Mohon tunggu...
Putri Apriani
Putri Apriani Mohon Tunggu... Freelancer - Fiksianer yang Hobi Makan

@poetri_apriani | poetriapriani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Nadira

8 Mei 2015   11:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1431059811285131533

Pagi selepas hujan, tanah masih mengeluarkan aroma basah, aroma yang lekat dengan masa lalu, aroma yang lekat dengan kenangan, entah itu kenangan buruk atau kenangan indah.  Ada gadis yang tengah duduk menyaksikan air terhenti jatuh dari langit. Ia kemudian mengambil selembar kertas dan pena, menuliskan sesuatu, yang sepertinya tak dapat ia ungkapkan. Gadis itu, Nadira.

Sepucuk surat untuk Ayah..

Ayah, pernahkah kau sedikit saja memikirkan perasaanku? Iya, sedikit saja. Aku tau semenjak kepergiannya, kau butuh cinta yang lain, kesepian katamu. Tapi bukankah kau tak sendiri? Sesungguhnya ada banyak yang menyayangimu – itu bila kau ingin tau. Maaf bila kau lebih peduli dengan “tak mau taumu” itu.

Katamu ini soal cinta. Cinta untuk lelaki di atas enam puluh tahun. Lalu bagaimana denganku? Gadis yang katamu “perawan tua”, gadis yang menurutmu semestinya sudah memiliki pendamping hidup. Bisakah kau tunggu aku sejenak?

Baiklah, mungkin memang aku yang harus mengerti, maka maafkanlah keegoisanku selama ini, Ayah. Aku belum bisa membuktikan baktiku kepadamu. Hanya saja, entah mengapa hati ini merasakan luka yang begitu mendalam. Sebagai saksinya, ada air mata yang tak henti menetes cukup deras.

Tempo hari aku sudah sedemikian kuat berusaha. Tetap terlihat seakan semuanya baik-baik saja, menutup rapat-rapat cerita ini dari siapapun. Menahan tangis dan mempolesnya dengan senyuman paling manis yang aku miliki. Ah, sejujurnya aku benci bersandiwara, benci sekali. Jadi mohon maafkan aku, bila akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk membuka semua topengku ini.

Bukannya makin sembuh, luka ini seakan semakin menganga. Mengapa masih juga kau tambahkan luka? Mengapa kau sebut aku sebagai penghalang pernikahanmu dengan wanita itu? Iya, aku akui, aku pernah amat sangat tak setuju bila kau menikah lagi. Tapi itu dulu, ketika hatiku masih begitu rapuh sepeninggal istrimu, oh maksudku adalah ibu kandungku sendiri.

Bahkan sebenarnya hingga kini, akupun tak menginginkan sosok ibu terganti. Sungguh aku tak ingin. Namun aku bisa apa bila takdirNya menuliskan engkau tuk kembali memiliki pendamping hidup?

Maafkan, mungkin aku memang gadis yang egois. Tapi kali ini aku akan lebih berusaha sekuat tenaga, untuk membiarkanmu mencari pendamping hidup lagi. Dan aku, akan menunggu kado terindah dari Tuhan, pastinya di waktu yang tepat.

Sepucuk surat telah selesai Nadira tulis. Entah kapan ia akan memberikan surat itu kepada ayahnya.

***

Penghalang..

“Biarkan anak gadismu menikah dulu. Baru kau boleh menikah lagi.”

“Nadira lagi, dia hanya jadi penghalang! Dia menghalangi kebahagiaanku.” Ucap ayah Nadira tak terima.

Lagi, kalimat itu ia dengar dari mulut ayahnya. Diam-diam Nadira mendengarkan percakapan antara ayahnya dengan sanak keluarga yang sedang berkunjung.

Aku adalah penghalang

Bagimu yang sedang mabuk kepayang

Kau terlalu jauh melayang

Hingga luput dari pandang

.

Tapi aku tetaplah aku

Karena itu bukan inginku

Bagiku, ini hanyalah secarik takdir

Yang tetap harus dilalui walau terasa getir.

[Baca selengkapnya : Puisi – Penghalang]

Wanita itu, wanita ayahnya. Belakangan ternyata sering datang ke rumah Nadira. Banyak mata yang melihat, bahwa wanita tersebut seringkali ‘meminjam uang’. “Oh pantas, saldo tabungan ayah banyak berkurang, ternyata hanya diberikan cuma-cuma pada wanita itu? Susah payah aku banting tulang membantu perekonomian keluarga..” batin Nadira.

Oh tunggu, ternyata tak hanya cuma-cuma. Wanita itu – janda beranak satu yang usianya terpaut sekitar tiga puluh tahun dari ayahnya – rela dinikahi ayahnya, asalkan semua hutangnya lunas. Dan harta ayahnya yang lain bisa jatuh ke tangannya.

Ayahnya bahkan pernah meminta Nadira untuk membiayai segala kebutuhan ibu tiri beserta keluarganya itu. Bahkan termasuk bila ibu tirinya melahirkan seorang bayi, tentunya buah pernikahan dengan ayahnya.

“Maaf Ayah, aku tak bisa, adik-adikku masih butuh biaya, jalan mereka masih panjang. Andien masih SMP, bahkan Rasti masih duduk di bangku SD.”

“Dasar kau anak durhaka, tak tau berterima kasih! Ayahmu ini susah payah bekerja, merawatmu dari kecil hingga seperti sekarang ini. Jadi hanya ini balasanmu?” Bentak ayahnya dengan nada penuh amarah.

“Iyaa.. aku memang anak tak tau diri…..” Ucap Nadira, lirih.

Nadira membenamkan wajahnya. Air mata lagi, dan ia benci itu. Lemah, ia merasa begitu lemah. “Anak durhaka.. anak tak tau diri.. perawan tua..” semua seakan meneriakkan kata-kata itu persis di telinganya. Tetiba Nadira merasakan sakit kepala yang hebat, ruangan mendadak gelap, hening, ia tak sadarkan diri.

Menjelang hari pernikahan Ayahnya..

Tak ada waktu lagi untuk Nadira, Rasti dan Andien – kedua adiknya yang juga sama-sama perempuan. Sang ayah saat ini sudah punya kesibukan baru, menyambangi rumah sang kekasih hati. Bahkan sudah terdengar desas-desus. Bahwa rumah yang mereka tempati sekarang ini akan jadi milik wanita tersebut, entah siapa nama wanita tersebut, Nadira malas mencari tau dan tak mau tau.

Dan babak selanjutnya pun dimulai, kekasih ayahnya itu merencanakan beberapa skenario. Skenario tentang harta ayahnya yang mungkin bisa dimiliki. Dan Nadira harus terima bila ia dan kedua adiknya harus terusir dari rumahnya sendiri, yang bukan hanya hasil jerih payah ayahnya, tapi juga hasil jerih payah ibunya.

Sang wanita meminta Nadira, Andien dan Rasti untuk angkat kaki dari rumah. Sebagai gantinya mereka bertiga bisa menempati rumah kontrakan berukuran 3x12 meter. Dengan santai ayahnya menjawab “biar anak-anakku tinggal di rumah kontrakan, toh itu juga milikku, mereka tak harus membayarnya setiap bulan”.

***

Rencana Nadira dan kedua Adiknya..

Tiga kakak beradik itu saling bertatapan. Tampaknya mereka tengah merencanakan sesuatu. Dan suara Nadira, tiba-tiba saja mengejutkan Andien yang sedang meminum susu cokelat hangat, sementara Rasti berhenti bicara dengan boneka yang ia mainkan semenjak tadi.

“Kita tak perlu mengemis pada Ayah dengan tinggal di rumah kontrakannya, aku masih bisa menghidupi kalian.” Ungkap Nadira kepada kedua adiknya. Biarkan Ayah bahagia dengan perempuan kotor itu! Lanjut Nadira dalam hati.

Andien dan Rasti hanya mengangguk. Entah mengerti sepenuhnya atau tidak, namun sepertinya mereka sepakat dengan perkataan kakaknya, Nadira.

Mereka mengemas pakaian seadanya, membawa barang-barang – hasil jerih payah Nadira – yang masih bisa dibawa, tentunya tanpa sepengetahuan ayahnya. Nadira meremas sepucuk surat yang pernah ia tuliskan untuk ayahnya, kemudia ia menggantinya dengan beberapa kalimat selembar kertas

Untuk Ayah

Jangan cari kami. Ayah berhak bahagia, begitupun dengan kami. Mulai detik ini, kami akan pergi, dan tak akan kembali lagi ke rumah ini. Sekali lagi, JANGAN CARI KAMI..!! Semoga Ayah bahagia.

.

Maaf aku bukan penghalang

Lanjutkan saja bila kau tetap inginkan dia

Aku akan tetap berdendang

Lantunkan syair, yang tangguhkan jiwa

***

Sumber Ilustrasi


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun