Mohon tunggu...
Ris Sukarma
Ris Sukarma Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pensiunan PNS

Pensiunan pegawai negeri, sekarang aktif dalam pengembangan teknologi tepat guna pengolahan air minum skala rumah tangga, membuat buku dan fotografi. Ingin berbagi dengan siapa saja dari berbagai profesi dan lintas generasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenapa Jakarta Selalu Kebanjiran?

3 Desember 2009   14:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:05 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

  [caption id="attachment_33096" align="alignleft" width="300" caption="Mana sungainya ? (dari koleksi pribadi)"][/caption]

Saat datangnya musim hujan seperti sekarang ini, banjir sudah menjadi hal yang rutin bagi setiap warga Jakarta, menjengkelkan tapi tak terhindarkan. Kenapa Jakarta selalu kebanjiran pada waktu musim hujan? Apakah Jakarta benar-benar bisa bebas banjir? Sebelum mencoba menjawab pertanyaan diatas, marilah kita amati dulu berapa fakta sebagai berikut.Lima ribu tahun yang lalu, daerah yang sekarang bernama Jakarta adalah daratan aluvial yang terbentuk oleh bahan-bahan letusan gunung Salak, gunung Pangrango dan gunung Gede yang terletak di selatan daerah yang sekarang kita sebut kota Bogor. Daerah yang landai di tepi laut ini makin lama makin luas karena endapan yang terbawa sungai dan membentuk teluk yang lebar dengan ketinggian sedikit di atas muka laut. Maka tidak heran apabila dataran rendah ini selalu kebanjiran, terutama sepanjang sungai-sungai yang melintasinya seperti Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi dan Citarum. Pada musim panas, debit aliran pada sungai-sungai tersebut mengecil dan sedimen yang terbawanya mengendap di dasar sungai dan membentuk lumpur tebal yang mengurangi kapasitas aliran sungai serta menimbulkan berbagai macam penyakit. Pada waktu musim hujan, sewaktu sungai-sungai tersebut membawa pasir dari hulu akibat kegiatan pembukaan lahan, banjirpun tak terhindarkan. Ini terjadi berabad-abad lamanya, tapi penduduk yang mendiami dataran ini masih sangat sedikit.

Pada abad ke delapan belas Belanda membuat sistem kanal di Batavia yang meniru pola kanal di Amsterdam, dengan membangun kanal-kanal baru yang menghubungkan sungai yang sudah ada dan mengalirkannya langsung ke laut. Sistem kanal ini sedikit banyak membantu menyebarkan aliran sehingga tidak menumpuk di tengah kota. Akan tetapi sistem kanal yang baru dibangun itu belumdapat mengatasi masalah drainase. Pasir yang mengendap di muara karena pasang naik membuat aliran terhambat. Dengan semakin meningkatnya penduduk Batavia waktu itu, dan kurangnya sarana sanitasi, kasus-kasus penyakit seperti tipus, kolera dan disenteri menjadi meningkat. Pada waktu itu belum diketahui secara pasti penyebab wabah penyakit tersebut, yang justru banyak terjadi pada orang-orang Eropah, sedangkan orang-orang Cina tidak banyak yang terjangkit. Rupanya kebiasaan orang Cina untuk minum teh dengan air yang telah dimasak terlebih dahulu diperkirakan sebagai penyebabnya. Sedangkan orang-orang Eropa lebih suka mengurung dirinya di dalam rumah karena ingin menghindari bau busuk yang menguap dari sungai-sungai di depan rumah-rumah mereka. Waktu itu rumah-rumah penduduk kebanyakan menghadap atau dekat dengan sungai yang berfungsi sebagai sarana transportasi.

Malaria adalah penyakit lain yang menyebabkan banyak korban karena genangan air yang tidak mengalir. Kapal-kapal yang biasa sandar di Batavia mulai berkurang. Tahun 1770, ketika Kapten James Cook terpaksa sandar di Batavia untuk memperbaiki kapalnya yang rusak, dia mencatat bahwa “udara Batavia yang busuk adalah penyebab kematian orang Eropah paling banyak dibandingkan dengan tempat lain manapun di muka bumi”. Orang-orang yang baru tiba di Batavia waktu itu, yang kelelahan karena perjalanan laut yang panjang, menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Tahun 1825 dilaporkan orang yang meninggal dan dibawa dari rumah sakit ke kuburan Tanah Abang duakali sehari banyaknya. Dari kawasan Kota, perahu membawa mayat-mayat itu menyusuri Kali Krukut, dimana sungainya mengalir dekat kuburan.

Pada waktu itu jumlah penduduk Batavia tidak lebih dari 50 ribu orang, dan dalam kurun waktu kurang lebih seratus tahun jumlahnya menjadi sekitar 800 ribu orang. Tapi sejak kemerdekaan, penduduk Jakarta jumlahnya berlipat ganda. Tahun 1952 jumlah penduduk Jakarta adalah 1,78 juta, dan 50 tahun kemudian jumlahnya melonjak mencapai hampir 13 juta jiwa. Jabodetabek, dengan luas 7.315 km2,dihuni oleh hampir 24 juta jiwa, meningkat duakali lipat dalam 25 tahun. Setiap tahun diperkirakan 250 ribu orang pindah ke Jakarta. Bayangkan, dengan jumlah sebesar itu, tekanan penduduk terhadap lingkungan menjadi semakin besar. Setiap lahan terbuka dijadikan permukiman dan pertokoan. Daerah Kelapa Gading yang pada jaman Belanda dulu digunakan sebagai daerah tangkapan air, sekarang sudah penuh dengan bangunan. Tidak heran apabila daerah tersebut sekarang menjadi langganan banjir. Endapan lumpur dan sampah pada saluran juga menghambat aliran. Diperkirakan sebanyak 90,9% isi saluran terdiri dari lumpur endapan, sisanya adalah sampah yang dibuang warga secara sembarangan. Sekitar 18% dari sampah warga Jakarta terbuang ke sungai, dan jumlahnya diperkirakan lebih dari 1000 m3 per hari.Sekarang ini, kejadian wabah penyakit seperti 184 tahun yang lalu tidak terjadi lagi, tapi bencana banjir masih tetap menghantui.

Selain menghabiskan lahan kosong dan menyebabkan timbulan sampah yang begitu besar, tekanan penduduk juga menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah. Dengan cakupan pelayanan air bersih yang masih terbatas, penduduk dan kalangan industri menyedot air tanah secara besar-besaran. Akibatnya muka air di beberapa tempat di Jakarta menurun, dan genanganpun tak terhindarkan, air tidak dapat mengalir dengan lancar. Ini terlihat di sekitar Hotel Indonesia, sepanjang jalan Thamrin dan sekitar jalan tol menuju bandara. Menurut para ahli, sekitar 20% sumur yang terdaftar (dengan kedalaman lebih dari 100 m) bertanggungjawab atas turunnya muka tanah di Jakarta.Penurunan muka tanah ini rata-rata mencapai5 cm per tahun, dan di beberapa tempat penurunan sudah lebih dari satu meter. Apabila hal ini dibiarkan terus tanpa ada upaya pencegahan,dalam beberapa tahun lagi di beberapa tempat di Jakarta utara muka tanahnya bisa turun sampai 500 cm! Bencana lain datang dari laut. Dengan adanya pemanasan global, maka muka air laut di muka bumi akan meningkat, tidak terkecuali muka air laut di teluk Jakarta.

Jadi, kembali kepada pertanyaan didepan, penyebab utama banjir di Jakarta disebabkan oleh kombinasi dari berbagai faktor di atas, yang dapat dirangkum dalam tiga faktor utama: (i) pertumbuhan penduduk yang pesat dan tidak terkontrol, baik di Jakarta maupun di kawasan hulunya, yang menyebabkan tingginya endapan lumpur dan sampah dalam saluran; (ii) menurunnya muka tanah di beberapa bagian kota Iakibat penyedotan air tanah yang berlebihan; dan (iii) naiknya muka air laut akibat dari pemanasan global.

Pertanyaan berikutnya, apakah Jakarta bisa bebas banjir? Sebagai orang yang berfikiran optimis menatap masa depan, jawabannya harusnya: bisa! Bagaimana caranya? Untuk membersihkan lumpur endapan dan sampah yang menumpuk di dalam sungai dan saluran-saluran, diperlukan pengerukan secara masal seperti yang pernah dilakukan di Amsterdam pada tahun lima puluhan. Kegiatan pengerukan seharusnya dilakukan setiap tahun sebagai kegiatan rutin, tapi karena sudah lama tidak pernah dilakukan, maka diperlukan pengerukan masal yang dilanjutkan dengan pengerukan rutin pada tahun-tahun berikutnya. Untuk mengeruk sungai-sungai utama saja diperlukan biaya tidak kurang dari Rp1,5 trilyun, itu belum termasuk pembersihan saluran-saluran yang lebih kecil dan mikro. Kalau semuanya dikerjakan mungkin perlu dana lebih dari 10 trilyun. Selanjutnya perlu dilakukan perbaikan sistem kanal secara menyeluruh, seperti yang dilakukan Belanda di Batavia di abad delapan belas, dengan membuat kanal-kanal baru seperti yang sudah dimulai dengan pembangunan BKT yang masih berjalan. Untuk mencegah penurunan muka air, maka perlu ada ketegasan dalam penegakkan peraturan tentang pengambilan air tanah dalam, tapi juga perlu difikirkan perluasan jaringan air bersih yang lebih luas, agar masyarakat bisa mengurangi pemakaian air tanah. Yang paling sulit barangkali menangkal bencana naiknya muka air laut akibat pemanasan global, meskipun bukan tidak mungkin untuk diatasi, misalnya dengan membuat mega proyek tanggul penahan laut seperti yang dilakukan Belanda dengan Proyek Delta-nya.

Apa yang bisa kita lakukan? Banyak, mulai dari hal-hal yang sederhana, misalnya tidak membuang sampah sembarangan, apalagi membuang sampah ke kali. Apabila setiap orang membuang sampah pada tempatnya, maka 1000 m3 sampah per harinya tidak masuk ke kali, dan pekerjaan membersihkan saluranpun menjadi lebih mudah dan murah. Apabila kita kebetulan duduk pada posisi yang memberikan kita kewenangan untuk mengeluarkan ijin bangunan atau ijin pemanfaatan lahan, kita harus berfikir sepuluh kali untuk memberikan ijin yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Apapun posisi dan kedudukan kita, sekali kita berfihak bukan kepada yang benar dan hak, maka bukan hanya kita yang akan menyesalinya, tapi jutaan penduduk Jakarta akan melaknat kita. Naudzubillah min dzalik. Semoga kita selalu ada dalam lindungan-Nya. Mudah-mudahan kita dipanjangkan umur oleh yang Maha Kuasa untuk bisa merasakan dan menikmati Jakarta yang bebas banjir. Semoga.

Dari berbagai sumber.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun