Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Harapan

7 Maret 2019   12:35 Diperbarui: 7 Maret 2019   12:49 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak mungkin lagi melewati hari-hari dengan tawa lepas. Semua kejadian serasa menghimpit dada. Tak ada yang menarik. Tak ada kejadian bombastis sekadar membuatku sumringah, misalnya tulisanku dimuat salah satu penerbitan terkenal, juga terbesar di negeri ini. Malas-malasan kuseruput kopi. Aku melongok ke luar dari kamar kontrakan, melalui jendela berkaca nako. Mendung di sana. Sepi. Atau, apakah hanya hatiku yang mendung dan sepi? 

Aku memilih keluar melintasi Jalan Angsoko. Pak Parmin yang biasa membakar sate di samping gerobaknya, belum tiba. Seorang lelaki berjambang,  berdada telanjang saja yang berjongkok di situ. Parlan namanya. Lelaki gila yang sudah empat tahunan ini selalu hadir di Jalan Angsoko setiap remang pagi. Dan aku sering memberikan uang seribuan kepadanya. Atau, setidak-tidaknya makanan. Tapi kali ini pikiranku kusut. Tak ada iba apalagi keinginan berderma. Sorot mata Parlan berharap. Aku  membuang kasihan ke comberan. Kukebut langkah menuju kota. Atau, mungkin ke suatu tempat yang tak bernama.

"Pagi, Harapan!" sapa Ical---seorang guru esde---dari teras rumahnya. "Singgah barang sekejab. Kenapa terburu?" Aku merasa ucapannya basa-basi. Dia mungkin hanya ingin berbincang denganku, sekaligus mengejek. Barangkali saja menceritakan lemari kreditannya yang baru. Atau, istrinya memperoleh gelang emas dari orangtua murid. Sementara aku, wah! Aku tak lebih seonggok sampah tak berarti.

Pengangguran yang hanya mengaisi hidup dengan tangis. Tak lebih! Bahkan air mata yang terbuang setiap saat, tak memiliki arti apa-apa. Tangis istri tak mampu mengatrol semangatku, semisal banting stir menjadi pedagang asongan,  pedagang bakso, dan berbagai pilihan kerja lainnya. Aku tetap saja menulis, meski setiap tulisanku selalu tak bisa menembus penerbit terkenal, juga terbesar di negeri ini. Aku bagai dianaktirikan. Karya-karyaku seolah dicekal.

Kutinggalkan Ical, meski istrinya telah mengapung-apungkan sepinggan gorengan tempe. Wajah Ical kecewa. Dia gagal membangga-banggakan seluruh barang baru di rumahnya. Wajah si istri datar. Mungkin dia senang-senang saja aku tak sudi mampir. Sepinggan gorengan tempe tentu tak usah diganggu-gugat oleh orang seperti aku. Biarlah jatah itu hanya dinikmati mereka berdua, orang-orang berbadan gajah dan doyan makan.

Aku teringat Alisayah, Ambarwati dan Feodalistik. Mereka orang-orang yang mulai, bahkan sudah kaya. Mereka hidup dari menulis seperti aku. Bedanya, menulis memperkaya mereka, sementara aku mendapat sedikit keuntungan, sekadar mengganjal tiga perut agar tak masuk angin. Untung saja istri rela berjibaku, berjualan pulsa di teras rumah kontrakan. Kalau tidak, sudah pasti kami akan menjadi orang yang hanya berharap iba.

Teringat Alisayah, aku berbelok ke Jalan Ramona. Seorang tukang ojek menawarkan jasa. Kukatakan tak perlu. Tungkaiku masih kuat melangkah sejauh apapun. Meski dia mengatakan rumah Alisayah masih dua kilometeran.

Cukup siang ketika aku tiba di depan rumah Alisayah yang besar. Seekor anjing Doberman menggongong. Seorang lelaki sangar mengekori. Dia membuka gerbang yang langsung berbunyi keras menyakitkan telinga. Bisa jadi sudah lama roda penggeraknya tak diminyaki.

"Mau cari siapa, Mas?" Dia bertanya. Kiranya suara lelaki itu tak sesangar wajahnya.

"Saya teman Alisayah! Apakah saya bisa bertemu dia?" Aku berharap-harap cemas. Lelaki itu permisi sebentar ke pos jaga. Dia mengangkat gagang telepon yang menempel di dinding pos jaga itu. Berbicara sebentar, lalu menemuiku dengan tatapan kecewa.

"Belum datang, Mas! Dari kemarin Tuan Alisayah sudah pergi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun