Mohon tunggu...
Rahma Roshadi
Rahma Roshadi Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer Bahagia

Penikmat tulisan dan wangi buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pembinaan Narapidana Menuju Revitalisasi Pemasyarakatan

27 April 2019   05:36 Diperbarui: 27 April 2019   05:54 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Memasuki peringatan hari Bakti Pemasyarakatan yang ke-55 pada tanggal 27 April 2019, beberapa media mengabarkan agenda percepatan rencana revitalisasi penyelenggaraan pemasyarakatan di Indonesia. 

Percepatan pelaksanaan agenda besar ini menguat, seiring dengan terjaringnya salah satu pucuk pimpinan lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam OTT KPK. Sorotan masyarakat tentang kepercayaan mereka terhadap lapas, dijadikan momentum pembenahan menuju lembaga yang berkinerja lebih baik dan secure.

Bukan hal mudah bagi UPT Pemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia selama ini, dalam melaksanakan tugas dan kewenangan mereka sebagai sub sistem terakhir dalam lembaga hukum peradilan pidana. 

Lapas yang berfungsi sebagai tempat eksekusi pidana penjara atau kurungan berdasarkan putusan hakim, tidak serta merta hanya sebagai perpindahan tempat menginap para narapidana, melainkan mengemban tugas untuk menyadarkan para narapidana agar bisa kembali memasyarakat.

Melihat tujuan mulia ini, tentunya kita berpikir bahwa lembaga pemasyarakatan seharusnya diisi oleh para punggawa yang berkompeten seutuhnya, agar mampu melakukan pembinaan moral dan mental para narapidana. 

Setidaknya untuk memberikan pemahaman kepada narapidana agar tidak mengulang perbuatan pidananya lagi. Namun bagaimana kebanyakan kondisi yang terjadi di UPT?

Memang tidak mudah untuk melaksanakan pembinaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995. 

Lapas dalam hal ini harus mampu membuat seseorang 'menerima keadaan' secara mental bahwa dirinya adalah seorang terpidana, sementara narapidana datang dengan serangkaian proses pidana yang mereka lewati sendiri hiruk-pikuknya tanpa sedikit pun melibatkan personel lapas.

Hanya karena hukum formal yang memaksa lapas untuk mengalihkan 'hak asuh' narapidana kepada lapas, maka kemudian seringnya tugas dan fungsi pembinaan tersebut tidak terlaksana sepenuhnya oleh para petugas pemasyarakatan, mengapa? 

Karena petugas lapas merasa tidak ada hubungan atau keterkaitan apapun dengan kasus yang dihadapi narapidana, terlebih lagi untuk memahami kondisi mental atau moril para narapidana pasca vonis hakim pengadilan.

Dengan pemahaman seperti ini, lapas tak ubahnya hanya sebagai tempat singgah bagi mereka yang sudah mendapat vonis BHT, dan petugas lapas pun menempatkan diri mereka sebagai 'kawan baru' bagi para narapidana.

Alih-alih memberikan kenyamanan tinggal untuk mengembalikan kesadaran hukum, justru kenyamanan tinggal tersebut diperluas maknanya menjadi 'kenyamanan' seperti halnya ketika mereka berada di luar sebelumnya. 

Konsep pembinaan dengan 'persamaan perlakuan' diterapkan secara harfiah dengan memberikan materi yang sama-sama dibutuhkan, dalam kacamata masyarakat bebas.

Sejenak kita flashback pada beberapa kasus sel mewah narapidana yang seperti berulang, sehingga pada akhirnya masyarakat pun apatis bahwa hal tersebut adalah kongkalikong yang lumrah. Kasus OTT Kalapas Sukamiskin bukan yang pertama terjadi. 

Mereka yang tersorot kamera 'menyulap' sel penjara menjadi senyaman kamar pribadi, hanya segelintir orang, yang kurang beruntung. Hanya karena kasus mereka kelas kakap sehingga demikian rentan sorotan jurnalis.

Tidak menutup kemungkinan ada narapidana atau petugas lain yang juga melakukan hal serupa, hanya lolos dari kejaran paparazi. 

Dan fasilitas pun tidak terbatas pada kenyamanan kamar, masih banyak celah lain yang bisa dikondisikan misalnya alur pengobatan ke luar lapas hingga rawat inap, atau dalam hal kunjungan atau menerima barang kiriman.

Kembali kepada prevensi spesial dari tujuan pemidanaan untuk melindungi terpidana, tujuan dari kata 'melindungi' yang harus dicapai dalam hal ini adalah dengan tidak menyebut terpidana sebagai penjahat, melainkan sebagai orang yang tersesat. 

Artinya, melindungi dalam hal ini seharusnya bukanlah melindungi perasaan subjektif narapidana yang tidak merasa harus dihukum, akan tetapi melindungi stigma sosial semata dengan status sebagai narapidana.

Salah kaprah memaknai perlindungan dan persamaan perlakuan inilah yang menjadi awal munculnya kenyamanan baru di dalam penjara. 

Bukan berarti kondisi lapas tidak boleh nyaman. Nyaman dalam konteks bersih, asri, dan sehat adalah sebuah kewajiban.

Namun nyaman untuk kepentingan pribadi, meskipun berjamaah, tidak akan membantu seorang narapidana menyadari sebuah kesalahan besar sekalipun. 

Imbasnya, kebanyakan dari mereka meremehkan kesalahan kecil, berlanjut pada pengulangan pidana ketika sudah bebas, dan lapas kembali bertumpuk dengan lautan narapidana yang menyedot anggaran negara.

Poin kedua dalam pembahasan makna persamaan perlakuan adalah, kepiawaian pembekalan mental narapidana oleh petugas pemasyarakatan. petugas pemasyarakatan seharusnya bukan sekedar pegawai kantoran yang mengurusi administratif saja. 

Sejak awal seseorang menginjakkan kakinya di lapas, maka petugas sudah harus bisa membuat pemindaian tentang kondisi narapidana secara psikologis, dalam kebutuhannya untuk memberikan model pembinaan yang tepat bagi mereka.

Dalam agenda revitalisasi pemasyarakatan, klasifikasi dilakukan dari super maximum hiingga minimum security. 

Konsep ini sekilas terbaca sebagai kembali kepada konsep pemenjaraan. Namun demikian, diharapkan sebelum diterapkan klasifikasi tentang 'tingkat bahaya' pada perilaku narapidana, klasifikasi harus sudah diterapkan berdasarkan hal-hal mendasar seperti umur, latar belakang sosial, kondisi mental / kejiwaan, dan lain sebagainya.

Sistem inilah yang tidak pernah ada dalam metode pembinaan narapidana, sehingga semua narapidana selama ini benar-benar mendapat 'persamaan perlakuan' secara harfiah, dalam makna yang lain. 

Narapidana lansia yang harus melakukan kegiatan yang sama seperti mereka yang belia. Demikian halnya mereka yang jiwanya labil dalam masa tumbuh kembang remaja, diberikan materi rohani yang disampaikan dengan cara yang sama seperti penyampaian kepada mereka yang sudah lebih berpengalaman dengan masalah duniawi.

Sudah saatnya semua berbenah menjadi lebih baik. Kondisi lapas yang penuh sesak tidak bisa diselesaikan hanya dengan pasrah dan menyalahkan kondisi ekonomi dan sosial yang menjadi salah satu penyebab peningkatan kejahatan. 

Lembaga pemasyarakatan harus punya langkah futurologis dan antisipatif, untuk mewujudkan tugas mulianya, mengembalikan hakikat manusia menjadi sadar dan taat hukum, dengan sesegera mungkin dan bergegas mengembangkan kompetensi internal lembaga pemasyarakatan, menuju lembaga pemasyarakatan yang bersih dan bertanggungjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun