Mohon tunggu...
Mohammad Rozi
Mohammad Rozi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

"Rujak Cingur" dari Bragg Road

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru dan Persoalan Menulis PTK

26 Februari 2013   23:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:38 1254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa tahun yang lalu saya mendapat beberapa kesempatan bertemu dengan para guru di beberapa daerah dalam kegiatan pelatihan penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI). Di tingkat daerah, kegiatan semacam ini seakan jadi trend. Ini tak lain karena adanya tuntutan kepada guru untuk membuat KTI. Bagi guru, membuat KTI adalah bagian dari kegiatan pengembangan karir atau profesi. Seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negaera Nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, dan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BKKN Nomor 0433/P/1993, Nomor 25 Tahun 1993, terdapat beberapa kegiatan yang dimaksudkan sebagai pembinaan karir kepangkatan dan profesionalisme guru atau biasanya disebut kegiatan pengembangan profesi. Salah satu dari lima kegiatan pengembangan profesi adalah menulis KTI.

Bagi guru kegiatan ini dipandang perlu karena mempunyai angka kredit yang menjadi salah satu syarat wajib untuk kenaikan golongan ruang IV/a menjadi IV/b. Bahkan sekarang lebih mendesak  lagi dengan keluarnya Permenegpan No. 16 tahun 2009. Dengan syarat wajib ini memang diharapkan adanya penghargaan secara lebih adil dan lebih profesional terhadap pangkat guru yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan tingkat kesejahteraannya (Suharjono, 2006).Dalam konteks perbaikan mutu pendidikan, syarat ini diharapkan dapat mendorong guru untuk dapat memperbaiki proses pembelajaran di kelasnya. Dengan begitu guru lebih layak disebut telah bertindak profesional.

Yang menjadi persoalan, membuat suatu karya tulis, apalagi yang bersifat ilmiah, ternyata bukan pekerjaan mudah bagi guru. Dalam dunia pendidikan di tanah air, hal ini sudah menjadi masalah nasional. Sebagian besar guru mengalami kesulitan memperoleh angka kredit yang diperoleh dari kegiatan membuat KTI. Akibatnya, proses kenaikan jenjang kepangkatan menjadi macet. Jika selama ini kenaikan pangkat/golongan guru berlangsung secara berkala dan lancar, yakni setiap dua tahun, pada proses kenaikan pangkat/golongan IV/a ke IV/b tidaklah demikian.Data resmi data Depdiknas tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah guru yang terhambat karirnya (macet pada golongan ruang IV/a) sebanyak 334.184 orang. Sementara, sebanyak 347.565 guru yang berstatus golongan ruang III/d sedang antri naikgolongan ruang IV/a. Sementara itu, jumlah guru yang bergolongan ruang IV/b hanya 2.318 orang (di bawah 1 %). Jika diasumsikan semua guru golongan ruang III/d pada tahun 2008 ini mengalami kenaikan pangkat/golongan, maka jumlah guru yang terhambat kenaikan pangkat/golongannya pada tahun ini menjadi dua kali lipat atau lebih dibanding dua tahun lalu.

Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebenarnya telah melakukan upaya-upaya mengurangi angka macetnya pengembangan karir guru ini. Depdiknas, misalnya, melalui Direktorat Profesi Pendidik, pada tahun 2006 telah menyalurkan bantuan danakepada kurang lebih 400 guru masing-masing sebesar 5 juta rupiah berupa pelatihan tatap muka. Pada tahun tahun 2007 sasaran kegiatan diperluas. Seribu guru masing-masing memperoleh bantuan dana sebesar3,5 juta rupiah melalui kegiatan pelatihan tatap muka, dan sepuluh ribu gurumasing-masing 1 juta rupiah lewat kegiatan pelatihan berbasis internet (online). Sementara itu, pemerintah-pemerintah daerah, terutama di tingkat kabupaten/kota, berusaha mengatasi persoalan ini dengan menyelenggarakan pelatihan penulisan KTI.Bagaimanapun, untuk mengatasi angka yang sedemikian besar pastilah tidak cukup dengan hanya mengandalkan upaya-upaya di atas.

Beberapa Kesulitan Guru

Melalui obrolan ringan di sela-sela pembelajaran dalam kelas pelatihan KTI, saya menjadi sedikit banyak tahu beberapa kesulitan yang dihadapi oleh para guru.Kesulitan-kesulitan itu, untuk lebih mudahnya, dapat dikelompokkan menjadi dua: yang bersifat eksternal dan internal.

Beberapa kesulitan eksternal menurut pengakuan guru antara lain: 1)kurangnya informasi tentang hal-hal berkaitan dengan KTI; 2) sulitnya menemukan tempat bertanya atau supervisor; 3) sulitnya memperoleh bahan bacaan atau kepustakaan; dan 4) proses birokrasi. Kesulitan pertama terlihat dari banyaknya guru yang belum mengerti jenis-jenis KTI yang dapat diajukan untuk memperoleh angka kredit, kriteria penilaian,ke mana harus mengirim, dsb. Kesulitan kedua tampak dari pengakuan para guru yang menyatakan bahwa baik kepala sekolah maupun pengawas mengalami hal yang serupa, yaitu terhambat karir karena belum berhasil menulis KTI. Bagi mereka, dapat bertemu dengan tutor, narasumber atau siapapun untuk berkonsultasi menulis KTI adalah kesempatan langka. Terkait dengan kesulitan ketiga, hal ini sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pasokan buku bacaan bagi guru di daerah setingkat kabupaten/kota kondisinya jauh berbeda dengan daerah ibukota. Para guru akhirnya hanya mengandalkan bacaan dari perpustakaan sekolah ataupun perpustakaan daerah yang tidak lengkap. Syukur-syukur ada kenalan yang membawakan atau meminjami buku yang dibutuhkan. Sementara itu hanya sedikit saja guru yang sudah mempunyai pengalaman memanfaatkan internet.

Birokrasi merupakan faktor penyulit yang lain lagi bagi guru. Salah seorang guru menuturkan bahwa dalam membuat KTI, para guru di daerahnya dibatasi untuk membuat KTI jenis tertentu saja. Guru tidak diberikan kesempatan untuk menulis KTI jenis lain. Ada juga keluhan bahwa guru telah mengirim KTI secara kolektif yang dikirim ke tingkat provinsi, tetapi kemudian KTI beberapa guru hilang.

Guru juga mengalami beberapa kesulitan internal: 1) lemahnya tradisi/budaya menulis di kalangan para guru; 2) rendahnya motivasi guru untuk membuat karya tulis; dan 3) sebagian guru memandang proses birokrasi yang selalu mempersulit membuatmembuat mereka “menyerah” sebelum berusaha. Hambatan-hambatan ini juga saya rasakan ketika melihat sebagian hasil kerja para guru selama pelatihan. Jangankan menghasilkan laporan KTI, sedang untuk menyusun kalimat dalam satu paragraf saja sebagian besar masih terdapat banyak kesalahan, mulai dari masalah ejaan, penulisan kalimat yang bukan kalimat (alias frasa yang sangat panjang sehingga tampak seperti kalimat), hingga masalah koherensi antar kalimat. Belum lagi di antara para guru masih bingung membedakan mana Penelitian Tindakan Kelas (PTK),Penelitian Deskriptif, atau Penelitian Eksperimen.

Sementara, rendahnya motivasi guru biasanya disebabkan oleh faktor lingkungan. Sebagian guru merasa tak harus repot-repot membuat KTI karena nilai imbalan sebagai konsekuensi kenaikan pangkat/golongan dianggap tak sebanding.Rendahnya motivasi ini kemudian diperparah oleh masih melekatnya pencitraan tentang birokrasi yang mempersulit.

.

“Vitamin Kesadaran”

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan ke depan untuk mempercepat pengurangan angka kemacetan ini. Selain mengevaluasi, memperbaiki konsep maupun format, serta meneruskan program yang sudah ada, perlu dilakukan upaya yang bersifat menimbulkan kesadaran diri untuk menulis KTI. Ini semacam memberi “vitamin kesadaran” kepada guru untuk menulis. Salah satu alternatif untuk upaya ini adalah sosialisasi lebih gencar dengan membuat iklan layanan masyarakat. Dengan penayangan secara meluas lewat media massa/elektronik, diharapkan cara ini dapatmengubah stigma bahwa keperluan KTI tidak semata-mata untuk keperluan kenaikan pangkat/golongan, melainkan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran di kelas. Alternatif lain adalah dengan mendorong guru untuk membentuk kelompok-kelompok diskusi secara sukarela yang khusus membahas KTI. Mencetak instruktur-instruktur KTI lokal yang mampu membimbing guru di sekitarnya adalah merupakan pilihan yang menjanjikan. Jika belum mungkin, alternatif inibisa dilakukan dengan memanfaatkan Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP) sebagai wahana tukar pikiran antar guru agar menambah topik bahasan KTI.

Lebih dari itu perlu dipikirkan lagi langkah-langkah terobosan yang lebih kreatif dan feasible. Demi profesionalisme guru.

Artikel sebelumnya:

- Sepenggal Kalimat yang Membebaskan

- Dari menulis, Lelaki ini Telah Berkeliling ke Banyak Negara

- Jelang Pilpres 2014: Jokowi dalam Jerat Pelbagai Kepentingan


- Jangan Lupakan Perihal Cerita Penjebakan Perempuan Cantik itu!

- Bibit-Bibit Penghafal Quran di Negeri Barat

- Cak Nun Guru Rakyat.

- Lita’arafu: Tentang Tetangga yang Baik

-Sariono dan Paradoks Kampanye Green-Peace

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun