Mohon tunggu...
Reza Nurrohman
Reza Nurrohman Mohon Tunggu... Wiraswasta -

manusia yang terus bertumbuh. tidur dan makan adalah hal yang lebih menyenangkan sebenarnya namun berkerja merupakan kewajiban saya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Ulang Tragedi 1965 dari Mata Tahanan Akar Rumput

25 September 2017   11:55 Diperbarui: 25 September 2017   12:45 1991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://international.sindonews.com

Apabila semua yang terkait dengan PKI dan tragedi 1965 harus dihukum karena tindakan beberapa pimpinan atau elit tingkat pusat dan daerah, maka kita juga harus mendukung pembunuhan massal terhadap semua anggota dan simpatisan partai politik, perusahaan dan komunitas yang dilakukan para pemimpinnya yang melakukan kejahatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak dari mulai narkoba, korupsi sampai kasus kriminal. Namun lihat sekarang setiap institusi entah parpol, perusahaan dan komunitas yang melibatkan anggotanya, mereka mengatakan, 'Oh, itu kan oknum.'Kenapa mereka tidak menggunakan logika yang sama ketika menghantam PKI?

Mengapa sampai ada prinsip menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya? Mengapa penulisan sejarah resmi tidak bicara apa pun tentang pembunuhan dan penangkapan massal ini?Apa sesungguhnya yang ingin disembunyikan? Apakah mereka malu atas pembunuhan yang mereka lakukan? Apakah dalam hati nuraninya sempat terbersit bahwa pembunuhan itu salah? Mengapa selalu menghujat semua yang terkait PKI dan tapol 1965 tanpa pernah menggambarkan kebiadaban yang mereka sendiri lakukan? Kemana logika oknum hilang? Bukankah elit yang terlibat seperti Syam dan Untung sudah dinyatakan bersalah dan dihukum mahmilub?

Coba kritisi mengapa begitu banyak warga sipil harus menjadi korban untuk mengatasi sebuah insiden yang hanya melibatkan beberapa ratus orang saja dan kebanyakan dari mereka adalah tentara? Kenapa pasukan di bawah Soeharto dan para pendukungnya di kalangan sipil harus menghantam ratusan ribu orang yang tidak punya hubungan apa pun dengan G-30-S? Gerakan itu hanya bertahan selama sehari di Jakarta dan beberapa hari di Jawa Tengah, sesudahnya dengan cepat dihentikan. Lalu, mengapa orang di Jawa Timur, Bali, dan Sumatera juga ikut dibunuh dengan tuduhan terlibat G-30-S? Mengapa pembunuhan itu terus berlangsung selama berbulan-bulan, lama setelah G-30-S berakhir dan para pelakunya sudah ditangkap? Kenapa ratusan ribu orang perlu dibunuh sebagai pembalasan atas tewasnya sepuluh perwira militer (delapan di Jakarta dan dua di Jawa Tengah)?

Sejarah resmi menyatakan G-30-S adalah ledakan kekacauan dan subversi yang kemudian berhasil ditangani dengan baik oleh Mayjen Suharto. Proses penggebukan terhadap G-30-S digambarkan sebagai tindakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Dan memang, sejak Oktober 1965, Suharto diangkat menjadi pimpinan Kopkamtib: Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Jika kita melihat relief pada Monumen Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, jelas terlihat Suharto berperan sebagai penyelamat bangsa dari kekacauan total. Penjelasan umum mengatakan bahwa Suharto muncul sebagai penguasa untuk mengatasi G-30-S. Bukan hanya pemerintahan Suharto yang menyampaikan versi sejarah seperti ini. Mereka yang disebut 'Angkatan 66' pun -- anggota-anggotanya menempati posisi-posisi berpengaruh di Indonesia sampai saat ini: pemimpin media, direktur pusat kesenian, pengajar perguruan tinggi, pengacara dengan bayaran mahal, pemimpin lembaga penelitian, dan seterusnya -- berbicara mengenai kemunculan Suharto ke kekuasaan sebagai saat-saat kemenangan. Mereka mengatakan bahwa PKI itu jahat, dan Sukarno adalah tiran yang membiarkan PKI tumbuh besar. Mereka melihat Soeharto yang menindas G-30-S dan PKI sebagai sang pembebas. Menurut versi sejarah ini, Suharto baru belakangan menjadi diktator: kelahiran Orde Baru sendiri sungguh murni dan indah.

Setelah Suharto mengundurkan diri barulah pada berani mengkritik orde baru pada masa tragedi 1965, kejadian-kejadian itu sebenarnya penuh kontroversi. Ironis banyak loyalis Suharto dan kaum menengah Indonesia yang pragmatis kemudian berbalik arah mendukung orde reformasi dan ramai menjelekan orde baru. Laporan di media massa pun mulai mempertanyakan versi sejarah yang dibuat pemerintah. Semakin saya pikirkan rangkaian peristiwa itu, semakin terasa tidak masuk akal versi pemerintah. Pertama, sejarah resmi dan media massa Orde Baru tidak pernah menggambarkan secara jelas bagaimana sesungguhnya PKI 'dihancurkan'. Semuanya hanya menyebut tentang serdadu dan orang sipil yang 'menghancurkan' PKI. Tapi apa arti istilah itu, tidak pernah ada penjelasan. Baru kemudian saya tahu bahwa ratusan ribu orang dibunuh dan ratusan ribu lainnya disekap di penjara selama bertahun-tahun, dalam rangka menumpas G-30-S.

Coba tanya kepada para tahanan yang bukan elit dan hanya anggota biasa ataupun simpatisan, pertama-tama kita harus berbicara dengan mereka yang menjadi korbannya. Selama Orde Baru, cerita-cerita mereka tidak mungkin ditampilkan. Sebaliknya, kita terus-menerus mendengar para pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh sipil lainnya berbicara tentang kekejaman PKI, bahkan sampai membuat orang berpikir bahwa apa pun yang dikatakan seorang 'PKI' itu tidak ada artinya, atau malah berbahaya. Sekalipun penguasa lewat sejarah resminya secara sistematis selalu berusaha mengingkari apa yang pernah terjadi, tetapi penguasa lupa bahwa tidak selamanya mereka dapat membendung suara-suara korban. Suara korban akan tetap menggema sekalipun dihimpit oleh berbagai macam kebijakan yang berusaha membungkam dan memenjarakannya.

Saya yakin semua eks-tapol masih memendam kebingungan tentang alasan penangkapan mereka. Namun, pada saat itu siapa yang berani bertanya kepada para penguasa: 'Kenapa saya ditangkap? Apa alasan saya ditangkap?' Istilah pembelaan tidak pernah dilekatkan pada diri tapol. Sedangkan menjawab secara jujur pertanyaan yang  diajukan pemeriksa saja, nyawa bisa melayang. Siapa pun orangnya, atau apa pun kekuatan yang ia miliki, ketika telah dinyatakan sebagai anggota atau simpatisan PKI, ia tidak akan mampu menganulir tuduhan tersebut. Jangan dibayangkan bahwa setelah ditunjuk kemudian dilakukan pengecekan ulang untuk membuktikan benar-tidaknya orang tersebut anggota atau simpatisan PKI. Pada saat itu, ujung jari telunjuk sangat menentukan nasib seseorang. Begitu ujung jari telunjuk orang mengarah kepada kita dan mengatakan bahwa kita adalah PKI, serta-merta massa akan mengejar, menangkap, meperkosa, menjarah harta benda termasuk tanah dan bangunan bahkan membunuh, tanpa memberi ruang untuk menjelaskan siapa kita sebenarnya, apalagi membela diri.

Apa yang dialami tapol-tapol akar rumput menjelaskan pada kita bahwa banyak penangkapan yang memang tidak didasari alasan yang logis dan sama sekali tak bersangkut-paut dengan peristiwa G-30-S. Setiap orang dapat mengadukan orang lain terlibat dalam peristiwa G-30-S, dan setiap orang dapat diajukan sebagai orang yang terlibat dalam peristiwa G-30-S. Jika diberi ilustrasi mungkin seperti ini: ibaratnya kita ada dalam sebuah barisan orang yang berdiri rapi, kemudian seseorang yang berdiri di depan barisan melempar bola sambil teriak, 'Yang kena bola ini berarti PKI!' Siapa pun dalam barisan pasti berpeluang terkena bola. Jika sudah terkena tuduhan, tidak seorang pun kuasa menolak, dan tidak seorang pun mau dan mampu memberikan pertolongan, karena mereka tidak berani menanggung risiko tercemar noda yang sama.

Apakah kita konsisten menggunakan asas praduga tak bersalah? Apakah kita mau main hakim sendiri? Coba bayangkan seandainya setiap pemilu masyarakat Indonesia datanya direkam memilih partai apa dan ketika ada salah satu dari partai itu atau oknum melakukan kesalahan besar katakanlah korupsi maka semua unsur partai dari mulai elit pimpinan, anggota sampai simpatisan pemilih diamankan dalam penjara hartanya dijarah kalau perlu dibunuh dan diperkosa serta jarah harta bedanya karena menodai hajat hidup orang banyak. Hal ini berlaku pula untuk identitas Suku, Agama dan Ras. Bayangkan mau gak diperlakukan seperti itu?

Nb. tulisan ini saya persembahkan untuk mereka yang mengkritik saya dengan keras bahkan cenderung mengancam keselamatan saya karena menulis soal tragedi 1965 untuk jadikan bahan renungan bersama. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun