Mohon tunggu...
Dimas Satyo Adiprakoso
Dimas Satyo Adiprakoso Mohon Tunggu... Lainnya - Full Time Digital Marketing

Social Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merdeka Dalam Kata

18 Agustus 2017   02:35 Diperbarui: 18 Agustus 2017   02:39 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ORDE BARU

Setelah tongkat estafet kepemimpinan diberikan kepada Soeharto negeri inipun dilanda perubahan sistem politk, ekonomi dan sosial sehingga mau tidak mau hal tersebut berdampak pada sistem pendidikan. Dan dengan diterapkannya UU No. 1 Tahun 1976 tentang penanaman modal asing yang berimbas pada perubahan sistem pendidikan yang menekankan pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi pendidikan. Serta adanya wacana pada tahun 1990-an oleh Mentri Pendidikan dan kebudayaan yang saat itu menjabat yakni Wardiman Djojonegoro yang  menginginkan sistem pendidikan dilempar ke mekanisme pasar. Sudah sangat jelas bahwa praktik pendidikan yang saat itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hasil dari sistem pendidikan ini adalah mengutamakan hasil dan iming-iming besar terhadap sebuah pekerjaan ketimbang proses pendidikan itu sendiri.

Produk sistem pendidikan tersebut menghasilkan beberapa kurikulum diantaranya kurikulum 1968, 1975, 1984. Yang mana dari setiap masing-masing kurikulum memiliki tujuan untuk meningkatkan kecerdasan siswa dengan menjejalkan teori-teori tanpa mengaitkan fakta yang ada di lapangan.

Pendidikan di zaman Soeharto pun memiliki ciri sentralistik dan militeristik yang mana memiliki tujuan untuk mengurangi pergolakan yang dilakukan mahasiswa yang menentang rezim karena penerapan kebijakan modal asing. Serta mengeluarkan peraturan kepada masing-masing kampus berupa NKK/BKK untuk mempersempit ruang gerak mahasiswa untuk beropini tentang rezim yang memimpin. Namun lagi-lagi sistem pendidikan tersebut harus berakhir dengan ditandai runtuhnya rezim Soeharto.

Perlu direnungkan kembali bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh Soeharto pun kembali lagi pada warisan pendidikan zaman kolonial yang mana pendidikan sebagai alat untuk tunduk kepada penguasa dan di didik sebagai tenaga kerja yang siap pakai. Yang mana sistem pendidikan ini yang terus-menerus secara tidak langsung dipraktikan dipendidikan zaman modern ini.  

REFORMASI

Era Soeharto memang berakhir namun masalah pendidikan masih menimbulkan masalah bagi rezim-rezim berikutnya. Berkali-kali sistem pendidikan diperbaiki melalui peraturan yang dibuat oleh pemerintah terutama mengenai status dari perguruan tinggi menjadi badan hukum yang mana hal tersebut mencederai konstitusi dasar negara yakni UUD 1945 yang mana pendidikan menjadi kewajiban negara sebagai penyelenggara malah dengan peraturan tersebut masyarakatlah yang dibebankan untuk menyelenggarakan pendidikan dan negara lepas tangan akan hal tersebut, Pada akhirnya keputusan tersebut tetap disahkan oleh pemerintah dan mulai dijalankan saat ini.

Begitupun produk kurikulum yang dihasilkan seperti kurikulum 2004 dan 2006 yang mana tidak jauh berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang menguatkan teori dalam pembelajarannya walaupun terkadang terdapat praktik penerapan di dalamnya. Sedikit pembahuruan terjadi pada produk kurikulm 2013 yang mana menerapkan aspek pengetahuan, ketrampilan dan perilaku. Bisa dikatakan seperti kembali pada kurikulum era Soekarno namun dalam pelaksanaannya masih banyak terjadi pro dan kontra dari masyarakat.

Pemerintah tak kenal lelah dalam memperbarui sistem pendidikan di negeri ini. Baru-baru ini sang pemangku kebijakan mengeluarkan sebuah wacana sistem "Full Day School"yang memiliki tujuan sebagai kontroling siswa agar tidak terjerumus ke dalam kegiatan negatif dan berujung pada penyimpangan moral. Patut diparesiasi namun untuk melaksanakan wacana tersebut juga harus perlu analisa dan kajian yang menyeluruh serta komperhensif agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa.

MERDEKA BUTUH KESADARAN

Mungkin bagi para pemimpin sangatlah muda mengotak-atik sebuah kebijakan yang menentukan masa depan bangsa, namun kita juga bukanlah boneka yang bisa dibuat mainan sesuka hati demi sebuah kepentingan yang bukan tujuan mulia bangsa ini. Ini bukanlah tanggung jawab segilintir orang yang memangku jabatan, melainkan kewajiban kita semua warga negara Indonesia untuk terus saling berbenah, belajar dan mengingatkan terhadap sesama demi tujuan mulia bangsa yakni "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka dan mandiri di berbagai sektor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun