Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanah Emas

9 April 2019   16:35 Diperbarui: 9 April 2019   17:11 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Safitri masih menghembus-hembus bara di bawah tungku. Mulutnya membulat seperti ikan mas koki. Mengembang, mengempis. Merah padam. Asap mengepul. Menggeliat melintasi dinding batako bersusun ke atas. Berundak-undak membentuk tangga. Akhirnya menggelepar di terowongan asap, bersatu dengan teman-temannya; awan yang melintas perlahan.

Wangi nasi kampung kemudian membuar. Bercampur dengan semerbak ikan asin bakar. Sungguh, sedikitpun tidak melecut selera. Semangkuk besar kopi di meja, serasa tidak mengundang dahaga. Air menghitam itu laksana comberan yang berpuluh bulan muntab. Aku muak. Aku gelisah. Namun tetap saja tidak ada yang dapat kuperbuat selain berselonjor di sofa lapuk berlapis jerami. Atau, sebentar-sebentar aku berpindah ke teras rumah. Mencangkung di situ sambil mencongkel-congkel tanah liat yang keras seperti batu.

Beberapa lelaki-perempuan dewasa dan anak-anak mereka,  melintas di depan rumah. Berjalan beriringan di sepanjang bantaran persawahan. Kemudian kaki-kaki kukuh itu, berjalan menurun ke pematang sawah. Si lelaki bersiul menyanyikan lagu-lagu kampung. Anak-anak berpipi merah menghitam, mendendangkan dolanan yang biasa mereka persembahkan ketika bulan purnama pecah di lapangan kampung.

 "Apa lagi yang kau lakukan, Bapak? Melamun lagi, melamun lagi! Hidup tidak akan berubah kalau setiap hari dibumbui lamunan. "Safitri bersungut-sungut sambil merapikan wadah makanan di meja ruang makan. Oh, bukan, bukan ruang makan. Tapi sebuah ruangan merangkap ruang tamu, ruang makan dan ruang keluarga. Di sebelah utara sebuah kamar mungil sebagai tempat tidur. Disekat dengan anyaman bambu yang diserut tipis-tipis. Di belakang adalah dapur kecil, sengaja dibangun permanen dengan batako kasar. Sebagai kerajaan istriku, karena dia memang jago masak. Meskipun hanya sepotong ikan asin yang dihidangkannya kepadaku, tapi itu berasa rendang.

Kalau kamar mandi dan kakus, kami tidak punya. Mandi dan buang air besar, biasa dilakukan di sungai yang masih jernih berjarak sekitar seratus langkah dari rumah.

"Aku kesal! Hidup kita tidak pernah berubah!" gerutuku membalas. Rokok nipah kubuang ke halaman.

"Kalau hidup ingin berubah, bapak harus bekerja! Bukan terus-terusan mengeluh! Bermalas-malasan setiap hari. Tanah di belakang masih luas. Kenapa bapak tidak mengolahnya menjadi kebun seperti milik Pak Samiun?" Dia mengomel seperti mulutnya memuntahkan puluhan butir peluru.

Aku tertawa hambar. Pak Samiun itu memang gigih dan telaten. Dia sekarang menjadi juragan---juragan kebun tepatnya---yang memiliki berhektar-hektar tanah. Padahal ketika bapakku masih hidup, dia hanya memiliki tanah sekapling..

Baca juga: Siang Ini Prabowo-Sandi Memutihkan Palembang 

"Kau benar, Pak Samiun memang jago mengolah tanahnya menjadi kebun. Tapi tanahnya itu tidak seperti tanah kita. Tanah Pak Samiun subur, sehingga dilempari batu saja bisa berubah tomat," kataku tertawa mengejek. "Kalau tanah kita, heh sekeras batu! Kalaupun aku menanam pohon durian yang sudah berbuah lebat ke tanah brengsek itu, maka dalam hitungan jam dia langsung meranggas dan mati."

"Alah, bapak ini bisanya hanya berkilah! Sudahlah, aku mau membantu menyiangi rumput di sawah Pak Rajab. Makanan sudah kusiapkan. Bertengkar dengan bapak tidak akan habis-habisnya. Tidak menghasilkan duit!" Dia mengambil arit yang diselipkan di dinding rumah. Meraih caping dengan tali kedodoran dan menekankannya ke kepalanya yang bulat. Setelah itu dia pergi tanpa permisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun