Mohon tunggu...
Rionanda Dhamma Putra
Rionanda Dhamma Putra Mohon Tunggu... Penulis - Ingin tahu banyak hal.

Seorang pembelajar yang ingin tahu Website: https://rdp168.video.blog/ Qureta: https://www.qureta.com/profile/RDP Instagram: @rionandadhamma

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak Karbon, Inovasi Solusi Atasi Polusi

3 Juni 2019   08:54 Diperbarui: 3 Juni 2019   09:05 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dailytexanonline.com

Bagian Kedua: Si Senjata Pamungkas                              

Pada bagian pertama tulisan ini, kita sudah membahas urgensi pajak karbon untuk mengatasi masalah polusi. Sekarang, mari kita kupas tuntas berbagai aspek dari pajak karbon ini. Penulis akan mengupasnya dengan menjawab pertanyaan yang sudah diajukan di tulisan sebelumnya. 

Apa itu pajak karbon? Pajak karbon adalah sebuah market-based policy yang mengenakan pajak terhadap emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil (Parry dan Wingender dalam blogs.imf.org, 2016). Dengan adanya pajak ini, maka emisi karbon menjadi objek pajak. 

Selanjutnya, seluruh pelaku ekonomi (individu, korporasi, UMKM, dan lain sebagainya) menjadi subjek pajak. Mengapa? Sebab kita semua pasti menghasilkan emisi karbon dalam kegiatan kita. 

Prinsipnya, pajak ini memberikan harga/biaya bagi emisi karbon dalam perekonomian. Adanya pajak ini mengubah cara pemerintah dalam mengatasi masalah emisi karbon. 


Pemerintah tidak lagi berperan sebagai legal enforcer bagi value chain untuk mengurangi emisi karbon. Kini, pemerintah hanya membuat produksi jejak karbon tidak lagi gratis bagi value chain. 

"It will be no longer free to pollute," tandas Perdana Menteri Trudeau ketika meluncurkan pajak karbon di Kanada. Poin inilah yang menjadi alasan utama mengapa kita memerlukannya. Ketika emisi karbon menjadi berbayar, pelaku ekonomi pasti memiliki insentif untuk menguranginya.  

Lantas, bagaimana cara pajak ini bekerja dan memunculkan insentif tersebut? 

Semakin banyak karbon yang dihasilkan, semakin tinggi pajak yang harus dibayar. Bagi produsen dan distributor, efek ini mendorong beban pajak bagi kegiatan dengan emisi karbon tinggi. 

Mau tidak mau, mereka harus memindahkan beban tersebut pada konsumen. Sehingga, konsumen akan menerima kenaikan harga untuk membeli produk yang carbon-excessive.  

Dalam jangka panjang, konsumen pasti enggan membeli produk dengan emisi karbon tinggi. Lebih mahal soalnya, kan? Selanjutnya, distributor memiliki insentif untuk melakukan metode distribusi yang ramah lingkungan. 

Produsen juga memiliki insentif untuk memotong emisi karbon dalam proses produksinnya. Akhirnya, seluruh value chain terdorong untuk mengurangi emisi karbon dalam kegiatan ekonomi. 

Dibandingkan dengan membuat regulasi baru, pajak karbon tidak menimbulkan pasar gelap, lebih mudah diawasi, dan memberikan net gain bagi pemerintah maupun value chain. Mengapa demikian? 

Untuk menggambarkannya, mari kita umpamakan karbon sebagai daging ayam. Jika pemerintah membuat regulasi baru untuk membatasi konsumsi daging ayam, regulasi itu pasti gagal. Mengapa? Pertama, pemerintah tidak akan mampu mengawasi seluruh aktivitas konsumsi daging ayam di masyarakat. Kedua, pasar gelap (black market) daging ayam pasti muncul dalam perekonomian. 

Lihat saja Berlin pasca Perang Dunia Kedua. Pasar gelap marak bermunculan karena pembatasan konsumsi (rationing) dan pengendalian harga (price controls) dari Otoritas Sekutu. Penduduk menggunakan rokok Amerika dan Cognac sebagai alat tukar. Mereka melakukannya untuk mendapatkan barang-barang yang sulit didapatkan di pasar resmi. 

Ketiga, regulasi ini pasti membutuhkan corrective action yang inefisien untuk mengatasi dua kegagalan sebelumnya. Pemerintah perlu mengadakan pengawasan tambahan di pasar daging ayam, yang pastinya perlu biaya. Biaya itu tidak ditanggung oleh pemerintah; Kita sebagai pembayar pajak yang menanggungnya. 

Hal yang sama juga terjadi pada karbon. Regulasi pembatasan emisi karbon sama saja dengan menciptakan pasar gelap dan pengawasan tambahan. Pada akhirnya, pemerintah merugi karena belanja publik yang meningkat. Kita juga merugi karena harus membayar peningkatan tersebut. 

Mari kita bandingkan dengan penerapan pajak karbon. Dengan menelurkan kebijakan ini, pemerintah mengirimkan sebuah sinyal yang jelas pada sektor privat; We are not fiddling with your business. 

Tetapi, pemerintah akan memengaruhi pengambilan keputusan ekonomi mereka, dengan mengenakan pajak bagi emisi karbon sebagai eksternalitas negatif. 

Sehingga, implementasi pajak karbon tidak akan menimbulkan pasar gelap. Mengapa? Emisi karbon tidak dibatasi melalui legal enforcement. Value chain dibebaskan untuk mengeluarkan emisi karbon sesukanya. Tetapi, mereka harus siap untuk menanggung pajak yang lebih tinggi, dan membuat output mereka menjadi kurang kompetitif. 

Selain itu, pajak karbon juga lebih mudah untuk diawasi. Instrumen ini memiliki indikator dan mekanisme pengawasan yang jauh lebih jelas. Indikator yang digunakan adalah emisi karbon yang dihasilkan oleh operasional suatu unit ekonomi. Sementara, mekanisme pengawasannya sama seperti pajak tidak langsung lainnya, yang menggunakan sistem self-assessment. 

Setelahnya, pajak karbon juga memberikan sumber pemasukan baru bagi pemerintah. Pemasukan baru ini bisa digunakan untuk membiayai pemotongan pajak penghasilan pribadi/badan, atau pemberian tax credit bagi penggunaan energi terbarukan. Sehingga, pajak karbon memiliki efek revenue-neutral bagi perekonomian. 

Sehingga, value chain pun menerima net gain dari penetapan pajak ini. Baik dalam bentuk udara yang lebih bersih, insentif pajak bagi penggunaan energi terbarukan, maupun dividen bagi seluruh warga negara. 

Terakhir, kapan Indonesia bisa menerapkannya? Kita dapat memulai penerapan pajak ini dari sekarang. Tetapi, ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi untuk menerapkannya. Apa saja syarat-syarat tersebut? 

Pertama, institusi pemerintahan kita harus memiliki keyakinan dan keberanian yang kuat untuk berinovasi mengatasi polusi. Before they implement it, they must believe in it. Tanpa kepercayaan itu, pemerintah tidak akan mampu memberikan sinyal yang jelas terhadap value chain secara keseluruhan. 

Kedua, segenap elemen dari value chain harus menyadari bahwa pajak karbon adalah cara terbaik untuk mengatasi polusi. Mengapa? Ia hanya dihadapkan pada dua pilihan utama. Memilih dipaksa untuk mengurangi emisi karbon melalui regulasi, atau membayar pajak karbon untuk emisi karbon yang dikeluarkan? 

Dalam jangka pendek, value chain pasti tidak senang dengan pengenaan pajak baru. Tetapi, cara ini jauh lebih efektif dan less interventionist dibandingkan penambahan regulasi baru. Melalui pajak karbon, value chain didorong untuk belajar mengurangi jejak karbon dari kegiatannya.  

Ketiga, masyarakat harus menyadari betapa pentingnya upaya memotong jejak karbon untuk mengatasi masalah polusi. Tanpa upaya ini, kualitas hidup masyarakat akan menurun dalam jangka panjang. Diperlukan upaya yang dilakukan bersama-sama oleh segenap elemen masyarakat untuk mengatasinya. Pajak karbon menjamin pelaksanaan upaya bersama itu. 

Dengan kata lain, pajak karbon menjamin semua elemen masyarakat bergotong royong untuk mengatasi masalah polusi. Sebuah wujud nyata keteraturan spontan dalam masyarakat kita. 

Maka dari itu, mari jadikan pajak karbon bagian dari kebijakan publik kita. Kalau bukan kita yang berinovasi mengatasi polusi, siapa lagi? 

SUMBER 

www.youtube.com Diakses pada 2 Juni 2019. 

www.youtube.com Diakses pada 2 Juni 2019. 

blogs.imf.org Diakses pada 2 Juni 2019. 

www.carbontax.org Diakses pada 2 Juni 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun