Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Separuh Abad Plus Tiga

30 Mei 2019   20:24 Diperbarui: 30 Mei 2019   21:09 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

50 plus 3 atau angka 53 tahun adalah rentang periode zaman yang lebih dari cukup, untuk semestinya telah mencatatkan banyak hal yang berguna bagi apapun dan siapapun. Namun semua tampak datar-datar saja. Tak ada yang istimewa yang bisa dibangga-banggakan.


Entah mengapa, ketika persis tiba di angka 53 ini, sekonyong-konyong memori saya mengembara jauh ke masa silam, lalu mendaur ulang dan melintasi setidaknya tujuh periodisasi atau tahapan perjalanan hidup, yang aku simbolkan dengan nama lokasinya.

Periode-1: Mapilli
Teringat pada sekolah dasar yang wajah tulus guru-gurunya masih tergambar jelas dalam benak. Aku tertunduk mendoakan ikhlas untuk para guru SD yang semuanya telah tiada.

Teringat pada guru mengaji Quran, yang populer dengan panggilan "Pung Jumu". Darinya saya belajar mengaji, dan mungkin saking ikhlasnya mengajar, hingga saat ini, saya masih ingat cara melafalkan hurup-hurup Arab dengan makhraj (artikulasi) yang nyaris sempurna.

Teman-teman seangkatan di SD, yang tak satupun dari mereka sempat mengecap pendidikan di perguruan tinggi, kecuali saya. Kesantunan dan bahkan keluguan mereka membuatku malah semakin salut pada mereka.

Teringat pada sungai Maloso yang membelah Mapilli. Sungai yang tepiannya saban hari kami siasati dan memperlakukannya sebagai tempat bermain sekaligus "toilet alami dan kamar mandi."

Tentang sosok tetua kampung yang kami panggil "Kama' Malang", yang ditakuti oleh semua anak kampung. Kalau kami anak-anak ribut dan usil di masjid kampung, lantas seorang berteriak "Kama' Malang datang", kami semua akan lari terbirit-birit, dengan wajah pucat.

Periode-2: Tamalanrea
Di usia yang masih belia, setamat SD, dari Mapilli merantau ke Makassar (waktu itu masih dinamai Ujung Pandang), untuk mondok di sebuah peantren di Tamalanre.

Tamalanrea menawarkan panggung pertama, yang mengajariku bagaimana berinteraksi dan bergaul dengan cakrawala melebihi batas kampung Mapilli.

Selama enam tahun berjibaku melewati ritme kehidupan pondok, yang sering tidak nyaman. Namun sungguh membekas dalam watak dan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun