Mohon tunggu...
Roziqin Matlap
Roziqin Matlap Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hukum

suka dengan hal-hal yang berbau hukum, politik, agama, sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Pemimpin Negarawan

26 September 2013   14:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:22 2984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

A.PENDAHULUAN

Menjelang pemilu tahun 2014, wacana mengenai siapa calon presiden yang tepat memimpin Indonesia, menjadi topik yang selalu menarik dibicarakan. Perbincangan mengenai hal ini tidak hanya terjadi di kalangan anggota DPR, ataupun elit politik maupun akademisi di forum seminar atau perkuliahan, tetapi juga terjadi di warung kopi, tempat ronda, dan tempat-tempat berkumpulnya masyarakat. Sebagian masyarakat masih punya harapan bahwa pemilihan presiden mendatang akan membawa perubahan bagi mereka, namun sebagian yang lain sudah apatis, karena bagi sebagian mereka, pemilihan presiden hanya sekedar formalitas belaka yang tidak membawa perubahan apapun. Mereka telah lelah dengan berbagai janji yang disampaikan oleh para calon presiden saat kampanye, yang pada kenyataannya tidak dilaksanakan saat menjabat.

Presiden selaku pemimpin nasional saat ini belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada di Indonesia. Padahal presiden saat ini adalah presiden pilihan rakyat sendiri, yang dipilih dari pemilu yang demokratis. Masalah korupsi semakin menjadi-jadi, angka kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi, hingga sampai penguasaan asing terhadap kekayaan negara yang tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, adalah contoh beberapa masalah dari sekian masalah yang ada. Alih-alih fokus mengurus negara, presiden dan para anggota kabinetnya sibuk mengurus partai politik, dengan menjadi ketua atau pengurus inti dari partai politik. Padahal, rakyat mendambakan pemimpin yang negarawan, bukan sekedar sebatas politisi.

Pemimpin dan kepemimpinannya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat manusia dan berperan sentral dalam menjalankan roda organisasi. Bahkan, pemimpin dengan kepemimpinannya menentukan maju atau mundurnya suatu organisasi, dan dalam lingkup lebih luas menentukan jatuh dan bangunnya suatu bangsa dan negara (Kartini, 2013).

Kepemimpinan kerap disoroti sebagai penyebab krisis multidimensi bangsa. Namun, perlu dikaji lebih jauh, apakah sesungguhnya yang menjadi masalah dengan kepemimpinan. Kalau kepemimpinan disoroti dari aspek kompetensi dan kecakapan memimpin, hampir dipastikan saat ini kita tidak kekurangan pemimpin-pemimpin yang mampu dan terampil. Hanya masalahnya di era sekarang rasanya sulit mencari pemimpin yang berkarakter.

B.PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan dikaji adalah:

1.Apakah yang dimaksud pemimpin dan kepemimpin?

2.Bagaimanakah pemimpin yang negarawan?

C.PEMBAHASAN

1.Pemimpin dan Kepemimpinan

Di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kita membutuhkan kehadiran para pemimpin, baik pemimpin formal kenegaraan maupun informal. Pemimpin merupakan pemandu, sekaligus panutan bagi yang dipimpin. Ketiadaan pemimpin membuat masyarakat menjadi kacau, berseteru satu sama lain. Kehadiran mereka amat diperlukan, untuk mempersatukan dan mengelola berbagai potensi konflik yang ada dalam bingkai kebersamaan, sehinga menjadi suatu kekuatan yang diperhitungkan. Karenanya, disadari, betapa tidak mudahnya menjadi pemimpin. Tidak sembarang orang dapat tampil menjadi pemimpin, kecuali melalui serangkaian ujian kepemimpinan, dari yang sederhana hingga yang rumit.

Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda, meskipun keduanya tidak dapat saling dipisahkan. Pemimpin lebih mengacu kepada seseorang atau sekelompok orang yang memimpin suatu organisasi, profesi (people), sedangkan kepemimpinan adalah koordinasi aktivitas dari para pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi (activity) (Sofyan: 2013). Sementara itu, Tanjung mendefinisikan pemimpin adalah sosok yang, dengan segenap potensi dan kewenangan yang ada, mampu memotivasi, mengarahkan, dan menggerakkan orang lain untuk secara sadar dan sukarela berpartisipasi di dalam mencapai tujuan organisasi. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin dalam memimpin organisasi, guna mempengaruhi, memotivasi, dan mengaktivasi aneka potensi dan sumber daya yang ada, sehingga organisasi yang dipimpinnya mampu berjalan secara efektif dalam rangka mengupayakan perwujudan tujuan-tujuannya (Tanjung: 2013).

Wasistiono mendefinisikan pemimpin sebagai orang yang mempunyai pengikut. Seorang pemimpin efektif bukanlah orang yang dicintai atau dikagumi, tetapi ia adalah orang yang menggugah pengikutnya untuk melakukan hal-hal yang besar dan yang nyata memberikan teladan. Kepemimpinan bukanlah jabatan, hak istimewa, gelar atau uang, namun suatu tanggung jawab. (Wasistiono, 2010).

Sementara itu, Supriyanto berpendapat bahwa kepemimpinan pada hakikatnya adalah seni untuk mempengaruhi orang lain (Supriyanto, 2013). Sebelum menjadi pemimpin yang hebat bagi orang lain, setiap orang perlu menjadi pemimpin yang hebat bagi dirinya sendiri terlebih dahulu. Dalam falsafah Ki Hajar Dewantara, terdapat Ing Ngarso Sung Tulodho, pemimpin perlu menjadi contoh/teladan yang baik bagi pengikutnya. dari Benjamin Franklin bahwa “He Who Cannot Obey Cannot Command”. Orang yang tidak bisa taat pada aturan tidak dapat memimpin. Idiom ini menjadi dasar perlunya orang merasakan menjadi pegawai di level bawah untuk dapat menjadi jenderal besar yang bijaksana.

Conchie (2008) sebagaimana dikutip oleh Wasistiono (2010), menyatakan bahwa kepemimpinan pemerintahan yang berkarakter akan ditentukan oleh tiga hal yakni:

a.The most effective leaders are always investing in strengths;

b.The most effective leaders surround themselves with the right people and then maximize their team;

c.The most effective leaders understand their follower’s needs.

Saat ini, seseorang gampang untuk menjadi pemimpin, walaupun ditempuh dengan berbagai macam cara, termasuk dengan melakukan pembenaran terhadap aturan, sampai membeli suara/money politic, dan lain sebagainya. Namun belum tentu mereka berhasil di dalam menjalankan kepemimpinannya. Lihat kondisi saat ini, hampir sebagian besar kepala daerah menjadi tersangka atau tersangkut masalah hukum, karena besarnya modal politik untuk mencapai tujuan menjadi seorang pemimpin.

Berdasarkan definisi diatas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi, antara lain:

a.Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain yaitu para anggota, karyawan atau bawahan. Para anggota, karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin.

b.Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang dengan kekuasaannya mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan, berdasarkan integritas, kredibilitas, dan karisma kepemimpinannya.

c.Pemimpin harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri, sosial, organisasi, anggota, rakyat, dan masyarakat, serta mempunyai  integritas, sikap bertanggung jawab yang tulus, keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan, kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain dalam membangun organisasi.

d.Pemimpin harus, memiliki visi, di mana seorang pemimpin adalah manusia pembelajar, memiliki ide-ide besar yang visioner dan menjadi referensi utama bagi yang dipimpin. Seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity), antara lain: keahlian/kecakapan (skill) dalam berkomunikasi, memotivasi, dan yang lainnya; pengetahuan/wawasan (knowledge); pengalaman (experience); kemampuan mengembangkan pengaruh (influence); kemampuan menggalang solidaritas (Solidarity maker); serta kemampuan memecahkan masalah (decision making).

e.Pemimpin juga harus memiliki kepribadian yang utuh/berwibawa (kharisma); bijaksana (wisdom); bersikap empatik; memiliki prinsip-prinsip yang utama dalam hidupnya; menjadi panutan (kelompok referensi utama); serta, mampu mengutamakan kepentingan lebih besar, ketimbang kepentingan kecil dan sempit (negarawan). Di atas semua itu, seorang pemimpin total dalam mengerahkan segenap potensi yang ada pada dirinya untuk kemajuan organisasi (prinsip totality).

Saat ini dikenal dua model kepemimpinan

a.Model Kepemimpinan Transaksional.

Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugas-tugasnya. Kepemimpinan transaksional digambarkan sebagai mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara pemimpin dan bawahannya (contingen reward), intervensi yang dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional dimaksudkan untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan yang melibatkan interaksi antara pemimpin dan bawahannya bersifat pro aktif.

Burns mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai model leadership yang melibatkan hubungan pemimpin dengan elit politik lainnya maupun elit dengan pemilih yang dibangun di atas landasan pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik negatif. Hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi material, bukan pertukaran gagasan. Hubungan antarelit politik juga didominasi nafsu purba Laswellian: “who gets what, when, and how.” Gaya politik transaksional bertumpu pada konsesi politik. Profesionalisme dan meritokrasi tak lagi menjadi acuan. Ketegasan menjadi barang mahal karena terlalu banyak pertimbangan dan kalkulasi politik yang dijadikan konsideran (Liddle dkk, 2012).

Model kepemimpinan transaksional ini tumbuh subur dalam sistem politik kartel di mana APBN/APBD menjadi ajang bancakan dan lisensi yang diperjualbelikan untuk mengikat loyalitas politik. Rakyat menjadi yatim piatu. Yatim karena pemerintah jarang hadir dalam setiap permasalahan yang dihadapi publik, tapi begitu sigap menarik pajak. Piatu karena partai-partai politik sering hanya menyapa pemilih menjelang pemilu. Rakyat dihadiahi surplus politisi, tapi defisit negarawan. Politisi par-excellence yang bersikap negarawan selalu memikirkan apa yang diwariskan bagi bangsanya ke depan. Politisi-cum-negarawan berani bertindak tidak populer asalkan tindakan politiknya itu berdampak positif bagi rakyatnya.

Menurut Liddle, pemimpin transaksional adalah tipe yang paling banyak dijumpai di Indonesia. Sejak Abdurrahman Wahid hingga Soesilo Bambang Yudhoyono (kecuali Habibie), semuanya adalah jenis pemimpin transaksional yang mempertukarkan kekuasaannya dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.

b.Model Kepemimpinan Transformasional

Pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang kharismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Negarawan selalu menerapkan model kepemimpinan transformatif yang punya visi masa depan dan menolak transaksi politik jangka pendek. Pemimpin yang menerapkan model ini akan menularkan efek transformasi pada level individu dan organisasi. Kepemimpinan transformatif dicirikan oleh “The four ‘I’s” (empat huruf ‘I’).(Liddle dkk, 2012).

Pertama, pemimpin transformatif memiliki idealized influence, rakyat dibuat berdecak kagum, hormat dan percaya. Tidak ada elemen masyarakat, apalagi tokoh-tokoh agama dan cendekiawan, yang menuduh pemimpinnya sedang melakukan politik kebohongan. Otentisitas menjadi mantra dan rakyatnya percaya bahwa para pemimpinnya sedang tidak bersandiwara.

Kedua, kepemimpinan transformatif mampu menggelorakan inspirational motivation, menyuntikkan motivasi dan asa pada rakyatnya serta mampu merealisasikan harapan menjadi kenyataan. Pemimpin tidak hanya mengaum di atas podium dan tidak hanya pintar berwacana, tapi juga cakap dalam bekerja. Pemimpin yang tidak hanya pintar bersolek di depan kamera atau berdandan di baliho-baliho atau spanduk pada masa pemilu.

Ketiga, pemimpin transformatif menawarkan intellectual stimulation. Gaya kepemimpinan transformatif kaya ide-ide baru dan terobosan. Pemimpin tidak sekadar hadir pada setiap perayaan upacara, tapi hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Dia tak terjebak pada urusan business as usual dan mampu berpikir out of the box untuk mengatasi kebuntuan. Pemimpin seharusnya tidak larut dalam kompromi politik. Pemimpin adalah leader, bukan dealer.

Dimensi terakhir, keempat, adalah individualized consideration. Maksudnya, pemimpin transformatif mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.

Liddle menjelaskan, tipe transformasional adalah pemimpin yang mampu membentuk ulang situasi politik Indonesia dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sementara tipe ”transaksional” adalah model kepemimpinan yang mempergunakan kekuasaannya untuk menukarnya (barter) dengan posisi-posisi yang dapat menguntungkan dirinya dan kelompoknya.

Tokoh seperti Soekarno, menurut Liddle, adalah jenis pemimpin transformasional yang mengubah Indonesia dari satu fase (penjajahan) kepada fase lain (kemerdekaan). Namun demikian, Liddle membatasi bahwa karakter transformasional Soekarno hanya terjadi sejak awal kemerdekaan hingga tahun 1949. Setelah tahun itu, Soekarno menjadi pemimpin yang tidak lagi punya visi transformatif.

Dalam tingkat tertentu, Soeharto juga merupakan tipe pemimpin transformatif yang berusaha mengubah kondisi Indonesia lewat proyek pembangunan dan modernisasi yang dipimpinnya. Demikian pula Habibie. Dengan masa kepemimpinan yang cukup singkat, dia berusaha memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin transformatif. Dengan kekuasaan yang tiba-tiba didapatkannya (setelah mundurnya Soeharto), dia tidak tampak berusaha mempertukarkannya dengan imbalan yang dapat memperpanjang usia kekuasaannya. Di mata Liddle, Habibie seperti sebuah lilin yang kebijakan- kebijakannya memberikan jalan buat demokrasi dan kebebasan di Indonesia tapi kebijakan – kebijakannya – membakar dirinya. Setelah masa jabatannya selesai, Habibie tidak dipilih lagi, tapi Indonesia menjadi negara yang demokratis.

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas RI), sebagai lembaga negara, yang salah satu tugasnya mendidik kepemimpinan tingkat nasional, regional, dan global,  telah mengkristalkan kualitas kepemimpinan dalam bentuk Indeks Kepemimpinan Nasional Indonesia (IKNI), yang bisa digunakan sebagai acuan dalam menyiapkan pemimpin dan menjadi kriteria dalam memilih calon pemimpin yang negarawan. Indeks ini memuat sejumlah kriteria kepemimpinan, yang meliputi aspek moralitas dan akuntabilitas kepemimpinan. Nilai-nilai atau parameter moralitas dan akuntabilitas kepemimpinan nasional Indonesia, dalam IKNI tersebut, diperinci atas dasar 4 (empat) macam kategori yaitu:

a.Pertama, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual

b.Kedua, Indeks Moralitas dan  Akuntabilitas Sosial

c.Ketiga, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Institusional

d.Keempat, Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Global

Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Individual, komponennya terdiri dari:

a.Taqwa kepada Tuhan YME dan berwawasan Iptek (imtaq dan iptek);

b.Memiliki etika dan nilai-nilai personal yang jelas (tentang adil-tidak adil; baik-buruk; dan sebagainya);

c.Memiliki kondisi kesehatan prima baik jasmaniah maupun  rohaniah;

d.Memiliki nilai kejujuran dan integritas yang tinggi termasuk integritas dan kejujuran intelektual yang selalu berusaha menyampaikan  kebenaran dan bukan pembenaran;

e.Dapat dipercaya, memiliki kecakapan dan kemampuan serta berani secara terukur;

f.Memiliki tingkat kecerdasan yang memadai dan berpendidikan yang cukup, sehingga mampu dan yakin untuk berpikir strategis dalam pengambilan keputusan;

g.Mampu menyampaikan pemikiran-pemikirannya secara jernih dan mampu memperdebatkannya secara elegan dengan orang lain dan menghormati pendapat yang berbeda;

h.Kualitas penampilan yang menonjol dalam kampanye dan pidato;

i.Dapat memadukan secara serasi hard and soft power. Hard power bersifat koersif (mengutamakan paksaan), ancaman terhadap perilaku orang dan soft power yang bersifat tidak langsung dengan pendekatan budaya dan ideologis, dengan mendayagunakan daya tarik, kooptasi dan komunikasi baik dalam kehidupan nasional maupun internasional;

j.Memiliki keluarga yang harmonis;

k.Selalu bersikap merendahkan diri dan santun.

Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Sosial, komponennya terdiri dari:

a.Mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara baik dengan lingkungan sekitarnya, dalam rangka penyerapan aspirasi;

b.Dapat membangun simpati dan dapat diterima oleh masyarakat yang dipimpinnya;

c.Selalu bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya;

d.Professional atas dasar ekspertis, rasa tanggung jawab sosial dan kebersamaan atas dasar kode etik yang berlaku;

e.Dapat membangun solidaritas dan menumbuhkan harapan baru untuk kemajuan yang lebih baik;

f.Memiliki semangat dan kemampuan untuk men-ciptakan kader;

g.Kehadirannya selalu lebih bersifat fungsional dari semata-mata simbolik;

h.Mampu menggali karakter kepemimpinan yang bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya atau kapital sosial bangsa Indonesia;

i.Kedudukannnya yang menonjol dalam survei akseptabilitas;

j.Tingkat dukungan lintas partai/golongan dalam rangka membangun koalisi yang signifikan.

Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Institusional, komponennya terdiri dari:

a.Selalu taat pada konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku;

b.Bersifat transparan, akuntabel, dan responsif;

c.Setia pada Ideologi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sesanti Bhinneka Tunggal Ika;

d.Konsisten terhadap cita-cita dan tujuan nasional yang berwawasan nusantara, dan sadar terhadap konsep ketahanan nasional, atas dasar pemikiran yang sistemik dan komprehensif-integral;

e.Selalu peduli dan menghormati nilai-nilai dasar demokrasi;

f.Tidak berpikir dan bertindak feodalistik (hubungan patron-klien dengan rakyat);

g.Selalu sadar terhadap dinamika politik bangsa serta menjunjung tinggi supremasi hukum dan HAM (termasuk kesetaraan gender);

h.Imaginatif dan visioner dengan konsep dan pemikiran baru.

i.Mampu meningkatkan kinerja dalam kondisi krisis dan kritis dengan keputusan yang tegas dan tepat waktu serta konsisten;

j.Rekam jejak yang positif pada jabatan politik sebelumnya;

k.Mampu mengembangkan keunggulan pribadi untuk melakukan terobosan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu yang tidak terduga dalam kondisi krisis dan kritis;

l.Mampu berpikir transformasional dengan visi yang jelas;

m.Mampu memberikan inspirasi, stimulasi, dan selalu  membangun serta mengarahkan subsistem kepemimpinan yang mendukungnya.

Indeks Moralitas dan Akuntabilitas Global, komponennya teridi dari:

a.Memiliki wawasan regional dan global dengan semangat membangun kepemimpinan bersama;

b.Selalu menjaga semangat kemitraan dengan menghormati keragaman budaya;

c.Pemahaman dan konsistensi wawasannya dalam politik luar negeri yang bebas aktif;

d.Memiliki karakter negarawan yang karya dan kepribadiannya dihormati oleh negara lain;

e.Mampu meningkatkan kedudukan Indonesia di mata internasional dengan tidak mengorbankan jatidiri nasional dalam menghadapi proses globalisasi;

f.Memiliki kesadaran terhadap bahaya keamanan yang komprehensif, baik bahaya tradisional yang membahayakan negara maupun bahaya non-tradisional yang membahayakan umat manusia.

Demikianlah upaya Lemhannas RI dalam menjaga kebaikan dan kekokohan kepemimpinan melalui pemunculan IKNI. Sayang sekali, IKNI belum menjadi rujukan banyak pihak dalam menyiapkan dan memunculkan kepemimpinan.

2.Pemimpin Negarawan

Selama ini, partai politik—yang jumlahnya cukup banyak dalam sistem demokrasi saat ini—dinilai gagal mencetak kader pemimpin yang berkarakter negarawan.  Partai politik cenderung merekrut pemimpin dari kalangan elite parpol atau oligarki parpol yang belum tentu merupakan seorang negarawan dan teruji sebagai pemimpin yang berintegritas. Hal ini antara lain terlihat dari banyaknya kalangan politisi dan pengurus parpol yang terjerat perkara korupsi.

Padahal, ibarat sebuah kapal besar, keberhasilan dan arah tujuan bangsa ini sebenarnya sangat bergantung pada ”nakhoda kapal” atau pemimpin bangsa. Sayangnya, partai politik selama ini gagal melakukan kaderisasi pemimpin dan melahirkan negarawan. Partai politik lebih sibuk berbagi kekuasaan dan tidak melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.

Hal ini menyebabkan kita meng­hadapi krisis negarawan di tengah banyaknya muncul politisi prag­matis yang hanya berorientasi pada kekuasaan belaka untuk memenuhi kepentingan diri mereka.  Aki­batnya, dalam masyarakat muncul pemikiran perlunya menjadi politisi agar bisa pula mendapatkan kekuasaan sehingga keinginan pribadi dan keluarga mereka dapat diwujudkan. Malangnya, keinginan tersebut juga didukung oleh meka­nisme rekrutmen partai politik yang buruk. Bahkan untuk menjadi politisi, apakah melalui mekanisme Pemilu dan Pemilukada mereka harus menyediakan sejumlah uang untuk menjadi politisi tersebut. Hasil dari keadaan ini adalah munculnya politisi dengan jiwa kepemimpinan yang lemah, korup dan tidak memiliki visi untuk membangun bangsa dan negara.

Dalam banyak hal, pemimpin seperti ini hanya mampu mem­pertontonkan kesenangan, keme­wahan dan kepongahan mereka sehingga melupakan masalah riil yang dihadapi masyarakat. Realitas Ini justru melahirkan sikap sinis masyarakat sehingga kewibawaan pemimpin, khususnya di peme­rintahan menjadi berkurang. Ma­syarakat tidak lagi memandang pemimpin ini, apalagi men­de­ngarkan himbauan dan perintahnya. Bahkan masyarakat sudah kehi­langan harapan terhadap peme­rintah sehingga mereka tidak lagi menganggap eksistensi pemerintah tersebut dalam kehidupannya. Dalam banyak hal, mereka ter­lanjur kecewa dengan para pe­mimpin tersebut. Akibatnya ma­syarakat lebih senang memilih caranya sendiri dalam menye­lesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan cara tersebut cenderung demonstratif yang disertai dengan tindakan anarkis dengan menyerang dan bahkan membakar simbol-simbol kedaulatan pemimpin itu.

Tentu, puncak masalah ini adalah kepemimpinan yang mengalami masalah serius.  Walaupun banyak pemimpin yang dihasilkan dalam setiap Pemilu yang dilaksanakan, namun sedikit sekali yang menjadi negarawan. Seringkali, kualitas negarawan yang ada saat ini, hanyalah negarawan “musiman”, yang secara ajaib muncul begitu saja menjelang pemilu. Negarawan hanya dijadikan sebagai simbol dan stastus saja. Rakyat tidak mengetahui seberapa besar pengabdian yang telah dilakukan oleh orang tersebut kepada negara. Slogan-slogan yang dikumandangkan di masa kampanye hanya menjadi janji manis karena setelah pemilu berakhir dan kekuasaan didapatkan maka janji tersebut dianggap lunas tanpa perlu dibayar. Sosok negarawan yang digambarkan mendadak lenyap setelah kursi kekuasaan didapatkan.

Kepemimpinan “negarawan” musiman hanya akan membuat kelangsungan nasib suatu negara menjadi terancam. Para politisi yang menjadi “negarawan” musiman akan melepaskan tanggung jawabnya begitu saja setelah kekuasaan didapatkan. Dia akan bertindak ketika tindakan yang dia lakukan memberikan keuntungan bagi diri atau kelompoknya.

Lalu, sosok seperti apakah yang disebut sebagai negarawan sejati? Istilah negarawan (statesman) merupakan istilah yang cukup populer. Secara ensiklopedis seorang negarawan biasanya merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional (a statesman is usually a politician or other notable figure of state who has had a long and respected career in politics at national and international level). Tokoh yang berjasa (worthy) pada bangsa/negara tentu merupakan tokoh yang mengabdikan pikiran dan tenaganya bagi kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

A leader is a dealer in hope. Seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan, demikian petuah Napoleon Bonaparte. Banyak pemimpin besar di dunia bukanlah sosok sempurna bak superman. Pemimpin besar pastilah seorang yang ditempa karakter yang kuat, punya visi, inspiratif, dan -- ini yang paling penting -- mampu memberi harapan di tengah persoalan yang mendera bangsanya.

Dalam bahasa Inggris, negarawan disebut ”statesman.” Menurut kamus Merriam-Webster, negarawan adalah ”orang yang aktif mengelola pemerintahan dan membuat kebijakan-kebijakan” (one actively engaged in conducting the business of a government or in shaping its policies). Lebih spesifik lagi, Merriam-Webster mendefinisikan negarawan sebagai ”seorang pemimpin politik yang bijak, cakap, dan terhormat” (a wise, skillful, and respected political leader). (Indonesia 2014, No 1 Desember 2012).

Pengertian pertama mengacu kepada pemimpin di pemerintahan, sementara pengertian kedua mengacu kepada pemimpin politik (politisi) yang memiliki sifat-sifat terpuji seperti bijaksana, cakap, dan terhormat. Negarawan adalah orang yang tengah menjalani pemerintahan, baik itu presiden, menteri, maupun gubernur, atau pemimpin politik yang berada di luar pemerintahan.

Perbincangan tentang negarawan masuk dalam wilayah Filsafat Politik. Para filsuf umumnya berbicara tentang kriteriakriteria pemimpin politik. Plato pernah menulis sebuah buku dialog berjudul ”Negarawan” (Statesman) di mana dia menguraikan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang pemimpin untuk mengelola suatu Negara.

Negarawan adalah orang yang rela berkorban secara tulus demi keutuhan dan kemajuan bangsanya, juga ikut serta secara aktif dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Dia bukanlah orang yang menghitung-hitung untung rugi ketika tenaga dan pemikirannya dibutuhkan oleh negara. Dia juga bukan orang yang memilih untuk tutup mata saat kemiskinan dan ketidakadilan terjadi di hadapannya. Pandangannya dapat dilihat dari visi yang jelas tentang arah ekonomi, politik, keamanan dan pendidikan yang akan dia kembangkan. Visi yang dimilikinya adalah visi yang melihat jauh ke depan. Dia bukanlah sosok yang mementingkan kepentingan sesaat demi citra pribadi serta golongannya saja. Karakter negarawan sejati bisa dibuktikan secara langsung ketika kursi kekuasaan telah dia dapatkan.

Negarawan sejati adalah negarawan yang rela mengabdi untuk negara dan senantiasa memikirkan keadaan generasi selanjutnya. James Freeman Clarke mengatakan bahwa perbedaan antara politisi dan negarawan adalah, politisi memikirkan tentang pemilu berikutnya sedangkan negarawan berpikir tentang generasi berikutnya. Dengan demikian, seorang pemimpin negarawan akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang mempunyai komitmen tinggi terhadap kepentingan bangsa jauh ke depan. Sedangkan pemimpin politisi, akan dapat dilihat dari pandangan-pandangannya yang selalu terkesan mengedepankan kepentingan sesaat, yang lebih condong kepada kepentingan politik atau kelompoknya.

Malangnya, sistem politik yang demokratis ini hanya bisa meng­hasilkan pemimpin-pemimpin yang berjiwa politisi berbanding nega­rawan. Pemimpin politisi cenderung menyelesaikan masalah bangsa ini berorientasi jangka pendek, reaktif terhadap permasalahan dan hanya mempertimbangkan keuntungan untuk kelompoknya, khususnya partai ketimbang masyarakat. Sementara, pemimpin yang berjiwa negarawan dapat melihat jauh ke depan, penuh pertimbangan berda­sarkan prinsip moral dengan mengutamakan kepentingan ma­syarakat, bangsa dan negaranya.

Memang dalam sistem yang demokratis, negarawan seharusnya dihasilkan dari proses politik yang melibatkan partai. Mereka dipilih melalui mekanisme yang disepakati bersama, yaitu Pemilu dan Pemi­lukada. Namun, karena buruknya sistem rekrutmen partai menye­babkan republik ini mengalami krisis negarawan. Lebih jauh lagi, justru kehadiran politisi turut menyumbang munculnya pelbagai persoalan di negara ini. Jauh sebelumnya, Plato (428-347 SM) pernah mengingatkan kita, masalah suatu negara tidak akan pernah berdamai dengan masyarakatnya hingga kekuasaan politik ada pada negarawan sejati (philosopher). (Teguh: 2012)

Kepemimpinan politik yang negarawan tentu saja amat terkait dengan komitmen kebangsaan dan kenegaraan. Penjelasan yang amat umum dijumpai di sini, terkait dengan kenegarawanan adalah, bahwa sikap tersebutlah yang menuntut para politisi dan untuk meminimalisasikan kepentingan pribadi dan kelompok, dan sebaliknya memaksimalisasikan kepentingan bangsa/negara yang lebih besar.

Negarawan adalah orang yang berjasa dan berkorban demi bangsa dan negaranya, tidak memandang apa latar-belakang politiknya. Idealnya, ketika kader partai, kemudian terpilih menjadi pejabat negara, maka berlakulah adagium “ketika tugas negara dimulai, maka kepentingan politik berakhir”. Artinya, seorang pejabat negara harus berkonsentrasi untuk mengurus negara dengan benar, walaupun tanpa harus menghapuskan identitas latar-belakang politiknya sama sekali. Karena, identitas politik seorang politisi (negarawan) senantiasa melekat padanya. Yang penting, seorang pemimpin politik yang negarawan adalah yang paham betul skala prioritas: mana yang lebih didahulukan (kepentingan bangsa/negara lebih luas) dan yang tidak.

Sebagaiman dikutip dari Filosof Aristoteles, seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Lemhannas (2013) menggeneralisasi berbagai karakter yang “extraordinary” dari seorang negarawan tersebut adalah sebagai berikut:

a.Berbudi luhur (magnanimity);

b.Siap untuk berkorban (self-sacrifice) dan tanpa pamrih (selflessness);

c.Memiliki visi yang jelas (clear vision);

d.Bijaksana (excellence virtues);

e.Teguh hati (courageous, versed in the principle);

f.Rasa keadilan (sense of justice) yang tinggi;

g.Memiliki prediksi jauh ke depan (futurologist), tidak sekedar reaktif, tetapi

juga proaktif, dan antisipatif;

h.Memiliki “extraordinary capability”;

i.Memiliki karya monumental yang relatif langgeng dan bersifat universal;

j.Cinta damai, anti kekerasan, toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan;

k.Memiliki keuletan (tenacity);

l.Bermartabat (dignified);

m.Berjiwa besar/legowo;

n.Diakui dan dihormati oleh masyarakat nasional dan internasional;

o.Demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM;

p.Memiliki keberanian (bravery, courage);

q.Nonpartisan dalam memperjuangkan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan atau kesejahteraan umum;

r.Menunjukkan kebijaksanaan, kearifan, “skill” dan visi yang luas (bold vision) dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan dalam menangani masalah-masalah publik;

s.Selalu “energetic” dan tak kenal menyerah;

t.Selalu mendemonstrasikan “intellectual honesty”; selalu berpikir sistemik (system thinker: wholism, openess, interrelatedmness, value transformation, control mechanism);

u.Tidak pernah bertolok ukur ganda (a single standard of conduct);

v.Setia pada nilai absolut yang universal yang menyatakan bahwa setiap orang harus memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri;

w.Selalu konsisten antara idealisme dan perbuatan;

x.Selalu menjaga integritas atas dasar moralitas yang tinggi (integrity = inner sense of “wholeness” deriving from honesty and consistent uprightness (kejujuran) of character);

y.Keterikatan (attachments) akan dianggap sebagai hal yang mempersulit untuk setia kepada standar moral yang tinggi (contoh: kepemilikan, kekuasaan, hak-hak istimewa);

z.Selalu terbuka dalam pengambilan keputusan dan meminimalkan kerahasiaan; sederhana, rendah hati (humble); dan selalu berpikir strategis dan tidak pernah ragu-ragu dalam keadaan kritis untuk mengambil langkah-langkah yang signifikan (decisive);

Dengan persyaratan yang ketat untuk menjadi negarawan tersebut, dalam suatu sistem demokrasi, seorang politisi yang sedang aktif memegang jabatan pemerintahan biasanya lebih sulit untuk disebut sebagai seorang negarawan. Hal ini karena sehebat apa pun kebijakan yang diambilnya pasti akan mendapat kritikan atau kecaman dari lawan lawan politiknya. Tidak heran apabila mantan Presiden Amerika Serikat Harry Truman secara bercanda mengatakan bahwa seorang politisi baru bisa disebut negarawan apabila sudah meninggal sedikitnya 15 tahun.

Banyak contoh politisi yang dikecam saat masih menjabat, namun malah dihargai ketika tak lagi memegang jabatan politik. Sebut saja misalnya, Jimmy Carter dan mantan Wapres Al-Gore. Carter dianggap kurang berhasil saat menjalankan pemerintahan sehingga dikalahkan oleh Ronald Regan dalam pemilihan presiden untuk masa jabatan keduanya. Al-Gore demikian pula, kalah dari George Bush pada saat mencalonkan diri sebagai Presiden dalam pemilu tahun 1999. Anehnya, saat keduanya tak lagi menjabat di pemerintahan, dunia mengakui mereka sebagai negarawan yang hebat. Jimmy Carter berhasil meraih hadiah Nobel perdamaian tahun 2002, atas jasa-jasanya mencari solusi damai atas berbagai konflik internasional melalui yayasan The Carter Center yang dipimpinnya. Sementara, Al-Gore dianugerahi Nobel perdamaian atas upayanya menyadarkan masyarakat internasional akan bahaya perubahan iklim (pemanasan global) dan ancaman kerusakan lingkungan.

Di Indonesia, contoh negarawan sejati dapat dilihat dari karakter founding fathers yang dengan semangat tinggi bergerak maju untuk membangun Indonesia. Pemikiran mereka yang dirumuskan dalam pancasila memiliki visi yang melihat jauh ke depan. Mereka siap mengorbankan jiwa dan raganya demi kemerdekaan bangsa. Tidak sedikit founding fathers Indonesia yang dipenjara dan diasingkan selama bertahun-tahun sebelum Indonesia merdeka. Merdeka atau mati bagi mereka bukan hanya dijadikan sebagai slogan tetapi dijadikan sebagai dasar dalam bertindak.

Dari founding fathers dan segenap tokoh yang terlibat tidak langsung dalam kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, kita dapat mencatat adanya semangat mereka yang amat luar biasa di dalam mengorbankan kepentingan diri pribadi dan kelompok bagi berdirinya sebuah negara bangsa: Republik Indonesia. Para pendiri bangsa adalah negarawan-negarawan sejati, yang satu sama lain saling berkorban dan bekerjasama demi hadirnya sebuah bangsa yang lepas dari penjajahan.

Salah satu yang tokoh yang disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia sangat layak mendapat sebutan sebagai negarawan adalah proklamator Mohammad Hatta, atau Bung Hatta. Bukan hanya karena jasa-jasanya sebagai bapak bangsa (founding father) Republik Indonesia semata, tetapi terutama karena sikapnya yang selalu mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Bung Hatta-lah yang konon pada tahun 1945 berhasil meminta para tokoh-tokoh Islam agar mau berbesar hati untuk menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta agar tidak menyinggung perasaan perwakilan dari Indonesia Timur yang beragama Nasrani.

Beliau juga yang memilih secara legowo (ikhlas) untuk mundur dari jabatan Wakil Presiden RI saat merasakan ketidakcocokan dengan kebijakan-kebijakan Bung Karno. Setelah mundur dari pemerintahan pun, Bung Hatta tidak pernah lagi mencampuri atau mengkritisi kebijakan politik yang diambil Bung Karno. Dalam hal ini Bung Hatta yang orang Padang menerapkan falsafah Jawa, yaitu bertindak menjadi pemenang tanpa perlu ngasorake (tanpa perlu mempermalukan) mitra Dwi-Tunggalnya dalam pemerintahan pertama Indonesia itu. Sosok Bung Hatta yang sangat bersahaja lebih memilih diam untuk menjaga persatuan, dan menghindari pertikaian politik yang tak menguntungkan di saat bangsa sedang menghadapi tantangan yang jauh lebih besar.

Teladan sosok Hatta yang negarawan ini mirip dengan sikap yang diambil oleh Presiden pertama Amerika, George Washington. Sebagai seorang Jenderal yang berjasa memerdekakan AS dari penjajahan Inggris, rakyat Amerika sangat mencintai George Washington, sehingga mereka memintanya untuk menjabat lagi pada saat habis masa jabatan kedua. Namun Washington dengan tegas menolaknya dengan mengatakan, bahwa bangsa Amerika baru saja bebas dari kekuasaan monarki (kerajaan Inggris), dan jika ia menerima jabatan Presiden terus menerus, maka itu sama saja dengan meneruskan budaya monarki yang selama ini diperangi oleh seluruh rakyat Amerika.

Bung Hatta dan George Washington mempunyai kesamaan karakter, yaitu lebih mengutamakan kepentingan seluruh bangsa dari ambisi pribadi atau kepentingan golongan. Keduanya juga meninggalkan karier politik dengan catatan yang positif, yang sangat penting dalam membedakan karier seorang politisi dan seorang negarawan, yaitu: it is not how you start it, but how you end it. Mengakhiri karier politik dengan prestasi yang positif akan diukir dalam tinta emas perjalan sejarah suatu bangsa. Gajah mati meninggalkan gading, negarawan meninggal mewariskan tauladan dan nama baik.

Sepanjang era pascakemerdekaan hingga kini, kita telah mencatat beberapa segi baik yang ditinggalkan para negarawan kita, bahwa seorang pemimpin (politik) yang negarawan, memiliki karakter kepemimpinan yang kuat serta komitmen kebangsaan yang tegas; sederhana dan senantiasa berupaya menjadi teladan yang baik bagi yang dimpimpin; mampu memberikan motivasi pada rakyat untuk senantiasa optimis (tidak putus asa) dan mampu memecahkan masalah; mampu mengayomi rakyat secara adil dan tidak sewenang-wenang; dan mampu mengembangkan kerjasama secara sinergis antarelemen politik (sosial) yang ada di dalam masyarakat/bangsa yang majemuk.

Satu kriteria penting yang melekat pada seorang negarawan adalah adanya visi atau wawasan untuk kepentingan masa depan atau bagi generasi mendatang. Politisi pada umumnya mempunyai short-term bias, yaitu cenderung mengambil keputusan atau kebijakan untuk kepentingan jangka pendek, dalam hal ini untuk memenangkan pemilu.

Banyak politisi yang menghalalkan segala cara untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya demi tujuan jangka pendek, karena bagi mereka apa yang kelihatan bagus dan positif pada saat ini jauh lebih penting daripada mendahulukan proses yang mempunyai konsekuensi jangka panjang positif dalam pembelajaran bangsa. Sebaliknya, seorang negarawan adalah pemimpin mempunyai visi ke depan dan harus berani mengambil risiko apapun untuk menempuh langkah yang tidak popular, karena biasanya rakyat sering tidak sabar dengan hasil yang makan waktu lama. Proses demokrasi adalah salah satu contoh proses yang makan waktu lama dan menuntut kesabaran. Seorang negarawan dituntut untuk mengutamakan proses, dan mengambil kebijakan dari sudut pandang kepentingan rakyat banyak. Politisi yang baik adalah mereka yang senantiasa mengambil keputusan politik dengan pertimbangan yang matang, dan bukan dengan pertimbangan keuntungan ekonomi atau keuntungan kelompoknya semata. Seorang negarawan bukanlah sosok yang dengan mudah mendaku dan mengklaim bahwa dirinya-lah yang berjasa paling besar bagi negara, dan menafikan peran dan kontribusi orang lain.

Kita memiliki stok yang cukup banyak tipe pemimpin ”transaksional” tapi jarang yang menunjukkan karakter”transformational.” Lebih jarang lagi pemimpin yang mengkombinasikan dua karakter itu. Mungkin kita akan menemukan nama-nama baru jika kita memperluas skop pencarian calon-calon negarawan itu ke level yang lebih rendah, yaitu level provinsi atau kabupaten/kotamadya. Atau mungkin kita akan menemukan calon negarawan itu jika kita memperluas definisi negarawan dari sekadar pemimpin politik kepada pemimpin-pemimpin lain di dunia profesional. Alternatif pertama lebih masuk akal ketimbang yang kedua. Alternatif kedua umumnya hanya terjadi jika suatu negara benar-benar kekurangan stok pemimpin di dunia politik.

Di negara-negara yang demokrasinya sudah stabil, seperti di Amerika Serikat, calon pemimpin nasional biasanya diambil dari pemimpin lokal, seperti gubernur atau senator. Barack Obama, misalnya, sebelum menjadi Presiden, dia adalah senator di negara bagian Illinois. Begitu juga, George Bush, sebelum menjadi presiden, dia adalah gubernur Texas. Bill Clinton, pendahulu Bush, juga seorang gubernur, yakni gubernur Negara bagian Arkansas. Pola ini juga berlaku bagi politisi yang datang dari dunia profesional. Ronald Reagan, misalnya, tidak serta-merta menjadi Presiden karena ketenarannya sebagai bintang film. Sebelum menduduki posisi sebagai orang nomor satu di negeri adidaya itu, Reagan adalah gubernur California.

Pola rekrutmen kepemimpinan nasional semacam itu cukup ideal. Orang yang ingin memimpin suatu negara, apalagi negara yang besar, haruslah memiliki pengalaman sebagai pemimpin di sebuah pemerintahan kecil. Dan pemerintahan kecil yang paling mencerminkan negara adalah pemerintahan lokal (negara bagian atau provinsi).

Sekarang, tinggal kita lihat, dari 33 provinsi (secara de jure sudah 34 provinsi) yang kita miliki, apakah ada gubernur yang kira-kira bisa dicalonkan menjadi pemimpin nasional? Atau adakah dari wakil-wakil rakyat (DPR/DPD) yang memiliki kapasitas kepemimpinan nasional? Jika dari dua wilayah yang dekat dengan pemerintahan ini tak kita temukan, artinya kita tengah menghadapi krisis kepemimpinan. Mungkin wilayah profesional, baik dunia pendidikan, dunia usaha, maupun sektor lainnya, bisa dijajaki dan dieksplorasi.

Tentu saja kita selalu dihadapkan pada sebuah dilema, antara menginginkan seorang calon pemimpin yang ideal yang memenuhi kriteria ”negarawan” dan stok yang tersedia. Dalam banyak kasus, sosok yang ideal biasanya tak pernah muncul. Kalaupun muncul, biasanya tak didukung oleh popularitas dan elektabilitas yang membuatnya mampu memenangkan pemilihan umum.

Demokrasi memerlukan orang-orang yang punya hasrat berkuasa. Jika tak ada orang yang punya hasrat berkuasa, demokrasi tidak akan jalan. Di sinilah dilema lain dari demokrasi. Orang-orang baik atau calon-calon pemimpin ideal, biasanya kurang memiliki hasrat berkuasa. Jika mereka tak memompa hasrat kekuasaannya, maka meraka tak akan pernah meraih kekuasaan itu. Politik adalah seni memenangkan kekuasaan. Orang yang tidak mau turun tangan dan terlibat dalam pertarungan politik tidak akan mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang diberikan, tapi ia harus diraih dan diperjuangkan.

Kata ”negarawan” berdasarkan kamus dan penggunaannya di negara lain, khususnya di Amerika Serikat. Negarawan adalah seorang pemimpin yang pernah menjabat cukup lama suatu jabatan politik, baik di pemerintahan, birokrasi, maupun parlemen. Negarawan umumnya adalah orang yang berkiprah cukup lama dalam dunia politik atau memegang jabatan tertentu di pemerintahan.

Orang yang tidak pernah bergelut di dunia politik atau tidak pernah menjabat suatu posisi tertentu di pemerintahan bukanlah seorang negarawan. Dia bisa disebut sebagai ”profesional,” ”ahli,” atau ”praktisi.” Dia bisa disebut negarawan jika bersedia bergelut dalam dunia politik dan pemerintahan.

Dengan demikian, jika kita ingin mencari negarawan, maka kita harus memfokuskan perhatian kita ke pemerintahan, birokrasi, parlemen, dan partai politik. Di sanalah kita bisa menemukan negarawan.

Ketika para negarawan memiliki kemampuan untuk meletakkan dirinya dalam kerangka fungsi dan misi kekhalifahan yang substansinya adalah pemihakan dan pembelaan serta penegakan nilai-nilai kebenaran, moral dan keadilan sosial, dan diproseskan dalam keseluruhan kebijakan nasional, maka persoalannya tinggallah keteladanan. Inilah problem klasik Indonesia. Keteladanan kepemimpinan bukan saja memerlukan dukungan dari sistem birokrasi yang ada, melainkan juga dari dalam rumah tangganya. Faktor keluarga menjadi kekuatan kontrol internal dan efektif menuju good governance (Muqoddas, 2013).

Selain itu tentu saja, dalam masyarakat transisional yang sedang tertatih-tatih menuju masyarakat madani dan penguatan diri sebagai negara demokratis, maka faktor moralitas pada akhirnya akan menentukan dan berpengaruh pada proses penguatan negara dalam arti dan konsep negara demokratis yang tetap menjadikan hak-hak rakyat sebagai fokus keberpihakannya. Dengan demikian negara asing akan cukup memperhitungkan untuk mencoba menjadikan bangsa kita sebagai boneka politik luar negeri mereka, karena kita tegar sebagai negarawan yang berwatak dan bermoral.

Di tangan negarawan yang berakhlakul karimah, yang memiliki komitmen tinggi, misi pembelaan atas hak-hak rakyat dan menata kehidupan bangsa yang beradab bisa dipercayakan. Berbagai kekayaan sumber daya alam dapat dikelola dengan prinsip advokasi terhadap kepentingan rakyat dan negara secara adil. Maka, momentum peringatan kesyukuran kemerdekaan negara kita ke-62 adalah merupakan tonggak baru untuk berani melakukan koreksi dan introspeksi total dengan mengakui kelemahan-kelemahan kita, serta kesediaannya untuk tampil dengan karakter dan wajah kepemimpinan yang cerdas, teduh, mengayomi, terbuka, jujur, dan egaliter yang sesungguhnya diperlukan bangsa ini.

Kita tentu merindukan, negarawan yang berhasil mengakhiri amanatnya dengan khusnul khatimah atau berakhir dengan terpuji. Rakyat, karyawan dan staf yang dahulu dipimpinnya tetap menaruh hormat kepadanya ketika jabatan sudah lepas. Ia pun tetap menyatu, sehati dan lebur dengan elemen-elemen anak bangsa. Siapa yang tidak berambisi untuk meraih goresan tinta  sejarah menjadi “buah tutur yang terpuji bagi generasi berikutnya?“. Generasi pelanjut yang tidak memiliki hak sejarah untuk menggugat masa lalu kepemimpinannya yang bermoral dan berwatak. Mereka tulus dan ridho atas kepemimpinannya.

Walaupun kita masih bisa menemukan tokoh yang berjiwa negarawan, namun karena sistem politik yang mensyaratkan keterlibatan mereka dalam partai sebagai suatu keharusan, maka dampaknya adalah pada peran mereka yang tidak maksimal. Umumnya, mereka yang berjiwa negarawan ini lebih memilih untuk berada di luar pemerintahan, mengawasi jalannya pemerintahan yang dikuasai oleh para politisi. Mereka tetap berusaha memberi nasehat melalui kritik yang konstruktif. Namun, sayangnya nasehat para negarawan ini tidak pernah digubris oleh politisi yang menjelma menjadi penguasa di negara ini.

Sampai kapan pun negara ini tetap akan dihadapkan pada masalah besar, selagi partai politik gagal menghasilkan kader-kader yang berjiwa negarawan. Cara-cara rekrutmen pemimpin politik yang mengutamakan uang, nepotisme, dan keturunan, justru mengancam munculnya negarawan sejati yang berpikir untuk kemauan bangsa ini. Sepanjang partai politik di negara ini masih gagal meng­hasilkan negarawan sejati untuk memimpin, selama itu pula repub­lik ini akan tetap terperangkap dalam lingkaran masalah yang tidak pernah ada penyelesaiannya.

D.PENUTUP

Jangan sampai kita dalam memilih calon pemimpin seperti memilih kucing dalam karung. Sudah semestinya kita mengenal calon pemimpin kita, dan memilih yang terbaik, yaitu yang berkarakter negarawan. Sifat-sifat kenegarawanan para pemimpin kita terdahulu perlu diinternalisasikan ke dalam tiap diri para pemimpin dan calon-calon pemimpin kita saat ini. Bangsa ini butuh keteladanan, terutama dari para pemimpinnya. Mudah-mudahan kita selalu mampu mengambil hikmah dari para pemimpin-pemimpin kita di masa lalu, dan menjadi inspirasi bagi masa depan bangsa.



DAFTAR PUSTAKA

Indonesia 2014, No 1 Desember 2012.

Kartini, Anak Agung Rai. Kepemimpinan yang Berkarakter http://www.bandiklat.baliprov.go.id/berita/2013/3/kepemimpinan-yang-berkarakter. Diakses pada 28 Agustus 2013.

Lembaga Ketahanan Nasional RI. Jakarta: Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XIX tahun 2013, Sub. B.S. Kepemimpinan Negarawan.

Liddle, R. William dkk, Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan, Jakarta: Pusat Studi Agama & Demokrasi (PUSAD) Yayasan Wakaf Paramadina, 2012.

Muqoddas, MuhBusyro. Negara dan Moralitas Negarawan http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=739&Itemid=135. Diakses pada 28 Agustus 2013.

Sofyan, Syafran. Pemimpin. jimlylawschool.com. Diakses pada 28 Agustus 2013.

Tanjung, Akbar. Kepemimpinan Politik yang Negarawan. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=728&Itemid=135. Diakses pada 28 Agustus 2013.

Teguh. Bangsa yang Krisis Negarawan.http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12925:bangsa-yang-krisis-negarawan-&catid=12:refleksi&Itemid=188, 23 Februari 2012

Supriyanto. Berjiwa Besar,Karakter Pemimpin Berkarakter. http://www.bppk.depkeu.go.id/webpegawai/attachments/658_Berjiwa%20Besar%20Karakter%20Pemimpin%20berkarakter.pdf. Diakses pada 28 Agustus 2013.

Wasistiono, Sadu. Kepemimpinan Pemerintahan berkarakter (untuk tingkat madya). Bahan ceramah SESPIMDAGRI. Jakarta:2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun