Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militerphobia Dalam Reformasi dan Reformasi dalam Bayang-bayang Reformaphobia

6 Juni 2013   18:33 Diperbarui: 2 Oktober 2015   01:30 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pasca tumbangnya era orde baru, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mengalami perubahan politik secara signifikan. Perubahan itu berpengaruh sangat kuat dan meluas dalam setiap lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan pun juga ikut berubah.

 

Sebelumnya, antara kurun waktu 1966 – 1998 (era orde baru) NKRI memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang cenderung tepusat pada kepala negara (presiden). Sementara itu MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang secara konstitusional memiliki wewenang di atas presiden seperti kehilangan wewenangnya, tenggelam di bawah legitimasi presiden. Pada waktu itu otoritas militer sangat besar. Pengadaan persenjataan dan pelatihan personel militer sangat intensif. Dunia intelijen pun mendapat tempat sangat strategis dalam seluruh kegiatan negara, baik itu pada tingkat intelijen strategis(*) maupun intelijen taktis(**). Besarnya otoritas yang diberikan oleh pemerintah orde baru kepada pihak militer dan intelijen mengakibatkan terjadinya ekskalasi karena kegiatan operasionalnya sering menggunakan metode represif. Kenyataan ini menyebabkan depresi massal atas eksistensi militer, sehingga menciptakan sebuah gejala militerphobia secara gradual.

 

Medio 1998, era diktator orde baru tumbang, kemudian era reformasi yang kala itu digulirkan oleh Abdurrahman Wahid datang. Pada saat itulah rakyat NKRI bagaikan burung dalam sangkar dan katak dalam tempurung yang tiba-tiba dilepaskan, kemudian dihadapkan pada realita dunia luar dan probabilitas kehidupan yang jauh melampaui segala daya imajinasi selama ini. Pada kelanjutannya, era reformasi diharapkan akan membawa angin perubahan demokrasi ke arah yang lebih baik. Rakyat NKRI pun terhipnotis oleh harapan akan kebebasan luas yang terbentang pada penampakan iklim reformasi.

 

Ironisnya, rakyat NKRI sendiri sebenarnya belum terkondisi secara mental dan pemikiran untuk menghadapi iklim reformasi yang serba transparan. Sebuah iklim yang menuntut rakyatnya untuk berpikir dan bertindak cepat dalam menyikapi dan menerima segala bentuk dinamika serta paradigma-paradigma baru yang mulai tumbuh dalam dunia politik dan pemerintahan. Selama ini rakyat telah terkondisi dengan sistem pemerintahan diktator yang membelenggu pemikiran rakyat serta telah menancapkan budaya pemikiran tertutup yang amat kuat. Realita selama lebih dari tiga dekade ini tentu saja berlawanan dengan budaya pemikiran reformis yang serba transparan. Akibatnya, rakyat mengalami political culture shock.

 

Selama 32 tahun, rakyat NKRI sudah terkondisi mengenal satu macam politik terpusat dengan iklim pemerintahan berbudaya otoriter disertai oleh kegiatan operasional militer – intelijen yang sangat intensif, meliputi kegiatan penetrasi ke seluruh wilayah NKRI dari pusat sampai daerah, mencakup semua kalangan mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah, serta menembus batas-batas suku dan agama demi satu tujuan, yaitu tetap langgengnya pemerintahan otoriter berbasis militer. Semuanya telah dikontrol dan diatur. Rakyat harus patuh. Pada akhirnya, rakyat terbiasa dengan ketakutan kepada pemerintah dan akrab dengan intimidasi terselubung yang tersentral dari pemerintahan berbasis militer. Yang lebih parah, rakyat sudah terlanjur terbudaya dalam ketidakberanian bersuara dan mengemukakan pendapat, takut untuk mengekspresikan ide dan kreativitas, serta terkondisi untuk mengekang segala kemampuan diri akibat berbagai bentuk propaganda brilian militer dan intelijen NKRI pada saat itu.

 

Sebuah contoh nyata dari merasuknya budaya keterbelengguan ini adalah pada sistem pendidikan  di NKRI. Pada masa itu, siswa-siswa di NKRI cenderung takut menyuarakan pendapat dan takut kepada hukuman yang diberikan oleh guru di sekolah akibat tidak mengerjakan PR. Mereka takut mengeluarkan kemampuan optimalnya. Mereka pun selalu mengikuti apapun yang diberikan dan diucapkan oleh guru. Secara tersirat, bangku sekolah pada era orde baru dipergunakan sebagai alat propaganda politik untuk mendidik generasi muda agar tunduk pada iklim politik otoriter serta takut pada militer dan penguasa.  Metode ini diharapkan mampu mencetak  generasi penerus yang berkarakter sesuai dengan keinginan pemerintah pada saat itu.

 

Propaganda dalam dunia pendidikan tersebut secara halus menyiratkan pembelajaran, bahwa rakyat tidak boleh menyuarakan pendapat atau ide, karena jika keliru dapat dihukum oleh pemerintah. Siapapun rakyat yang tidak menurut akan dihukum, karena pemerintah adalah yang paling benar dan tidak boleh dibantah. Hal tersebut secara tidak langsung telah menciptakan generasi muda intelek yang sebenarnya mampu dan brilian, tetapi takut berekspresi, menjadi tidak kreatif, tidak memiliki keberanian yang cukup untuk menyuarakan aspirasi, tidak mandiri, dan membeo kepada yang lebih tinggi karena takut. Orde baru telah menciptakan cetak biru yang sangat rawan dan berbahaya bagi pola pemikiran generasi muda.

 

Iklim otoriter dan tertutup telah membuat rakyat NKRI sulit menerima paradigma baru, apalagi yang langsung berhadapan dengan diri mereka sendiri. Ini menyebabkan rakyat tidak tahu bagaimana harus menyikapi perubahan drastis dan dinamis yang datang secara tiba-tiba pada era reformasi. Akibatnya, banyak rakyat dan elite politik salah kaprah dalam menyikapi bagaimana seharusnya menjalani era reformasi ini secara proporsional akibat dari adanya political culture shock. Keadaan ini ditunjang dengan masih belum tuntasnya persoalan lama masa orde baru, yaitu disharmoni antara sipil – militer yang telah menciptakan sebuah budaya depresi bawah sadar yang tidak disadari oleh rakyat, namun sangat luas dampaknya.

 

Rakyat kehilangan pegangan dan pandangan hidup bernegara. Sistem religi dan struktur sosial sudah tidak mampu lagi mengcover dampak pergantian iklim politik, sehingga kondisi menjadi begitu dekonstruktif bagi rakyat. Mereka kehilangan sikap sopan santun, ramah tamah, budaya musyawarah mufakat, sikap semeleh dan sabar yang selama ini menjadi ciri kepribadian rakyat NKRI. Sebagai gantinya, mulai tumbuh sikap hedonis, budaya temperamental massal, mengedepankan eksistensi individu, mencari pembenaran pribadi, serta segala bentuk budaya yang berorientasi individualistik.

 

Dampak lebih jauh dari political culture shock ini membawa berbagai pengaruh dekonstruktif yang amat luas dalam segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat yang sudah kehilangan pegangan dan pandangan hidup bernegara, serta kontrol politik yang sudah terbudaya, tiba-tiba dihadapkan pada realita ketimpangan demokrasi yang sebelumnya tidak mereka ketahui dan dipaksa memiliki kontrol pribadi yang kuat karena langsung dihadapkan pada era keterbukaan dan kebebasan. Perubahan cepat dan tak terduga inilah yang menyebabkan depresi kolektif bawah sadar yang menular dari elite politik sampai kepada rakyat banyak.

 

Persoalan krusial antara sipil – militer di masa lalu yang belum terselesaikan juga menambah panjang deret penyebab militerphobia rakyat di NKRI. Lebih jauh lagi, gejala-gejala militerphobia juga telah mengakibatkan trauma massal pasca militer. Rakyat dan sebagian elite politik ketakutan terhadap eksistensi militer, sehingga mereka berasumsi bahwa segala hal yang berbau militer harus disingkirkan dari kekuasaan politik. Ini melahirkan pandangan politik baru di NKRI, bahwa golongan militer hendaknya tidak diikutsertakan dalam panggung perpolitikan negara. Padahal, secara hakikat; politik, militer, dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Ketiganya adalah tritunggal. Tanpa salah satunya, sebuah negara akan seperti macan tak bergigi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun