Mohon tunggu...
Fahruddin Fitriya
Fahruddin Fitriya Mohon Tunggu... Jurnalis - Redaktur

Kita akan belajar lebih banyak mengenai sebuah jalan dengan menempuhnya, daripada dengan mempelajari semua peta yang ada di dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penduduk Lokal dan Warga Pendatang

18 Oktober 2012   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:42 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1350562236851382641

Indonesia Milik Siapa (Bag.I)

Sungguh ironis, jika masih ada yang menggunakan gelar “penduduk lokal” dan “warga pendatang” pada jaman dimana mobilitas masyarakat sudah mampu melampaui batas ruang dan waktu.

*** Sepertinya sebutan penduduk lokal dan warga pendatang itu hanyalah gelar yang kurang obyektif. kenapa? karena terkesan penduduk lokal harus dilindungi dan layak sukses. Sementara, warga pendatang diberikan aturan yang lebih ketat, karena warga pendatang dituntut harus menghargai penduduk lokal dan kesuksesannya harus membawa kemakmuran bagi penduduk lokal.

Jika bicara tentang sejarah manusia, siapakah warga pendatang dan siapakah penduduk lokal adalah sangat bias. Apakah pakai pendekatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)? Suku tertentu? Agama tertentu? Atau strata ekonomi tertentu?

Sudah saatnya label penduduk lokal dan warga pendatang tidak lagi digunakan untuk jaman dimana pencampuran antar manusia sudah melintasi batas ruang dan waktu. Yang perlu dibatasi dan ditegakkan adalah obyektifitas peraturan yang berlaku untuk siapapun dan kapanpun tetap konsisten.

Mari belajar dari hikmah hijrah (merantau), dimana biasanya orang-orang yang berani merantau adalah mereka yang punya keberanian lebih dan daya tahan tinggi terhadap goncangan dari mana pun. Maka tidaklah heran apabila para perantau dimanapun, biasanya cenderung lebih mau berjuang dan cenderung lebih sukses dari penduduk lokal.

Makanya, orang yang dikelilingi oleh fasilitas keberadaan, biasanya cenderung malas. Sementara orang yang dihinggapi ke-tiada-an akan cenderung meradang dan bertahan sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi, sekali lagi ini adalah sebuah kecenderungan, bukan kesimpulan 100% untuk dijadikan generalisasi.

Kenapa saya tertarik mencermati fenomena sosial semacam ini, tak lain tak bukan karena kasus serupa juga dapat dan telah terjadi di mana saja, tak terkecuali di pulau Kalimantan dan seluruh pelosok Nusantara, bahkan seluruh dunia. Yang namanya penduduk lokal juga amat relatif. Orang yang telah lama berdiam di suatu daerah akan merasa sebagai penduduk lokal, karena telah hafal dengan sekelilingnya. Walau mereka juga “pendatang”, tetapi karena mereka sudah lama, adanya “pendatang” yang baru dalam jumlah yang banyak dan cepat, dapat membuat pendatang lama yang telah menjadi “penduduk lokal” merasa gerah, dan tidak nyaman. Walau semuanya warga negara Indonesia. (Fahruddin Fitriya)

Never you on behalf of local residents to suppress other people, we are one "Indonesia".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun