Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan. Telemedicine 085-77777-2765

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jokowi: Ndeso Rendahkan Rakyat Kecil, Menurut Polisi Tidak Masalah

7 Juli 2017   12:00 Diperbarui: 8 Juli 2017   19:00 1321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika istilah Ndeso menjadi viral di jagad Indonesia maka penegak hukum dengan cepat dan tegas menyatakan bahwa tidak masalah atau  tidak ada yang salah dengan istilah "Ndeso".  Sehingga  Polisi tidak akan melanjutkan pemrosesan dakwaan pelaporan ujaran kebencian yang dilakukanKaesang putra Presiden Jokowi. Polisi dan kelompok tertentu melakukan pembenaran bahwa tidak ada yang salah dengan istilah yang diskriminatif itu. 

Tetapi ternyata Presiden Jokowi pernah merasa terhina karena cibiran ndeso yang dulu banyak  diterimanya. Sehingga Jokowi mengingatkan jangan menghina dengan istilah  Ndeso karena sangat merendahkan rakyat kecil. Ternyata fenomena feodal dunia terjadi lagi di Indonesia. Saat yang melakukan hamba sahaja adalah perbuatan haram dan terlarang. Tetapi saat yang melakukan anak raja tidak salah dengan banyak pembenaran. Dampaknya saat ini sangat memprihatinkan. Ujaran Ndeso dianggap tidak salah, dianggap baik dan menjadi populer secara bebas digunakan berlebihan oleh warga masyarakat di media sosial dan media televisi untuk menghina dan memperolok saat tidak menyukai atau tidak sependapat dengan orang lain atau kelompok tertentu. Padahal keretakan 2 kelompok besar dalam masyarakat paska kejadian penistaaan agama oleh Ahok sempat mereda menjadi bergejolak lagi. 

Istilah Ndeso menjadi heboh ketika Kaesang Pangarep menyebutkan kalimat yang dianggap mengandung provokasi dan kebencian. "Mengadu-adu domba dan mengkafir-kafirkan, gak mau mengikatkan padahal sesama Muslim karena perbedaan dalam memilih pemimpin. Apaan coba? Dasar ndeso," kata Kaesang yang diunggah di youtube dan menjadi viral. Ternyata salah satu "kaum ndeso" ada yang merasa terhina dan melaporkannya ke polisi atas dugaan penodaan agama dan ujaran kebencian. 

Seperti biasa polisi secara profesional dengan cepat menindaklanjuti laporan itu apalagi masalah itu sudah sangat menghebohkan dunia  media sosial dan melibatkan keluarga orang nomer satu di replubik ini. Kapolda Metro Irjen M Iriawan dengan sigap dan cepat menyatakan akan siap menindaklanjuti pelaporan tersebut. Kapolda berjanji selain memanggil pelapor, polisi akan meminta pendapat saksi ahli. Keterangan ahli dibutuhkan guna memutuskan ada-tidaknya unsur pidana dalam laporan itu. Seperti yang banyak diduga kehebatan polisipun berlanjut dalam waktu yang sangat cepat tanpa memanggil pelaku dan belum bisa menghadirkan pelapor Wakapolri langsung memutuskan bahwa  tidak akan memprosesnya.  Laporan "wong ndeso" yang merasa terhina terkait dengan dugaan penodaan agama dan ujaran kebencian karena dianggap mengada ada. Wakapolri  menjelaskan, ujaran kebencian yang ditujukan ke Kaesang hanya bersifat gurauan (guyon). Apalagi istilah "Ndeso" yang diperkarakan dianggap merupakan gurauan umum di masyarakat. "Ya ngomong 'Ndeso' kan dari kecil saya sudah dengar omongan itu. Itu kan guyonan saja," papar Syafruddin. 

Sejak itu seperti biasa, saat ada isu besar muncul NKRI yang dulunya solid menjadi terbelah jadi 2 kelompok sosial politik paska Pilkada DKI atau paska penoistaan Agama Ahok yang belum move on terus berseteru.  Mereka saling bersilat lidah di media sosial. Kadang menggunakan akal sehat tapi kadang tanpa menggunakan rasio akal sehat lagi dengan melakukan pembenaran.  Sedangkan kelompok lainnya berusaha  mencari celah kesalahan. Para pembenar langsung melakukan pembenaran bahwa istilah ndeso itu adalah istilah yang biasa digunakan rakyat sejak dahulu kala tidak pernah dipermasalahkanbdan halal untuk diucapkan. Para pembenarpun mengatakan bahwa tukul sangbRaja komedia juga sering melakukannya juga tidak pernah dipermasalahkan. Tetapi para pencari kesalahanpun tidak mau kalah. Mereka berburu pada kamus atau pendapat ahli bahwa ndeso berkonotasi negatif bila digunakan untuk menghina fisik, pendapat dan perilaku orang lain yang dianggap berbeda dengan orang yang mengucapkan. Konotasi negatif ucapan "dasar ndeso"  tidak jauh berbeda dengan  kampungan, dasar udik atau norak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 2008: 228) kata "kampungan (N) didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan kebiasaan di kampung atau desa; terbelakang (belum modern); kolot; atau tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar; berandalan.. Sampai derik ini kontroversi mana yang baik dan benar masih menjadi debat kusir bukan tergantung rasional berpikir yang sehat tetapi karena kepentingan ego masing masing.

Seketika para pembenar dan pendukung Kaesang menjadi terhenyak ketika presiden Jokowi yang kita hormati dan kita banggakan semua itu, justru berpihak pada kelompok bahwa istilah ndeso itu termasuk hinaan dan ujaran kebencian.  Saat kampanye Pilpres Jokowi meminta setiap pihak untuk tidak lagi mengejek dengan menyebutkan 'ndeso' karena itu sama saja merendahkan rakyat kecil. Jokowi meminta pihak-pihak yang sering mengejeknya karena penampilan dan wajahnya dengan sebutan 'ndeso' agar berhati-hati karena ungkapan tersebut sama saja mengejek seluruh masyarakat desa. Bahkan karena ejekan itu terhadap Jokowi dengan emosional Jokowi mengatakan"Banyak yang menjelekkan saya, katanya wajah saya wajah 'ndeso', artinya menjelekkan orang desa kan. Hati-hati itu artinya meremehkan kita semua kan," kata Jokowi saat kampanye Pilpres menghadiri acara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) di Lapangan Tegalega, Bandung, Jawa Barat, Kamis (3/7/2014) seperti yang dilansir antaranews.com. Jokowipun saat itu curhat pada pendukungnya bahwa selama ini dia disebut ndeso, tetapi dirinya berusaha merendah, namun hal itu justru membuat orang lain merasa leluasa menginjak-injak harga dirinya dengan beragam ejekan dan fitnah. "Dipikir Pak Jokowi 'ndak' dengar. Saya merendah diinjak-injak, dipikir diam tidak bisa apa-apa," kata Jokowi saat merasa direndahkan oleh hinaan itu.

Melihat huru hara istilah ndeso tersebut saat ini akan menjadi fenomena unik dan aneh. Hal ini mengingatkan pada cerita kerajaan atau jaman pra demokrasi dahulu kala. Ketika seorang hamba sahaja yang meneriakkan hinaan atau ujaran kebencian itu terhadap sang Raja dianggap terlarang. Tetapi ketika anak Raja atau para bangsawan yang mengucapkan pada rakyatnya maka para hulubalang dan para pendukungnya menganggap hal yang biasa dan bukan hal yang haram.  Zaman  kerajaan beheula itulah sekarang sedang terjadi di negera demokrasi terbesar di dunia ini. Mungkin rakyat saat ini tidak usah mempermasalahkan sangsi hukum bagi terduga pelaku hinaan dan ujaran kebencian karena "kaum ndeso" pasti pesimistis agar kasus hukum itu untuk ditindaklanjuti. Tetapi paling tidak harus dimunculkan pikiran positif bahwa fenomena aneh itu dapat dijadikan pelajaran moralitas bagi bangsa ini.  Zaman kerajaan dahulu bisa saja sangsi pelanggaran moral, etika dan hukum hanya berlaku untuk rakyat tidak berlaku untuk keluarga raja dan bangsawan.  Ketidakadilan sangsi moral, etika dan hukum itu akhirnya memaksa membalik keadaan bahwa yang hak dan batil dianggap benar dan yang benar dianggap salah. Maka dalam zaman yang amburadul itu terjadi saaat ini jangan disalahkan. Ketika menghina raja dengan hinaan dan ujaran kebencian kata ndeso dianggap halal dan boleh dilakukan. Jangan kaget saat ini umpatan yang kasar dan bagi orang berbudaya akan merasa jengah ketika ujaran kebencian " Dasar Ndeso" semakin banyak berseliweran untuk menghakimi orang dan kelompok yang berbeda pendapat. Nantinya bila tidak sependapat dengan kebijaksanaan Presiden, penghinaan terhadap presiden dengan ujaran "presiden ndeso" dihalalkan dan bukan dianggap makar


Tampaknya fenomena ini mengingatkan berbagai cerita kerajaan zaman dulu yang sering terjadi. Ketika anak raja dan para hulubalang kerajaan suatu ketika mulai tidak patuh pada rajanya. Ketika sang Raja bertitah bahwa ejekan, hinaan dan ujaran kebencian jangan lagi dilakukan karena merendahkan rakyat kecil. Tetapi tampaknya titah sang Raja tidak dipatuhi dan dilawan oleh anak raja, para hulubalangnya dan para pendukung setianya.  Mereka masih bersikeras menentang sang raja dengan segala macam pembenaran bahwa hinaan itu hal biasa dan merupakan guyonan. Rakyat menjadi bingung. Dalam kebingungannya, seperti biasa rakyat hanya bisa bersabar dan berdoa sambil menunggu sikap dan titah raja berikutnya. Apakah sang raja akan menghukum anak Raja, Para hulubalang dan rakyat pendukung setia yang melawan titahnya ? Atau malah Sang Raja akan menghukum rakyat yang mempermalukan anaknya ?

Tampaknya cerita raja jaman dahulu kala akan berbeda dengan pemerintahan Indonesia dan rakyat Indonesia saat ini. Indonesia saat ini dikelola oleh presiden yang ditampilkan sangat sederhana tetapi  jujur, bermoral dan santun dan sangat menjunjung tinggi hukum serta bersikap sangat demokratis. Demikian juga sang anak adalah remaja yang cerdas, sopan, bermoral dan sangat inspiratif nantinya diharapkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan  bisa diandalkan.  Demikian juga para penegak hukum di Indonesia saat ini adalah penegak hukum sejati yang taat hukum dan tidak pernah membeda bedakan kaya-miskin atau rakyat-penguasa di depan hukum dan keadilan. Begitu juga para pendukung setia presiden adalah manusia yang mempunyai akal pikiran yang jernih dan sehat. Mereka selalu mendukung kebaikan dan akan selalu mengingatkan bila ada keburukan yang dilakukan pemimpinnya. Pendukungnya adalah pendukung yang obyektif berdasarkan rasionalitas tidak berdasarkan kepentingan partai, kelompok atau kepentingan sekotak nasi. Begitu juga kelompok lainnya yang dianggap selalu mencari cari kesalahan pemimpinnya.  Tampaknya semua kelompok harus mendukung hal positif dari presiden, ulama dan elit bangsa dan mengubur dalam dalam hal negatif yang ada.  Bila itu terjadi maka ujaran Ndeso atau kampungan yang selama ini dianggap biasa dan guyonan itu tidak akan lagi melukai perasaan Presiden Jokowi. orang desa atau manusia yang berpenampilan "Ndeso" di seluruh pelosok negeri ini. Bila itu terjadi maka Indonesia akan menjadi NKRI yang damai dan tidak dipenuhi kebencian seperti beberapa tahun sebelumnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun