Mohon tunggu...
Rauf Adipati
Rauf Adipati Mohon Tunggu... -

Pekerja biasa, penggemar beladiri dan sepak bola, bapak dua anak.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Loyalitas Pemain Profesional, Masih Relevan?

8 Agustus 2017   00:06 Diperbarui: 9 Agustus 2017   09:37 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trofi Liga Champions, salah satu gelar yang dapat menggoyang loyalitas pesepak bola (www.goal.com)

Setiap pertengahan dan akhir tahun, para pecandu sepak bola Eropa disibukkan dengan mengamati aktivitas klub-klub pujaannya (dan mungkin juga klub rivalnya) di bursa transfer. Sebagian bersorak karena klub kesayangan berhasil mendatangkan pemain yang diincar, sebagian lagi bersedih karena pemain idola justru meninggalkan klub kebanggaan.

Pada sepak bola profesional, kedatangan dan kepergian para pemain merupakan hal biasa. Kehadiran seorang pemain di suatu klub memang dipengaruhi banyak hal, dari agen, pelatih, rekan-rekan setim, sponsor, dan pada beberapa kasus orang-orang terdekat pun dapat menjadi penentu apakah sang pemain sebaiknya bertahan atau hengkang dari satu klub.

Dalam situasi seperti ini, masih adakah loyalitas bagi seorang pemain? Dunia mengenal sosok-sosok setia seperti Tony Adams (Arsenal), Paolo Maldini (AC Milan), Steven Gerrard (Liverpool), atau Pangeran Roma yang baru pensiun Francesco Totti. Daftar ini bisa cukup panjang jika rentang waktu dan wilayahnya diperluas, namun mereka merupakan sebagian nama yang dianggap memiliki loyalitas tanpa batas.

Maka pertanyaan di atas dapat dijawab bahwa loyalitas masih ada bagi sejumlah pemain yang beruntung. Mengapa disebut beruntung, karena kondisi mereka sesuai dengan apa yang diberikan oleh klub. Sebagian lagi mungkin juga ingin menjadi sosok yang loyal untuk klubnya, namun lagi-lagi sangat banyak faktor yang menentukan kehadiran maupun betahnya seorang pemain di klub.

Sedangkan jika pertanyaannya masih perlukah loyalitas, maka karena ini menyangkut pemain - bukan suporter - saya menyimpulkan bahwa hal itu tidak diperlukan lagi.

Pesepak bola profesional (dan atlet-atlet pada umumnya) adalah pekerjaan dengan masa aktif yang sangat singkat. Pemain yang sudah menginjak usia 30 tahun kerap dicap sudah tua atau dijuluki veteran, kemudian umumnya pada usia 35-36 tahun mereka akan pensiun, meski ada juga yang baru pensiun saat berusia 40 tahun seperti Totti.

Dari masa aktif yang sangat singkat itu, ada banyak hal yang ingin dicapai. Selain uang, para pesepak bola papan atas juga memasukkan gelar/trofi, penghargaan individu, pengakuan dari masyarakat dan dunia luas menjadi faktor-faktor yang ingin dikejar sebelum gantung sepatu.

Memang tidak ada yang dapat memastikan apakah kepindahan seorang pemain ke klub barunya akan mendatangkan manfaat atau justru menjadi musibah baginya. Para penggemar Liverpool misalnya, mungkin bersuka cita saat The Reds mendapatkan Andy Carroll dari Newcastle United untuk menggantikan Fernando Torres yang hengkang ke Chelsea pada 2011. Apa daya, pemain jangkung ini gagal bersinar selama dua tahun berseragam Liverpool dan kemudian harus dilego ke West Ham United (di mana ia justru mampu mengembalikan performa terbaiknya).

Sedangkan bertahan pun terkadang menjadi pilihan yang belum tentu berdampak positif secara pribadi. Gerrard sang maskot Liverpool, bertahan selama 17 tahun berkostum Liverpool. Meski sempat diminati Chelsea, ia memilih setia untuk klub masa kecilnya itu. Hasilnya? Stevie G sama sekali belum pernah mencium trofi Liga Inggris. Ia memang pernah mengangkat trofi Liga Champions, Piala FA, dan Piala UEFA. Tapi 0 besar untuk Liga Inggris.

Perihal bertahan, Iker Casillas memiliki kisah yang tidak lebih menyedihkan. Ia mencintai Real Madrid sebagai klub yang telah membesarkannya sejak masih menjadi pemain muda, klub yang dibawanya meraih berbagai gelar dan trofi prestisius, klub yang ingin diperkuatnya sampai gantung sarung tangan.

Namun apa yang terjadi? Dimulai dari perseteruannya dengan pelatih Madrid saat itu Jose Mourinho, yang kemudian diperburuk karena dirinya bukan merupakan salah satu pemain kesayangan presiden Florentino Perez, Saint Iker perlahan-lahan ditepikan, sampai kemudian puncaknya adalah ia didepak dari klub ibukota itu untuk kemudian berlabuh ke Porto. Yah, perihal menghargai para pemainnya, Madrid memang memiliki rekor buruk, masih ingat Raul Gonzales dan Fernando Hierro kan?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun