haus. “Lihat, orang tua itu sama sekali tak berbahaya!” seru kakak nyaris berbisik, “berhentilah berpikiran negatif.” Kakak lantas meneguk air kelapa muda di depannya. “Ini segar sekali, cobalah!” kakak menawari. Akhirnya aku luluh—atau tergoda. Kuhabiskan air kelapa muda di hadapanku dalam sekali tegukan. Kakak tersenyum—lebih mirip mengejek—melihatku yang akhirnya meminum juga kelapa muda yang ditawarkan lelaki tua itu. Oke, sampai detik ini masih tidak terjadi apa-apa. Mungkin memang benar, aku yang terlalu khawatir. Ketakutan yang berlebihan, seperti kata kakak. Usai melunaskan dahaga, aku dan kakak pun bergegas, setelah sebelumnya berterima kasih kepada kakek tadi. Kakak sempat memberinya pecahan seratus ribuan tetapi lelaki tua itu menolak secara halus.

Aku jadi merasa bersalah telah berpikiran macam-macam tentang kakek itu. Kami pun beranjak, sebelum matahari tenggelam. *** Setengah jam akhirnya berlalu. Motor yang kakak kendalikan kini memasuki halaman rumah. Setahun ditinggalkan, rumah itu terlihat tidak banyak berubah. Hanya warna temboknya saja yang berganti menjadi hijau. Rutinitas keluarga kami untuk menyambut Natal. Dari beranda adik perempuanku telah menunggu. Wajahnya terlihat murung. Mungkin sedang datang bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun