Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

6. Rusman: Raden Sekartanjung, Adipati Tuban yang Terbunuh

18 September 2018   23:49 Diperbarui: 1 Maret 2019   14:51 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini barulah disadari oleh Raden Sekartanjung: "ternyata aku telah berbuat bodoh. Bukan aku saja yang menghendaki pertempuran ini terpisah dan arena, melainkan orang tua inipun agaknya ingin juga berbuat demikian. Ilmunya itu dapat berpengaruh terhadap semua orang juga kawan-kawanya sendiri."

Namun Adipati muda itu tidak mendapat kesempatan untuk merenungi ilmu lawannya yang dahsyat itu. Ketika sekali lagi Ki Ajar Talun menghentakkan kakinya, maka sekali lagi Raden Sekartanjung harus meloncat menghindar. Ternyata bukan hanya Demas Tanjung yang heran melihat kemampuan Ilmu lawannya, tetapi sebaliknya juga lawannyapun mengumpat-umpat melihat anak muda itu berhasil menghindari.

Tetapi Ki Ajar Talun yang marah itu tidak sekalipun menghentikan serangannya, bahkan berkali-kali ia menghentakkan kakinya dan berkali-kali pasirpun menghambur didorong oleh hembusan prahara yang dahsyat. Namun Raden Sekartanjung selalu dapat meloncat menghindarinya.

Kini orang tua itulah yang tercenung, dia mulai memikirkan kenyataan itu. Sebagaimana dikatakan orang sebelumnya bahwa anak ini pernah membunuh adik seperguruannya yang juga memiliki ilmu yang membanggakan, yaitu Ki Gede Waleran.

"Benar-benar sontoloyo," geram Ki Ajar Talun. Dengan demikian maka Ki Ajar Talun pun sama sekali tidak lagi berusaha mengekang diri, ia benar-benar mengerahkan segenap ilmunya sampai tuntas. Ilmunya yang berkisar pada angin, taufan, badai dan prahara itu pun telah dihentakannya sampai kepuncak.

Akhimya Raden Sekartanjung menjadi semakin sulit untuk menghindarinya, meskipun ia masih saja berusaha sambil meloncat semakin panjang. Tetapi sekian lama orang muda inipun menjadi jemu berloncatan.

Tibalah saatnya Adipati Tuban mengambil satu keputusun untuk membenturkan kekuatannya melawan Ilmu Gebyar Maruto yang luarbiasa itu. Karena itu maka orang muda itu tidak lagi meloncat dan menghindar. Tetapi ia berdiri tegak dengan tangan bersilang didadanya, meskipun ia tidak menghadap langsung kearah sang lawan.

Sejenak kemudian, ia mulai merasa angin yang membawa badai pasir menghantam dirinya. Semakin lama semakin keras memberondongnya, sehingga tubuh Raden Sekartanjung pun mulai terguncang. Namun orang muda itu sudah bertekad untuk mengadu kekuatan ilmu dengan Ki Ajar Talun yang mempunyai kekuatan prahara.

Tetapi karena pasir yang terhambur itu Adipati Tuban itu tidak dapat langsung memandang Ki Ajar Talun dan ternyata seperti yang telah dia perhitungkan, pendekar tua itu tiba-tiba saja telah menyerangnya langsung dengan tendangan kakinya.

Meskipun Raden Sekartanjung tidak dapat memandang musuhnya namun ia sudah bersiaga. Adipati putra Balewot itu sudah siap dengan rencananya. Karena itu begitu terasa serangan Ki Ajar Talun menghantam tubuhnya maka Raden Sekartanjung pun telah melenting dan sengaja jatuh berguling beberapa langkah dari Ki Ajar Talun.

Ki Ajar Talun yang melihat Raden Sekartanjung terlempar segera meloncat maju dan menyerang lagi dan serangan yang berikutnya inipun telah melemparkan Raden Sekartanjung beberapa langkah lagi. Bahkan lebih jauh dari serangannya yang terdahulu.

Sementara itu adipati muda ini memang telah mempercayakan sepenuhnya kepada Ilmu kebalnya. Sedang pada sisi lain ia telah mempersiapkan diri untuk mengakhiri pertempuran yang mendebarkan itu. Betapapun dasyatnya goncangan pada bagian dalam tubuhnya namun Raden Sekartanjung masih menunggu kesempatan yang tepat untuk berbuat.

Dan pada saat-saat terakhir justru Ki Ajar Talun yang mulai merasakan udara menjadi panas oleh perkembangan puncak ilmu kebal Raden Sekartanjung. Meskipun Adipati Tuban itu membiarkan dirinya mendapat serangan beruntun dan dengan sengaja selalu bergulingan, namun udara yang panas itu telah mulai terasa mengganggu Ki Ajar Talun.

Justru pada saat itulah saat yang paling baik bagi Raden Sekartanjung untuk berbuat sesuatu. Selagi Ki Ajar tercenung atas perubahan yang terjadi, Raden Sekartanjung telah meloncat bangkit. Ia telah menemukan titik konsentrasi untuk terhubung dengan Yang Maha Kuasa melalui rapal-rapal do'a yang turun temurun  dari leluhurnya. Sementara Ki Ajar Talun ingin mengerti, kenapa udara tiba-tiba saja terasa panas.

Yang sesaat itu ternyata merupakan satu kesalahan yang fatal bagi Ki Ajar Talun. Dalam waktu yang sesaat itu Adipati Tuban telah menemukan titik tatapan matanya yang dirambati oleh kekuatan rapal do'anya. Dan ternyata Allah SWT telah mengabulkan permohonan hambanya untuk saat-saat yang gawat bagi hidup mati orang yang dikasihiNya.

Karena itulah, selagi Ki Ajar Talun masih berusaha untuk mengerti pengaruh apakah yang telah membuat udara semakin panas, tiba-tiba saja Sang Adipati telah menyilangkan tangannya sambil berdiri tegak. Tiba-tiba saja terasa sesuatu menyentuh tubuh Ki Ajar Talun. Bukan saja tubuhnya, namun kemudian seakan-akan telah menyusup sampai ke jantung.

Itulah jalur permohonan kepada Sang Pencipta yang konon pada masa lampau membuat Adipati Arya Dikara tunduk kepada Ki Arya Teja dan akhirnya berkenan meninggalkan agama leluhurnya.

"Allahu Akbar.., Allahu Akbar ..., Allahu Akbar ..!" dengan konsentrasi penuh Denmas Tanjung telah tiba pada puncak do'anya. Dan tiba-tiba saja keringat dingin telah memenuhi seluruh tubuh adipati muda itu. Terasa bulu-bulu kuduknya meremang, tangannya melebar menengadah ke atas tetapi pandangan matanya tetap tak terlepas dari titik jantung Ki Ajar Talun.

"Gila," Ki Ajar Talun berkali-kali mengumpat. Barulah ia sadar, dengan siapa ia berhadapan. Namun ternyata hal itu sudah terlambat, meskipun pendekar tua itu masih berusaha menghentakkan ilmunya.

Tetapi Raden Sekartanjung menyadari sepenuhnya, bahwa jika pasir itu terhambur kearah matanya maka ia harus melepaskan serangannya. Karena itu Raden Sekartanjung bertekad untuk langsung mematahkan sumber Ilmu prahara yang menakjubkan itu.

Dengan demikian maka Raden Sekartanjung pun telah menghentakkan segenap kemampuannya lewat konsentrasi do'a yang dahsyat dan sudah menjadi sangat meningkat oleh laku tirakat yang tidak henti-hentinya. Kini terasa dada Ki Ajar Talun semakin sesak. Sebagai seorang yang berilmu tinggi pendekar itupun memiliki ketahanan tubuh yang kuat namun serangan Raden Sekartanjung lewat efektasi rapalnya itupun mempunyai kemampuan yang sulit dicari bandingnya.

Sebenarnyalah Ki Ajar Talun merasakan seluruh tubuhnya bagaikan rontok, sehingga perasaan sakit yang sangat telah mencengkamnya disamping udara yang terasa panas disekitarnya.

"Benar-benar anak durhaka kau!" desisnya.

Sementara itu ia masih mencoba menghentakkan kakinya diatas pasir dengan mengerahkan ilmu praharanya. Tetapi karena perasaan sakti yang luar biasa. maka Ki Ajar Talun sudah tidak mampu lagi memusatkan kemampuan lahir dan batinnya. Yang dapat dilakukan hanya sebagian kecil saja dari seluruh kemampuan yang ada padanya, sehingga pasir yang terhambur dari kakinya itu sama sekali tidak mencapai sasarannya.

Sementara itu Raden Sekartanjung yang berdiri tegak dengan tangan masih terbuka lebar, rasa-rasanya tidak mau lagi dapat menyisakan konsentrasinya. Yang terpikir olehnya saat itu adalah jangan lagi memberi kesempatan lawannya, karena jika pendekar tua itu bangkit lagi bukan tidak mungkin dia sendiri yang akan binasa.

Ki Ajar Talun yang memiliki ilmu prahara itu, ternyata tidak mempunyai daya tahan yang memadai untuk melawan kedasyatan do"a Raden Sekartanjung. Ketika kemudian bagian dalam dadanya terasa menjadi semakin pedih, nalarnyapun seakan-akan telah terputus karenanya.

Dalam keadaan yang demikian, Ki Ajar Talun yang tua itu masih teringat beberapa orang yang mengatakan kepadanya bahwa anak itu telah berhasil membunuh Ki Gede Waleran dan kini ia sendiri yang memiliki Ilmu Gebyar Marutapun tidak mampu lagi menghadapinya.

Sekarang betapapun ia bertahan, namun dadanya serasa hancur diremas oleh pandangan mata Raden Sekartanjung. Karena itu akhirnya Ki Ajar Talun terhuyung-huyung ia tidak lagi mampu untuk berdiri tegak. Bahkan sejenak kemudian, orang itu telah terjatuh pada lututnya, sementara kedua tangannya berusaha untuk menahan berat badannya.

Denmas Tanjung melihat keadaan lawannya yang gawat itu. Ternyata bahwa ia masih mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang mempengaruhi pemusatan kemampuannya. Hampir diluar sadarnya. bahwa tiba-tiba saja serangannyapun menyusut. Kekuatan yang mencengkam jantung Ki Ajar Talun pun seakan-akan menjadi semakin longgar.

Tetapi Ki Ajar Talun sudah tidak berdaya lagi. Meskipun ia masih tetap bertahan berdiri pada lututnya, namun rasa-rasanya darahnya sudah tidak mengalir lagi, sementara jantungnya bagaikan telah hangus terbakar.

Pada saat yang demikian Raden Sekartanjung benar-benar telah melepaskan ilmunya. Ia kemudian melihat betapa lawannya itu berjongkok dengan lemahnya tanpa dapat berbuat apa-apa lagi. Setapak demi setapak Raden Sekartanjung melangkah maju. Namun ia berhenti beberapa langkah di hadapan orang yang sudah tidak berdaya lagi itu.

"Ki Ajar Talun," berkata Denmas Tanjung, "ma'af kalau aku terpaksa harus berbuat itu. Kau memang pendekar yang luar biasa. Namun kini keadaanmu hanya ditentukan oleh keridhoan oleh Sang Pencipta."
Wajah Ki Ajar Talun yang kesakitan itu menegang. Tiba-tiba saja ia membentak, "Biadap. Kau biadap sekali adipati!"

Ki Ajar Talun menyeringai kesakitan pada saat kemarahannya menghentakkan wadagnya untuk berusaha bangkit. Tetapi ia sudah terlalu lemah. Sehingga iapun terjatuh kembali.

Bahkan dengan suara gemetar dan tersendat-sendat orang tua itu berkata, "Kau biadap sekali anak Balewot. Kau tentu akan mati dan segera digantikan adikmu Pangeran Ngangsar."

Denmas Tanjung berdiri tegak dengan jantung yang berdegupan. Tetapi hampir diluar sadarnya iapun melangkah maju. Kemudian berjongkok disamping Ki Ajar Talun yang sudah kehabisan tenaganya itu sambil berkata, "Ya Kiai, sudah waktunya Dinda Ngangsar duduk di singgasana pula."

"He," tiba-tiba wajah Ki Ajar Talun menjadi terang, meskipun ia masih harus menahan kesakitan. "Bagus sekali jika kau menyadarinya hai adipati."

Kekecewaan dan kemarahan yang memancar dari wajah Ki Ajar Talun itupun segera larut. Sambil tersenyum ia berkata, "Kau harus membayar semua kesalahanmu."

Ki Ajar Talun masih tertawa pendek. Namun tiba-tiba saja tubuhnya terguling. Ketika Raden Sekartanjung bergeser maju ia melihat orang tua itu memandanginya dengan bibir yang tetap tersenyum.

Raden Sekartanjung tidak sempat menjawab. Orang tua itu telah memejamkan matanya sebagaimana seseorang yang tertidur lelap. Namun bibirnya masih nampak tersenyum sinis sementara dahinya berkerut oleh rasa penasarannya. Demikianlah Ki Ajar Talun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Denmas Tanjung pun segera bangkit berdiri. Dia tidak ingin membiarkan sang istri dan orang-orang Tuban lainnya yang sedang bertempur itu mengalami kesulitan. Tiba-tiba saja ingatan adipati muda inipun melayang pada dua putranya yang terkasih, ialah Pangeran Pemalat dan Pangeran Salampe yang pasti sekarang sedang bermain di halaman istana kadipaten.

Sementara itu agak jauh dari arena pertempuran, orang yang disebut Raden Sunan itu tertawa pendek. Katanya: "Meskipun lamat-lamat, tetapi bukankah kita melihat. apa yang terjadi dengan Ki Ajar Talun?"

"Kurangajar," geram Ki Guru Ngangsar, "Aku sendiri yang akan membunuhnya."

Tetapi Raden Sunan menggeleng. Katanya, "Jangan. Meskipun aku tidak yakin bahwa kau dapat melakukannya. Kau memang bekas perwira pasukan keraton timur, namun hal itu bukanlah jaminan."

"Aku tidak peduli," geram Ki Guru Ngangsar, "Ia sudah membunuh Ki Ajar Talun."

Raden Sunan tertawa tertahan, sambil memandang wajah Ki Guru Ngangsar yang tegang dan berkata, "Kau harus mengakui kenyataan itu Ki Guru Ngangsar."

"Tidak," geram Ki Guru Ngangsar mantap, "aku akan menghancurkan Raden Sekartanjung yang sombong itu."

"Jangan begitu. Jangan memaksa persoalan kecil ini berkembang menjadi persoalan besar," Kata Raden Sunan.

Kini Ki Guru Ngangsarlah yang semakin tegang. Tetapi ketika ia melihat kesungguhan kata-kata Raden Sunan maka iapun harus berpikir ulang. Raden Sunan adalah orang yang sulit dicari bandingnya seperti halnya para Panglima Keraton Demak lainnya.

"Ki Guru, sekali lagi kau tidak perlu penasaran. Lihatlah pertempuran itu telah usai. Orang-orang Ki Ajar telah lari tunggang langgang begitu melihat kedatangan Cucu Adipati. Dan akupun juga akan melanjutkan perjalananku," berkata Raden Sunan, "Tapi ingat, kau adalah orang tua seperti halnya aku yang tentunya tidak sepatutnya ikut dalam permainan ini."

Nampak Ki Guru Ngangsar termangu-mangu mendengar ancaman halus dari orang yang ia segani itu. Ia bahkan terkejut ketika Raden Sunan sempat berpamitan kepadanya.

"Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Aku pamit Ki Guru. Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh,"

"Oh, ya baik Raden Sunan. Wa'alaikumssalam warahmatullah wabarakatuh," Jawab Ki Guru Ngangsar tergopoh-gopoh. Kini pandangan matanya seperti terhipnotis oleh sosok yang meninggalkannya itu sampai bayangannya tertelan oleh rimbunnya perdu di sepanjang pantai.

Tiba-tiba Ki Guru Ngangsar kaget untuk kedua kalinya ketika ia rasakan ada tangan yang menggamit lengannya. Diam-diam seorang anak muda telah datang dan berbisik kepadanya.

"Guru, benar kan apa yang telah aku ingatkan. Tidak mudah mewujudkan apa yang menjadi keinginanmu."

"Oh, kedatanganmu mengejutkan aku Ngger, "berkata orang tua itu.

"Ma'af guru, aku telah mengganggu, "kata pemuda itu lagi, "Tapi bukankah eyang sunan telah mengingatkanmu?"

Sejenak Ki Guru Ngangsar terdiam. Tapi sesaat kemudian iapun berkata: "Jangan khawatir Ngger, aku tetap dalam pendirianku. Tapi kini tugasmu bertambah satu."

"Apa itu guru?"

"Pinjamkan Keris Kyai Layon padaku."

"Oh.. !" anak muda itu terkejut. Setengah tak sadar iapun terduduk. Ditemani oleh gurunya yang masih terpengaruh oleh bayangan seseorang yang ia takuti, ialah Raden Sunan. (Bersambung) ***

Keterangan :

  • Kisah ini imajinasi belaka, namun diilhami dari kisah-kisah seblumnya.
  • Penulis adalah pemerhati sejarah dan praktisi pendidikan di Tuban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun