Mohon tunggu...
Jhon Rivel
Jhon Rivel Mohon Tunggu... -

Aku menulis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merusak Hutan Demi Kepentingan Sesaat

3 Agustus 2012   03:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:18 2060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perusakan hutan yang dilakukan oleh segelintir orang (pemodal besar) terus berlanjut. Bahkan aktivitas perusakan ini juga melibatkan pejabat, aparat, dan masyarakat setempat. Mereka dijadikan sebagai alat oleh pemodal besar untuk memuluskan kepentingan ekonominya mengeksploitasi hutan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologinya. Konsekuensinya, upaya untuk menyelamatkan hutan di negeri ini sangatlah sulit. Karena banyak pihak yang terlibat dan diuntungkan dari aktivitas perusakan hutan, yang sebenarnya untuk kepentingan sesaat.

Kerusakan hutan pun akhirnya semakin parah dari tahun ke tahun. Dari 133.300.543,98 hektar luas hutan Indonesia, sekitar 21 persen (26 juta hektar) telah hancur. Diperikan lebih dari 1 juta hektar hutan di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahunnya. Laju kerusakan hutan paling parah terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di Sumatera, lebih dari 500.000 hektar mengalami kerusakan setiap tahunnya. Kerusakan hutan ini terjadi di semua daerah mulai dari Aceh, Sumatera Utara (Sumut), Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, dan Lampung.

Provinsi Jambi dan Riau merupakan daerah di mana laju kerusakan hutannya paling parah. Provinsi Jambi yang dulunya memiliki hutan seluas 2,2 juta hekatar, kini tersisa sekitar 500.000 hektar karena telah berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan kawasan pertambangan. Bahkan sejak tahun 2011, lebih dari 1 juta hektar hutan produksi dan hutan produksi terbatas dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman industri. Kemudian di Riau, kerusakan hutan sejak tahun 2011 diperkirakan sekitar 200.000 hektar. Benar-benar mengerikan.

Demi kepentingan ekonomi segelintir orang yang difasilitasi oleh para pejabat, semua hutan terus dirusak. Bahkan taman nasional pun ikut dirusak. Dari 43 taman nasional di Indonesia dengan luas 12,3 juta hektar, 30 persen diantaranya telah rusak parah. Padahal itu sudah jelas menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Tapi lagi-lagi, demi kepentingan ekonomi, peraturan pun dilanggar. Aparat pun tidak berdaya, karena sudah terjadi tabrakan kepentingan.

Dari enam taman nasional di Sumatera, semuanya dalam kondisi krisis. Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh dan Sumut) telah rusak seluas 112. 100 hektar, Taman Nasional Teso Nilo (Riau) seluas 28.500 hektar, Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi) seluas 1.000 hektar, Taman Nasional Kerinci Seblat (Jambi) seluas 200.000 hektar, Taman Nasional Berbak (Jambi) seluas 32.000 hektar, Taman Nasional Bukit Duabelas (Jambi) seluas 3.000 hektar, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Lampung) seluas 61.000 hektar. Jika dijumlah, maka kerusakan taman nasional di Sumatera adalah seluas 437.600 hektar. Taman-taman nasional lain yang di luar Sumatera pun bernasib sama.

Memang kerusakan hutan bukan hanya disebabkan oleh kepentingan investor dari alih fungsi hutan untuk perkebunan, pertambangan, dan HTI. Tetapi juga karena pembalakan liar, permukiman penduduk, dan pembangunan jalan. Meskipun demikian, alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan menjadi penyebab utama kerusakan hutan. Taman nasional pun ikut dialihfungsikan seperti di Kawasan Ekosistem Leuser yang telah beroperasi 40 perusahaan pertmabangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Pihak yang paling diuntungkan dari kerusakan hutan ini adalah para konglomerat. Sementara mereka yang ikut terlibat dalam aktivitas perusakan hutan ini seperti perambah, pemberi izin, dan pelindung keamanan, hanya memperoleh “recehan-recehan” dari keuntungan para konglomerat yang berlipat-lipat bahkan berkuadrat-kuadrat. Kemudian pemilik modal (asing) tersebut benar-benar dimanjakan oleh pejabat di negeri ini. Seolah-olah pejabat menjadi satuan pengaman aktivitas ekonomi mereka.

Di sisi lain, begitu besar dampak buruk yang ditimbulkan akibat perusakan hutan ini. Misalnya konflik lahan antara masyarakat di sekitar hutan dengan pihak perusahaan. Dan secara umum, masyarakat (adat) lah yang terusir dari tanahnya sendiri akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan kawasan pertambangan. Pemerintah tetap berpihak kepada pemilik modal. Konflik lahan ini sampai sekarang terus terjadi, dan bisa makin meluas ketika tidak diselesaikan secara tuntas.

Jika penyelesaiannya tetap menggunakan sisi legal formal atau hukum positif, maka bisa dipastiakan, masyarakat adat akan tetap menjadi pihak yang kalah dan persoalan tidak akan selesai. Hal ini dapat kita lihat dalam penyelesaian kasus Mesuji yang hingga hari ini berjalan di tempat. Sialnya, masyarakat adat yang tergusur dari tanahnya akibat konflik sumber daya hutan, tidak mendapatkan kompensasi apa pun dari negara.

Selain menimbulkan konflik, perusakan hutan tentu akan menghadirkan bencana alam (banjir, erosi, tanah longsor), pemanasan global, hilangnya flora dan fauna, yang berdampak buruk bagi kehidupan. Jika kita melihat efek jangka panjang, maka kerugian akibat kerusakan hutan sangat jauh lebih besar daripada keuntungan dari eksploitasi hutan.

Dan sekali lagi perlu ditekankan, keuntungan dari pengurasan kekayaan hutan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang (konglomerat) yang sifatnya jangka pendek. Kontribusi yang mereka berikan untuk perekonomian nasional dan bagi kesejahteraan rakyat di sekitar hutan tidak sebanding dengan kekayaan melimpah yang mereka peroleh. Justru negara dirugikan karena pengelakan pajak hutan. Hal itu sudah sangat jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Anehnya, di saat hutan kita sedang dalam krisis, justru pemerintah pusat dan daerah saling melempar tanggng jawab. Bahkan lebih parahnya, sejumlah pemerintah daerah mengusulkan alih fungsi hutan menjadi areal penggunaan lain kepada Kementerian Kehutanan. Di Sumatera Utara misalnya, pemerintah daerah mengusulkan perubahan status hutan seluas 564.200,36 hektar untuk menjadi kawasan bukan hutan (Kompas, 16/4/2012). Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, siapa yang berkepentingan di balik ini? Jika ini dikabulkan, maka kerusakan hutan akan semakin parah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun