Pemeriksaan kelengkapan kendaraan bermotor atau razia ranmor yang biasa dilakukan satuan polisi lalu lintas (satlantas) sering kita jumpai saat kita sedang melaksanakan bepergian, baik dengan kendaraan motor roda dua ataupun roda empat. Tak sedikit pula, saat terjadi razia ranmor terganjar dengan blanko tilang. Opsi pun dihadapkan, antara “sidang” di tempat atau memilih hadir di pengadilan. Namun, tahukah kita, proses razia ranmor tidak hanya sekedar razia begitu saja…Yaaa..sesungguhnya sebuah satuan polisi lalu lintas yang akan menggelar razia ranmor harus juga memenuhi prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengutip laman lantas.polri.go.id, mari kita cermati bersama. Pemeriksaan kendaraan diatur dalam PP No 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan. Definisi pemeriksaan, menurut Pasal 1 angka 2 PP 42/1993, adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap pengemudi dan kendaraan bermotor mengenai pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan serta pemenuhan kelengkapan persyaratan administratif.
Dalam Pasal 2 disebutkan, pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan dapat dilakukan oleh Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) dan Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kualifikasi tertentu di bidang lalu lintas dan angkutan jalan Petugas yang melakukan pemeriksaan atau razia kendaraan bermotor di jalan harus dilengkapi surat penugasan yang dikeluarkan oleh Kepala KePolisian Negara Republik Indonesia untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Polisi Negara Republik Indonesia dan menteri untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa Pegawai Negeri Sipil.
Dalam PP tersebut juga mensyaratkan semua petugas yang melakukan razia wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut yang jelas. Seperti tanda- tanda khusus sebagai petugas pemeriksa dan perlengkapan pemeriksaan. Untuk razia yang dilakukan oleh Polisi, maka petugas harus menggunakan seragam dan atribut yang ditetapkan.
Kemudian, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 ayat 1 sampai 3, disebutkan bahwa pada tempat pemeriksaan wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor. Tanda dimaksud harus ditempatkan pada jarak sekurang-kurangnya 100 meter sebelum tempat pemeriksaan.
Khusus untuk pemeriksaan yang dilakukan pada malam hari, selain harus dilengkapi tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan, petugas juga diwajibkan untuk memasang lampu isyarat bercahaya kuning terang. Lalu, pertanyaan kita sebagai pengendara atau subjek yang sedang “dirazia” bagaimana manakala satlantas yang sedang merazia kita ternyata menurut pencermatan kita tak memenuhi prosedur dan mekanisme yang diatur? Sebagai pengendara, perlukah kita “melawan”? atau dengan kata lain mempertanyakan kelengkapan ataupun mekanisme satlantas tersebut? Saya ingin berbagi pengalaman kepada teman pembaca.
Pada hari Minggu, tanggal 23 Agustus 2015 sekitar pukul 11.00 WIB atau setidak-tidaknya pada
suatu waktu pada hari dan tanggal tersebut dalam perjalanan menuju Tawangmangu (setelah gerbang pos retribusi Tawangmangu), dalam wilayah hukum Polres Karanganyar, kendaraan motor yang saya kendarai dengan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) R 3779 AJ diberhentikan oleh satuan polisi lalu lintas yang sedang menggelar pemeriksaan kelengkapan kendaraan. Tanpa menyapa dan memperkenalkan diri sebagai satuan polantas Karanganyar, polisi yang melakukan pemeriksaan langsung meminta kelengkapan kendaraan motor yang saya kendarai. Saya lantas menyerahkan Surat Ijin Mengemudi (SIM) berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK). Setelah memeriksa surat-surat saya, polisi tersebut menyampaikan kepada saya bahwa STNK sudah mati lama. Saya pun langsung diminta dan diarahkan ke seorang polisi lainnya bernama Bachtiar dengan pangkat Brigadir untuk ditilang. Pada saat itu, sempat terjadi argumentasi antara saya dan polisi. Hal ini terkait pernyataan polisi sebelumnya yang menyatakan STNK yang saya tunjukkan sudah mati. Perlu saya sampaikan, bahwa STNK tersebut masih berlaku hingga tahun 2018 namun telat pengesahan tahunan selama 9 bulan. Menurut pemahaman hukum saya, sebagaimana juga termuat dalam Pasal 74 Undang-Undang RI nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ayat (2) huruf b, status registrasi dan identifikasi kendaraan yang saya kendarai sebagai termuat dalam STNK tidak bisa dinyatakan dalam kondisi mati, mengingat penghapusan status registrasi dan identifikasi kendaraan hanya dihapus manakala pemilik kendaraan bermotor tidak melakukan registrasi ulang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun setelah habis masa berlaku Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor. Hal inilah yang mendorong saya sebagai masyarakat untuk ikut berperan aktif mewujudkan penegakan hukum dan kepastian hukum yang merupakan bagian dari tujuan diundangkannya Undang-Undang RI tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Pasal 3 Undang-Undang RI nomor 22 Tahun 2009).
Selanjutnya, terlepas dari perkara tilang yang disangkakan kepada saya, sesungguhnya saya sebagai masyarakat hanya ingin menjadi warga negara yang baik dan taat hukum dalam menyikapi proses perkara tilang ini. Bagi saya, ketika saya disangkakan melakukan tindakan pelanggaran dalam lalu lintas namun di sisi lain saya tidak dijelaskan dengan detail kesalahan dan dasar hukumnya dengan baik dan bertanggungjawab sesuai norma hukum maka saya tidak bisa menerima apa yang disangkakan tersebut. Saya sangat prihatin dan kecewa dengan sikap dan ucapan polisi atas nama Brig. Bachtiar yang tidak bisa memberi jawaban atas detail dasar hukum yang akan didakwakan kepada saya. Saat itu, bukan detailnya isi pasal yang dijadikan dasar hukum untuk mendakwa saya yang saya dapatkan, namun saya malah diberi jawaban agar saya membuka internet saja untuk mengetahui dasar hukum dakwaan terhadap saya. Hal yang sangat tidak logis menurut saya. Karena di sisi lain saya juga bukan masyarakat yang berpengetahuan nol tentang hukum, di mana serta merta saya mau menerima apapun yang disangkakan polisi. Lebih lanjut, saat saya dihadapkan dengan beberapa blanko tilang, saya sampaikan agar saya diberikan blanko berwarna merah dan bukan yang berwarna biru. Lantas polisi tersebut menanyakan kepada saya tentang fungsi surat tilang warna biru dan warna merah. Dengan berbekal pengetahuan hukum yang saya miliki, yakni, berdasarkan Surat Keputusan No.
Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang, saya pun menjelaskan perbedaan antara blanko tilang berwarna merah dan blanko biru. Saya menyampaikan kepada polisi tersebut, bahwa untuk blanko merah diberikan manakala orang yang didakwa melanggar lalu lintas tidak mengakui kesalahan atau bermaksud menyelesaikan perkaranya untuk diadili di pengadilan. Namun, alangkah terkejutnya saya saat polisi tersebut menyalahkan jawaban saya. Polisi tersebut menyampaikan bahwa fungsi blanko merah adalah si
terdakwa yang terkena tilang memilih membayar denda di pengadilan. Saya pun makin terkejut manakala Brig. Bachtiar menyampaikan harusnya kendaraan saya tersebut disita. Sebuah tindakan berlebihan yang tidak mengedepankan tindakan bertanggungjawab untuk sebuah perkara tilang dalam perkara tilang untuk STNK yang masih berlaku namun mengalami keterlambatan pengesahan 9 bulan. Lebih lanjut. Saya akhirnya diberi opsi pilihan motor ataukah SIM yang ingin disita, yang kemudian saya berikan jawaban agar SIM saya saja yang disita.
Menurut saya, kesatuan polisi adalah bagian elemen dari garda terdepan untuk menciptakan supremasi dan kepastian hukum. Dalam hal melaksanakan tugasnya, sebagaimana juga termuat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang RI nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya memang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Namun seyogyanya seorang polisi dalam melakukan penilainnya juga tidak serta merta semaunya sendiri. Hal ini mengingat bahwa Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang RI nomor 2 Tahun 2002 juga menjelaskan bahwa penilaian yang dilakukan pejabat kepolisian harus tetap dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, jawaban seorang polisi yang menyampaikan bahwa fungsi blanko merah surat tilang adalah diberikan untuk si terdakwa pelanggar tilang yang ingin memilih membayar di pengadilan merupakan sebuah pernyataan yang salah dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan, dalam hal ini Surat Keputusan No. Pol.: SKEP/443/IV/1998 tentang Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang.