Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Teladan: Papa yang Hadir dalam Kegagalan Anaknya

10 Januari 2020   14:15 Diperbarui: 10 Januari 2020   14:19 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai wisuda jenjang Sarjana (S1) hingga hari ini pun, saya tak pernah memberikan foto wisuda saya kepada Papa untuk dipajang di rumah bersama dengan foto wisuda jenjang Sarjana (S1) dari kedua kakak saya, karena saya menganggap ini bukan persembahan yang terbaik bagi Papa Mama. Bahkan, meski hanya berselang sepuluh bulan sejak saya menerima ijazah Sarjana (S1), dan pada akhirnya saya berhasil menembus proses seleksi sebagai abdi negara---gaji pertama saya sebagai CPNS pun, saya berikan 45% untuk Papa, 45% untuk Mama, dan 10% untuk rumah ibadah---tetapi saya tetap menganggap ini bukan persembahan yang terbaik.

Guna menebus itu semua, setelah empat tahun berproses sebagai abdi negara, dan setelah saya menikah, saya mengambil keputusan untuk beproses dalam studi lanjut jenjang Magister (S2). Selama dua tahun menempuh studi lanjut jenjang Magister (S2), saya berkomitmen kuat untuk tidak mengulang kesalahan yang pernah terjadi saat saya menempuh studi jenjang Sarjana (S1).

Hasilnya, saya mempersembahkan bagi Papa Mama raihan Indeks Prestasi (IP) sebesar 3,96 dengan Predikat yaitu Pujian/Cumlaude, bahkan dengan IP yang saya miliki mengantarkan saya pada urutan yang pertama dari 95 (sembilan puluh lima) orang lulusan dari program studi Magister Pendidikan Olahraga, serta mengantarkan saya pada urutan yang kedua dari seluruh wisudawan yang berjumlah 605 (enam ratus lima) orang lulusan dari keseluruhan program studi yang dimiliki oleh Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya (catatan selengkapnya: goo.gl/JND5VD)

Pada akhirnya, saya bisa memberikan foto wisuda saya bersama Papa Mama untuk dipajang di rumah. Tak tanggung-tanggung, foto yang saya berikan kepada Papa berukuran 10R, selain satu foto lainnya yang berukuran 5R untuk diletakan berdekatan dengan foto wisuda kedua kakak saya. Dalam perspektif yang saya miliki, Papa benar-benar menantikan persembahan yang terbaik dari saya, sekalipun Papa tak pernah mengungkapnya, karena dari ketiga anaknya hanya saya yang belum memberikan foto wisuda kepada Papa untuk dipajang sebagai kebanggaan Papa Mama.

Mengapa saya bisa memiliki perspektif demikian? Karena foto wisuda saya adalah foto terakhir yang dipajang oleh Papa, meski sebenarnya tak lama lagi anak sulungnya akan diwisuda setelah mengakhiri perkuliahan dengan sangat baik pula pada program studi Magister (S2) Teknologi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya---Bahkan, untuk mendapatkan hasil foto wisuda yang terbaik, kakak saya pun telah membelikan sepatu dan batik yang disiapkan secara khusus untuk Papa menghadiri wisuda. Namun, Papa telah lebih dulu pergi menuju keabadaian, dan sepatu yang digunakan oleh Papa di dalam peti jenazah merupakan sepatu yang telah disiapkan secara khusus untuk wisuda tersebut.

Persembahan yang terbaik sebagai darma bakti kepada Papa telah coba saya berikan, kata-kata yang pernah saya goreskan dalam persembahan tesis pun telah saya tunjukan untuk dibaca oleh Papa, sebagai pengganti ungkapan hati yang malu untuk saya sampaikan secara langsung.

Namun demikian, beberapa hari sebelum Papa pergi menuju keabadian, saya sempat menceritakan kepada Papa tentang sebuah momen saat saya sedang potong rambut, tukang potongnya sembari memangkas rambut, membanggakan ketiga anaknya yang mampu menempuh pendidikan hingga jenjang Sarjana (S1). Saya pun merespons yang disampaikan dengan membanggakan Papa yang dalam keterbatasannya telah berhasil mengantarkan satu anaknya hingga jenjang Sarjana (S1), dan kedua anaknya yang lain hingga jenjang Magister (S2). Papa tampak tersenyum bangga saat mendengar cerita saya yang sedang membanggakan Papa.

Kami ada hari ini, terkhusus saya, karena tak lepas memiliki Papa yang hadir dalam kegagalan anaknya.

Papa selalu mendukung setiap keputusan yang diambil oleh anaknya, tetapi Papa selalu penuh dengan kebijaksanaan dalam menentukan rambu-rambu untuk memberikan arah, dan yang terpenting Papa selalu menyambut dengan tangan terbuka saat anaknya mengalami kejatuhan.

Akhir kata, Papa telah meninggalkan warisan teladan yang mulia, teladan untuk menjadi Papa yang mampu mengejawantahkan kasih dengan sangat baik melalui tindakan nyata bagi anak-anaknya, hingga melalui tindakan nyata yang ada, anak-anaknya bisa melihat Sang Kasih yang tak terlihat.

Kota Surabaya, 10 Januari 2020

RAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun