Tiba-tiba orang serupa laron merubung  halaman rumah Kadi. Masing-masing berteriak marah. Mengacung-acungkan senjata.  Kadi duduk berselonjor tanpa gairah di teras. Istri mudanya sang penyanyi dangdut itu, mencoba menolong dengan desah. Siapa tahu semangat Kadi mencuat seperti di atas kasur. Ternyata tetap tak ada gairah di  wajah lelaki berusia senja itu. Seperti rembulan  tersaput awan hitam tebal.
Ruhum menyeruak di antara kerumunan. Matanya menyala. Wajahnya membara. Dia mengguncang-guncang tubuh ayahnya. Tapi tetap saja Kadi seolah berada di dunia lain. Hanya lenguhan sesekali  dia perdengarkan.
"Kapan kemalingan itu terjadi?" Gigi Ruhum bergemeretak. Isah mengatakan kemalingan  itu sekitar dua jam lalu. Persis dia pulang ngedangdut dari kampung tetangga. Mereka kehilangan uang lima puluh juta, juga emas dua ratus gram.
"Bagaimana dengan mobil?" Rahang Ruhum tegang. Kerumunan orang mulai bubar, seorang demi seorang kembali ke urusan masing-masing.
"Maling menggondol satu mobil Pajero," jawab Isah. Ruhum berteriak. Lima orang berwajah centeng datang, tertunduk merasa bersalah. Ruhum membogem mereka. "Jadi centeng kok tak becus kerja. Menyemak saja di rumah ini. Kerjaan cuma makan, minum, merokok, dan turu. Brengsek! Kalau sampai aku berhasil menangkap maling itu, aku buat dia lupa pernah hidup di dunia ini. Jangan pernah kongkalingkong dengan maling itu. Habis kalian!" Dia membopong Kadi ke kamar.
"Bagaimana kalau kita melapor ke polisi?" Isah memberi minum Kadi, seteguk demi seteguk.
"Tak usah! Di mana kutaruh mukaku kalau hanya menyelesaikan masalah sepele ini, harus melapor ke polisi. Aku akan tuntaskan!" ketusnya.
"Kau berjanji akan menangkap maling itu dan mengembalikan hartaku?" Akhirnya Kadi mulai buka suara.
"Apa anakmu ini pernah berbohong, Yah?"
***
Pukul sembilan tepat, warga belum ada yang turun ke sawah atau kebun. Para lelaki berkumpul di lapau, bercerita tentang nasib sial yang menimpa Kadi.