Saya menemukan klinik itu secara tidak sengaja, terlipat di antara gedung-gedung tinggi, menyempil di sudut paling sampah kota ini, juga sunyi dari keriuhan klakson. Saya agak tertipu, di luar banyak sampah, juga lalat. Tapi di dalam tempat ini sama sekali licin bersih. Hanya ada dua pigura. Satu meja dan kursi.Â
Seorang perempuan setengah baya duduk di situ. Dengan wajah ditekuk seolah dia menjawab teka-teki silang tersulit di dunia. Saya curiga lehernya patah. Tidak bisa ditegakkan kembali. Andaikata bisa ditegakkan, mungkin dia tidak mempunyai ujung bibir yang bisa menyunggingkan senyum.
Saya berdehem dua kali. Tetap saja perempuan itu bergeming. Sungguh pemilik klinik ini, sangat tidak sopan kepada calon pasien. Sama sekali tidak ada benda yang bisa dijadikan tempat duduk di sini. Apakah karena pasien-pasien yang datang ingin mati, jadi tidak wajar lagi dihormati? Mungkin sudah bau tanah, dan juga cacing-cacing, dan juga para belatung.
Saya mencoba menghalau kikuk sambil lalu melihat pigura. Ada seorang lelaki yang sangat lesu di satu pigura. Seutas tiang gantungan, lengkap dengan buhul, beberapa depa di belakangnya. Sementara di pigura satunya lagi, seorang lelaki yang sangat ceria. Orang-orang bersorak di belakangnya, lengkap dengan rumah indah dan gedung-gedung. Entah apa maksudnya, saya tak tahu.
"Anda mau bertemu dengan siapa?"
Ternyata perempuan itu masih memiliki mulut.
"Oh, saya Mardani. Hendak bertemu dengan Tuan Mayones."
Perempuan itu melihat buku besar. Tertunduk-tunduk. Sesekali dia menurunkan kacamata. Oh, dia ternyata berkacamata. Saya tadi tidak memperhatikan.
"Oh, ya. Nama anda ada : Mardani. Silahkan masuk." Saat saya hampir masuk melalui pintu berwarna putih susu, cepat sekali perempuan itu berdiri. Dia menghentikan langkah saya. "Anda harus ingat, bos saya bukan teman salad. Tapi, Marjounes. Ingat, ada penambahan huruf "r". Juga di bagian huruf "ou", bibir anda harus dimanyunkan."
"M-a-r-j-ou-n-e-s."
"Ha, benar begitu. Anda cepat belajar. Silakan anda masuk!"