Mohon tunggu...
Aris P. Zebua
Aris P. Zebua Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seharusnya pendidikan merupakan hadiah bagi semua orang | Blog pribadi: satyaaris.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Diancam

30 Agustus 2017   18:58 Diperbarui: 30 Agustus 2017   19:44 944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suatu hari terjadi keributan di sebuah sekolah. Awal ceritanya adalah ada orang tua yang ingin memindahkan anaknya dari sekolah tersebut. Ketika kepala sekolah menanyakan hendak pindah ke mana, jawabnya ke sekolah negeri. Tapi tidak jelas ke sekolah negeri mana yang dituju. Lagipula rasanya sulit memindahkan siswa dari sekolah swasta ke negeri tanpa alasan yang tepat. Kebetulan si anak bersekolah di sekolah swasta. Akhirnya, surat pindah dikeluarkan atas permintaan orang tua tanpa menyertakan nama sekolah yang dituju. Sebuah keputusan yang janggal.

Dua bulan kemudian ujian akhir tahun berlangsung. Tiba-tiba si anak muncul lagi ikut ujian. Singkat cerita, sebenarnya ia tidak jadi pindah karena sekolah negeri tidak merimanya dengan alasan tidak ada kursi kosong di sana. Selama dua bulan itu ia tidak bersekolah alias berada di rumah. Guru-guru pun heran, tetapi karena kepala sekolah telah menerimanya kembali, dengan syarat membayar semua beban belajar, si anak ini pun ikut ujian. Kepala sekolah menerimanya kembali setelah melakukan pembicaraan dengan orang tuanya. Kekhawatiran guru adalah bagaimana ia ikut ujian tanpa persiapan sama sekali. Dan semuanya terjawab oleh hasil belajarnya yang tidak memuaskan.

Hasil rapat guru tentang kenaikan kelas pun selesai. Semua siswa dinyatakan naik kelas. Walaupun sebenarnya ada satu-dua siswa tidak layak naik kelas. Namun, karena ini sekolah swasta yang memiliki kebijakan sendiri, tentu tidak akan membiarkan ada siswa yang tinggal kelas. Lagipula kriteria kenaikan tidak ditentukan hanya dari nilai angka saja. Meskipun demikian nilai siswa tidak akan diutak-atik alias dikatrol. Nilai apa adanya.

Si anak yang ingin dipindahkan oleh orang tuanya tadi termasuk salah satu dari satu-dua siswa yang tidak naik kelas. Bagaimana tidak, dua bulan dia tidak bersekolah. Namun, karena dia termasuk siswa yang berperilaku baik, maka dewan guru memutuskan untuk naik kelas.

Sebelum tahun pelajaran baru dimulai, orang tua yang tadi ingin memindahkan anaknya, namun batal, kembali meminta anaknya pindah. Kali ini ke sekolah negeri lagi, tapi bukan sekolah negeri yang sebelumnya. Oleh permintaan dan desakan sang orang tua, surat pemindahan dikeluarkan tanpa menuliskan sekolah yang dituju. Keputusan yang, lagi-lagi, janggal.

Tahun pelajaran baru dimulai. Sekolah berganti pimpinan. Masa orientasi peserta didik baru berjalan dengan lancar. Secara administrasi, si anak yang pindah tadi sudah tidak tercatat sebagai peserta didik di sekolah asal. Seharusnya masalah selesai dan kegiatan belajar-mengajar berlanjut.

Ternyata masih ada masalah yang berhubungan dengan orang tua yang ingin memindahkan anaknya ke sekolah negeri tadi. Anaknya ternyata tidak diterima di sekolah negeri karena nilainya rendah. Itulah alasannya. Oleh karena itu, ia meminta nilai anaknya diubah alias dinaikkan. Permintaan ini tentu tidak bisa dipenuhi oleh sekolah karena sudah merupakan keputusan rapat dewan guru. Pihak sekolah juga tidak tahu ke sekolah mana anak tersebut pindah. Orang tuanya menyembunyikan informasi ini. Dan lagi, pimpinan atau kepala sekolah telah berganti.

Oleh karena permintaan orang tua ini tidak dipenuhi yaitu mengganti nilai anaknya, maka mereka pun marah-marah kepada guru dan kepala sekolah. Alasannya, anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena nilai anaknya rendah. Guru tega memberi nilai rendah kepada anak mereka. Artinya, pihak sekolahlah yang salah. Padahal guru-guru tidak tahu anaknya dipindahkan ke mana sebab orang tua tersebut tidak pernah memberi tahu ke mana mereka akan memindahkan anaknya.

Kepala sekolah lama pun dihubungi. Sebab beliau yang mengeluarkan surat pemindahan. Dan jelas di suratnya tidak tertera nama sekolah yang dituju. Itu pun karena permintaan orang tua.

Dua kali orang tua ini ke sekolah meminta agar nilai anaknya dinaikkan, dengan marah-marah. Sekolah tetap tidak memenuhi permintaan tersebut. Apalagi mereka memintanya dinaikkan begitu saja tanpa meminta persyaratan ujian ulang atau apapun. Tentu sekolah tidak mau. Namun, di sinilah sekolah swasta mengalami dilema. Tetap  menjaga integritas atau mengikuti selera pasar (orang tua).

Ancaman pun datang. Dua "orang suruhan" mendatangi sekolah. Mereka mengaku dari LSM tertentu tetapi tidak menunjukkan kartu identitas. Katanya, mereka mewakili orang tua si anak, yang batal diterima di sekolah negeri karena sekolah asalnya tega memberikan nilai rendah kepada anak. Tanpa bukti yang meyakinkan, mereka mengatakan si anak sedang sakit karena sudah lebih dari sebulan tidak bersekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun