Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Tidak Salah Keluar Gerindra, Tetapi Salah Cari Alasan

14 September 2014   19:31 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:43 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahok saat ini adalah salah satu pejabat publik yang hebat tetapi tidak bisa terlepas dari kontroversi. Sebagai pejabat Ahok diakui kehebatannya dan disenangi oleh publik karena dikenal keras, emosional, disiplin dan ceplas-ceplos. Tetapi sebaliknya sebagai politikus Ahok dikenal sebagai politikus inkonsisten atau sering dinobatkan sebagai kucu loncat musuh politiknya. Untuk kesekian kali Ahok tanpa alasan yang kuat keluar dari partai Gerindra yang menaikkannya menjadi wagub DKI Jakarta. Alasan hengkang dari Gerindra dianggap banyak pihak tidak proposional dan agak aneh. Hanya karena berbeda pendapat Pilkada yang tidak terlalu prinsip dengan partainya lalu memutuskan cerai dengan Gerindra. Tampaknya Ahok bukan hanya pejabat publik yang pintar tetapi politikus yang cerdik. Mungkin saja banyak masyarakat tersihir kehebatan Ahok keluar dari Gerindra karena prinsip demokrasi demi membela hak rakyat. Tetapi banyak pengamat akan menduga bahwa hal itu adalah salah satu trik politik hebat ala Ahok yang akan segera merangkul Megawati dan PDIP. Melihat perilaku politik Ahok setahun ini, merapat ke PDIP hanyalah masalah mencari waktu yang tepat dan masalah mencari alasan yang benar untuk hengkang dari Gerindra. Ahok tidak salah hengkang dari Gerindra yang salah Ahok salah cari alasan. Karena sebelumnya Ahok mengusulkan Gubernur DKI dipilih Presiden. Kesalahan alasan itu memicu pertanyaan, apakah nantinya bila pemerintah dan DPR memutuskan Pilkada dipilih DPRD apakah Ahok tidak nsetuju dantidak percaya pemerintah lagi dan mundur dari Gubernur ?

Bila dicermati banyak yang aneh dalam hengkangnya Ahok dari Gerindra.  Sebenarnya tidak ada yang salah ketika Ahok keluar dari Gerindra karena sudah tidak memberikan harapan bagi karier politiknya.  Yang salah adalah ketika Ahok keliru memilih alasan keluar dari Gerindra karena tidak setuju Pilkada oleh DPRD yang diusung kelompok merah putih. Alasan Ahok mundur dari Gerindra demi memperjuangkan demokrasi tampaknya hanya sebagai komoditas politik, tidak proposional dan tidak rasional. Sebenarnya berbeda dalam alam demokrasi adalah hal yang wajar. Perbedaan pendapat seperti itu sangatlah berlebihan bila digunakan sebagai alasan keluar dari komunitas politiknya. Apalagi alasannya hanya karena penolakan terhadap RUU Pilkada DPRD. Padahal beberapa bulan sebelumnya justru Ahok mengusulkan Gubernur dipilih langsung oleh Presiden yang tentunya lebih tidak demokratis lagi. Hal inilah yang menguatkan bahwa alasan RUU Pilkada hanyalah sebagai alasan basi untuk bersiap meloncat ke kubu Jokowi-JK yang secara politik lebih menjanjikan. Keanehan dan ketidakproposionalnya alasan Ahok akan memicu pertanyaan lanjutan yang dapat menjadi bumerang bagi dirinya. Apakah nantinya bila DPR dan pemerintah jadi memutuskan Pilkada dipilih DPRD Ahok juga mundur dari Gubernur ? Bahkan lawan politiknya di DPRD menantang Ahok kalau pemerintah dan DPR memutuskan Pilkada dipilih DPRD Ahok menantang Ahok pindah warga negera karena tidak setuju dengan Pemerintah Indonesia.

Ahok bila dilihat rekam jejaknya adalah tipikal politikus kutu luncat yang beralasan apapun demi mengejar ambisi politik dirinya dan kelompok pendukungnya. Hal tersebut juga sering dilakukan oleh politisi kutu loncat lainnya yang tidak konsisten dalam berprinsip politik. Ahok berpandangan bahwa pilkada mesti dilakukan secara langsung oleh rakyat. Ahok tak sepakat soal pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang didukung Gerindra. Pemilihan ala orde baru itu dinilai menihilkan peran demokrasi di mana rakyat memilih langsung pemimpinnya,” kata Ahok di balai kota DKI, Jakarta, Rabu (10/9/2014) seperti dilansir detik.com.

Bukan hanya kadar proposionalitas alasannya. Selain itu yang lebih aneh adalah alasan Ahok mundur dari Gerindra karena ketidaksetujuannya karena RUU Pilkada sangat kontradiktif dan inkonsisten karena beberapa bulan sebelumnya (22/7/14) seperti yang dilansir liputam6.com Ahok mengusulkan, agar Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) direvisi. Salah satu poin yang diusulkan yaitu terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di DKI Jakarta. Basuki alias Ahok meminta agar kepala daerah khusus di ibukota negara, yakni Jakarta, tidak lagi dipilih oleh rakyat, melainkan dipilih presiden dan setingkat menteri. “Sebagai ibukota harus dibuat khusus dari kota lainnya. Lebih khusus lagi, Gubernur dan Wagub DKI tidak dipilih rakyat, dipilih Presiden saja. ‎Biar nggak ada yang berantem-berantem lagi,” ujarnya ketika membuka rapat revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 di Balaikota Jakarta, Selasa (22/7/2014). Menurut Ahok, apabila pemilihan kepala daerah di Jakarta dilakukan presiden, maka dapat menghemat anggaran daerah. Karena tidak perlu lagi menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada). Apapun alasannya pemilihan Pilkada Gubernur Jakarta dipilih DPRD dibandingkan dipilih presiden jauh lebih mengkebiri demokrasi.

Melihat beberapa fenomena tersebut maka sangat mungkin alasan berbeda pandangan prinsip tentang Pilkada sekedar modus untuk kepentingan politik individu Ahok. Meski Ahok menolak disebut sebagai kutu loncat oleh lawan politiknya, mekanisme pembelaan diri yang akan dilakukan adalah lebih baik menjadi kutu loncat daripada kutu busuk. Sebagai politikus yang berpengalaman maka kutu loncat adalah perilaku politik yang dianggap wajar oleh politikus Indonesia. Demikian pula Ahok tang sangat jeli memandang masa depan karier politiknya. Sejak setahun yang lalupun Ahok tampaknya sudah mengambil ancang-ancang dan merangkai strategi untuk masa depan politiknya.

Buruknya Kesantunan Berpolitik

Gebrakan yang berani dan ceplas-ceplos sering menimbulkan pertentangan dan kontroversi baik di kalangan masyarakat atau elit pejabat dan elit politik negeri ini. Satu sisi hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang hebat di mata rakyat karena dapat mendobrak kultur klasik pemimpin negeri ini. Tetapi di sisi lain sikap ceplas-ceplos Ahok tersebut sering dianggap melanggar etika, norma dan sopan santun yang masih tidak terlepas dari budaya bangsa ini. Seharusnya sikap keras Ahok tersebut tidak menimbulkan masalah bila dilakukan dengan cara yang beretika, beradab dan elegan. Contoh terakhir bila tidak setuju dengan RUU Pilkada seharusnya Ahok berkomunikasi dan menyalurkan kepada petinggi partainya. Bila hal tersebut memang sulit dikomunikasikan lagi seharusnya Ahok dengan santun dan beretika menghadap pada petinggi partai. Tetapi yang dilakukannya justru berkoar-koar di media dan justru menjelek-jelekkan partai Gerindra yang mengusungnya. Sebagai seorang politikus kutu loncat sebenarnya hal-hal tersebut sah-sah saja. tetapi secara etika dan kesantuan berpolitik hal tersebut tidak dapat dijadikan teladan bagi bangsa ini. Tetapi sebagai politikus ulung bukan Ahok kalau tidak bisa berdalih. Diapun punya alasan tersendiri yang menjadi dasar pilihannya untuk keluar dari Partai Gerindra tanpa berdialog terlebih dahulu dengan kalangan internal partai tersebut. Menurut Ahok, perbedaan pandangan antara dia dan Gerindra sudah terlalu jauh sehingga tidak bisa diselesaikan dengan dialog. Ia memprediksi, jika tak mengundurkan diri, cepat atau lambat, Gerindra pasti akan memberhentikannya. Bila Ahok memegang prinsip politiknya tersebut tidak bisa ditawar lagi, mengapa beberapa bulan sebelumnya dia mengusulkan Gubernur dipilih presiden.

Tidak salah Ahok keluar dari Gerindra, yang salah Ahok keliru memilih alasan keluar dari Gerindra. Tidak salah juga nantinya Ahok memilih PDIP. Yang salah adalah Ahok tidak mau berterus terang dan melakukan sopan santun politik kepada Gerindra untuk pamit. Sebagai pejabat Gubernur Ahok seharusnya menjadi contoh saat keluar dari lingkungan kehidupan profesionalnya atau kariernya tata krama berpolitik itu sangat penting. Sebagai atasanpun Ahok akan marah dan mendamprat bawahan dekatnya ketika mereka akan pindah tugas ke tempat tanpa pamit tapi berkoar-koar ke media menjelek-jelekkan dirinya. Fenomena ini seharusnya menjadikan pelajaran bagi Ahok sebagai politikus juga perlu kesantunan berpolitik. Sebagai pejabat publik Ahok mungkin harus diteladani oleh para pemipin negeri ini. Tetapi sayangnya hal tersebut tercemari oleh kesantuanan berpolitik yang tidak bisa diteladani oleh anak bangsa lainnya.Kesantuanan berpolitik sebaiknya jangan diremehkan karena hal itu akan menggambarkan kesantunan dalam melayani rakyat dan berkomunikasi dengan golongan masyarakat lainnya. Kalau tidak beretika menghormati atasannya di parpol bagaimanan nantinya Ahok akan menghormati rakyatnya. Sebagai pejabat publik semoga Ahok tetap bermanfaat bagi bangsa ini dan tidak tersandera oleh Parpol lainnya dan tidak tercemari buruknya kesantunan dalam berpolitik.

Hatinya di PDIP

Dalam setahun terakhir ini sebenarnya hati Ahok bukan hanya di Gerindra tetapi sebagai politikus Ahok mulai berdiri di dua kaki. Resiko politik dan kalkulasi politik adalah sangat penting dalam perencananan dan perhitungan masa depan politik Ahok. Ketika kaki satu Ahok berdiri di Gerindra kaki lainnya sudah mulai mencari pijakan di partai politik lain yang menjajikan seperti PDIP.

Politikus kutu loncat adalah perilaku politik yang lumrah dan bukanlah tindakan haram dilakukan seorang politikus. Biasanya hal ini hanya dilakukan oleh politikus yang mementingkan ambisi politik dirinya dan kelompok pendukungnya. Alasan seorang politikus untuk pindah partai pada umumnya sangat tidak rasional, tidak konsisten dan mengada-ngada. Coba amati para politkus kutu loncat lainnya. Contoh paling hangat sebelumnya ketidakkonsistenan si kutu loncat Ruhut Sitompul yang sebelumnya menghina dan menjelek-jelekkan Jokowi dalam hitungan menit langsung berubah memuji Jokowi setinggi langit. Demikian juga Ahok juga sangat tidak konsisten pada bula Juli mengatakan bahwa Pilkada langsung boros biaya dan mengusulkan pemilihan yang paling tidak demokratis bahkan lebih buruk dibandingkan Orde baru dengan penunjukkan langsung oleh presiden. Dalam hitungan menit langsung berubah mendukung Pilkada langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun