Mohon tunggu...
Reni Soengkunie
Reni Soengkunie Mohon Tunggu... Freelancer - Tukang baca buku. Tukang nonton film. Tukang review

Instagram/Twitter @Renisoengkunie Email: reni.soengkunie@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Buku "Setan Van Oyot": Roman Picisan Tanpa Nuansa Horor

20 November 2019   18:25 Diperbarui: 20 November 2019   18:52 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekecewaan yang dirasakan Thijs karena merasa gagal membahagiakan ibunya, ternyata membawa dirinya bertemu dengan Tatit Ing Nio. Seorang gadis cantik keturunan Tionghoa yang nantinya akan mewarisi Giethoorn, perkebunan cokelat. Ia sosok gadis yang cerdas, berpendidikan, ulet, dan mandiri. Karena saking mandirinya, Babah Emas, engkongnya, merasa takut bahwa akan sulit menemukan lelaki yang cocok untuk cucunya itu.

Ada banyak kejadian lucu yang terjadi di perkebunan itu. Sebuah guyonan khas ala-ala Srimulat. Saya masih ingat cerita ketika orang perkebunan menawari makan Thijs. Dia menyuruh Thijs untuk memakan jangan (bahasa Jawanya sayur). Tijs yang masih baru belajar bahasa Melayu, memaknai kata 'jangan' itu sebagai bentuk larangan. Akhirnya si bule Belanda itu hanya makan sambal hingga dia diare tak berkesudahan. Sebuah gegar budaya yang cukup lucu.

Di lain pihak, pada saat itu  pemerintah Kolonial Belanda tengah merasakan gonjang-ganjing kekuasaan. Mereka merasa was-was karena Jepang menang akan Rusia. Gerakan Jepang di Asia lumayan cukup cepat, menempatkan beberapa informan ke seluruh penjuru. Selain itu terjadi pemberontakan serta banyak buruh yang melalukan aksi mogok di beberapa kota di Jawa. Nantinya akan muncul juga seorang partikelir misterius yang sempat membuat saya bertanya-tanya, untuk apa si Pak dhe ini jauh-jauh datang dari Batavia ke Wlingi? Siapa dia dan apa tujuannya?

Dalam novel ini kita juga akan disuguhi cerita keserakahan atau tindak korupsi dari tokoh yang benmana Ndoro Sinder. Dia merupakan sinder di pabrik gula yang memiliki tabiat sebagai seorang penguasa yang serakah, culas, dan licik. 

Secara kebetulan dipasangkan dengan seorang istri yang sangat suka berjudi. Meski kesannya dua orang ini menyebalkan, namun ulah keduanya ini tak urung membuat saya geli sendiri. Sungguh pasangan yang konyol.

 Enam bulan lagi merupakan perayaan ulang tahun Ratu Belanda yang akan dilakukan di Wlingi, tepatnya di belakang Kamar Bola. Ndoro Sinderlah yang bertugas sebagai panitia penyelenggara acara akbar tersebut. Lalu muncullah sebuah masalah baru. Ada pohon beringin besar di belakang Kamar Bola. Menurut ceritanya biji pohon beringin itu dibawa dari letusan Gunung Kelud. Kini pohon tersebut telah tumbuh besar dan akarnya begitu rimbun menutup hampir segala sisi pohon. Makanya orang-orang menjuluki pohon tersebut dengan sebutan Kyai Oyot-Oyot.


Masyarakat percaya bahwa pohon yang dijaga oleh Mbah Benjol tersebut begitu keramat. Apa pun hajat yang dipinta, seperti jodoh, rezeki, anak, jabatan, dan lain-lain akan terkabul. Banyak orang yang pergi ke sana untuk menaruh bunga atau sesaji. Kalau dibikin guyonan, katanya pohon beringin itu tak berbunga makanya mereka datang untuk membawakan bunga ke pohon tersebut.

Berbeda dengan masyarakat yang masih percaya dengan hal-hal yang berbau mistis, Pemerintah Kolonial Belanda seolah tidak percaya dengan hantu Oyot. Bagi mereka itu hanya sebatas pohon besar yang mempersempit lahan di area Kamar Bola. Makanya berbagai cara dilakukan untuk menghilangkan Kyai Oyot tersebut. Apakah mudah untuk menebang Kyai Oyot? Tentu saja tidak mudah, Pada akhirnya mereka memutuskan untuk meminta bantuan pada orang perkebuanan.

Walau kesannya hampir seperti cerita di sinetron, tapi bisa dibilang nantinya semua tokoh di cerita ini akan memiliki sebuah hubungan yang saling berkesinambungan satu sama lain. 

Bagi saya yang merupakan orang Jawa asli, tentu tak masalah dengan beberapa percakapan serta guyonan yang menggunakan bahasa Jawa. Bisa jadi pembaca yang bukan orang Jawa tentu akan mengalami kesulitan memahami percakapan tersebut. Mungkin sama seperti saya yang tak paham sedikitpun dengan percakapan yang dilakukan antara Tokid dan Tosin yang menggunakan bahasa Madura.

Meski di dalam covernya bertuliskan sebuah roman picisan, namun saya merasa ini bukan merupakan sebuah roman picisan sederhana. Cerita ini dibawakan dengan gaya bahasa yang ringan, jenaka, dan sederhana. Ada banyak teka-teki yang disodorkan oleh penulis untuk diselesaikan sendiri oleh pembaca. Sungguh, melihat ending dari cerita ini membuat saya geleng-geleng kepala. Sebuah ending yang sungguh di luar perkiraan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun