Dengan demikian, maka pengembangan perkebunan ke arah agroindustri harus mampu memberikan dampak yang positif bagi perkembangan sektor dan wilayah, khususnya pembangunan ekonomi lokal. Secara historis dan realistis menunjukkan bahwa di wilayah perkebunan cenderung terjadi ketimpangan kemajuan pembangunan, baik antara perkebunan rakyat, swasta, dan perkebunan negara.
Problematika Sektor Perkebunan
Jutaan Hektar Perkebunan di Indonesia Ditengarai Ilegal.Greenomics Indonesia menyatakan terdapat lahan perkebunan seluas 2,24 juta hektar yang tidak memiliki izin hak guna usaha (HGU). Dari total 4,68 juta hektar kawasan hutan yang dilepas oleh Kementerian Kehutanan untuk areal perkebunan, hanya 2,44 juta hektare yang memiliki izin HGU.
Area seluas 2,24 juta hektar itu dimiliki 166 unit perusahaan perkebunan yang tidak mengantongi izin HGU. Dari 523 unit perusahaan perkebunan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dari Departemen Kehutanan, hanya 357 unit perusahaan yang kemudian beroperasi dengan izin HGU.
Di Pulau Sumatera, dari 2,74 juta hektar kawasan hutan yang dilepas untuk 322 unit perusahaan perkebunan, 242 di antaranya beroperasi dengan izin HGU dengan luasan areal 1,49 juta hektar, sedangkan realisasi penanaman seluas 1,16 juta hektar.
Isu Pemanasan Global.Pemanasan global (global warning) merupakan peningkatan temperatur atmosfir bumi akibat dari meningkatnya intensitas efek rumah kaca (green house effect) pada atmosfir bumi. Peningkatan intensitas efek rumah kaca tersebut disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca seperti Green House Gas (GHG). Pemanasan global antara lain berdampak pada perubahan iklim global berupa pergeseran peta iklim secara global, anomali iklim, banjir, kekeringan, badai dan kenaikan permukaan laut yang banyak menimbulkan kerugian dan mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi.
Persaingan Pasar Global
Melalui ASEAN Economic Community (AEC) tahun 2015, merupakan tantangan baru dan lebih berat bagi sektor perkebunan Indonesia. Sebab, ada potensi masuknya korporasi-korporasi besar asing dengan modal lebih besar yang akan menciptakan dominasi dan lebih luas dibandingkan dengan kondisi sekarang. Produktivitas perkebunan rakyat yang masih sangat rendah dan modal kecil menjadi masalah, sehingga korporasi asing tersebut masuk dan membeli perkebunan rakyat. Beberapa solusi seperti pemerintah perlu menegaskan kembali komitmen keberpihakan terhadap petani sawit rakyat dengan cara merevitalisasi penerapan kewajiban CSR Korporasi besar bagi pembinaan dan pengembangan petani sawit rakyat. Begitu juga dengan permasalahan kewajiban menyerahkan lahan sebanyak 20% kepada petani.
Tantangan utama kehadiran AEC 2015 adalah daya saing bangsa, terutama kualitas, kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan kualitas produk dalam negeri, termasuk didalamnya produk pertanian. Bahkan, untuk peluang terbukanya pasar yang lebih bebas bagi produk pertanian Indonesia, lanjutnya tidak akan membawa nilai positif. Sebab, hingga saat ini pemerintah belum dapat membatasi produk impor yang sudah sangat membanjiri pasar Indonesia sehingga produk lokal tidak mampu bertahan.
Berbagai masalah tersebut menjadi pekerjaan besar pemerintah saat ini dan dimasa mendatang. Untuk itu seluruh pihak terutama pemangku kepentingan harus beruapaya dan bekerja keras untuk memantapkan pengembangan pembangunan perkebunan kedepan sebagai sumber devisa strategis dan besar.