(Foto: http://si.wsj.net) Beberapa waktu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan aksi PB IDI (Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia) yang mengancam akan menggelar mogok. Mogok kerja atau praktik akan terjadi jika pemerintah menetapkan besaran iuran premi jaminan kesehatan nasional bagi warga miskin yang hanya Rp 22.201,-. Yang mana dalam hitungan per kapitasi, dokter nantinya hanya mendapat sekitar Rp 2.000,- . Sementera PB IDI mengusulkan sebesar Rp.60.000,- sebab angka Rp. 2.000,- dinilai tidak layak dan berpotensi menurunkan kualitas pelayanan. Isu besaran premi dan pembayaran provider memang menjadi isu menarik dalam hal ini. Tidak heran banyak reaksi pro dan kontra tentang aksi PB IDI ini. Banyak yang kontra menganggap “tidak pantas” profesi mulia seorang dokter dikotori dengan hanya mempermasalahkan “bayaran” sebagai hal yang sangat sensitif di masyarakat timur kita. Dalam menghadapi orang sakit maka menarik bayaran yang kecil atau bahkan gratis sama sekali akan sangat meringankan penderitaannya. Sampai sekarang hal itulah yang terjadi dan ditengarai dipakai sebagai pembenaran badan penyelenggara asuransi kesehatan untuk membayar dokter/provider dengan harga yang jauh dari layak, bahkan dengan harga serendah-rendahnya. Situasi yang demikian menyebabkan bahwa saat ini banyak dokter umum yang sudah tidak bisa total dalam bekerja dengan banyak mengerjakan pekerjaan sampingan bahkan disaat praktik juga, misalnya, menjadi tenaga pemasar sebuah produk yang mengatasnamakan nutrisi kesehatan yang bersifat MLM. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhannya dokter umum melaksanakan banyak kegiatan bahkan di luar wilayah medis. Bila dokter tetap dibayar tidak layak maka dapat dibayangkan dokter akan sibuk dengan urusannya sendiri sedangkan pasien akan banyak dirujuk dan ini akan mengacaukan sistem rujukan di dalam layanan jamkesnas sendiri yang sudah dibangun dengan susah payah. Pernyataan seorang pakar asuransi kesehatan sendiri Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH dalam sebuah acara Seminar Nasional juga menyatakan bahwa dokter selama ini memang dibayar underpaid. Harga Keekonomian Bagi Dokter, Mungkinkah? Pada saat pasien harus membayar biaya berobatnya sendiri (out of pocket) mungkin pembayaran murah tersebut relatif masih diterima. Walaupun disadari bahwa dalam kondisi tersebut maka taruhannya adalah profesionalitas seorang dokter dan mutu pelayanan kesehatan yang ada. Jaman sudah berubah, era BPJS sudah menjelang. Persepsi itu semestinya juga berubah. saat sistem Jamkesmas berlaku maka urusan bayar membayar bukan lagi antara dokter dengan pasiennya tetapi bergeser antara dokter dengan badan penyelenggara atau lembaga pembayar. Dalam situasi ini kemampuan membayar setiap pasien menjadi lebih baik. Dalam konsep ini maka hakikat kewajiban BPJS ini adalah menjadi penanggung risiko untuk biaya kesehatan untuk seluruh rakyat. Maka sekaranglah saat yang tepat dimana dokter khususnya dokter umum mendapatkan bayaran yang layak. Bukan berarti dokter menjadi serakah dan materialistis, tetapi menuntut sebuah rasionalitas. Sehingga ”harga kekeluargaan” yang cenderung tidak menghargai sebuah profesionalisme sudah saatnya ditinggalkan. Apalagi memang biaya pendidikan dokter dan dokter spesialis yang mencapai ratusan juta rupiah. Sementara itu Progam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan sebagai persyaratan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi guna mendapatkan SIP (Surat Ijin Praktik) juga menjadi sesuatu yang sangat mahal khususnya bagi dokter di daerah. Menurut penulis, membayar dokter dengan harga keekonomian adalah sangat memungkinkan dengan alasan bahwa Badan Penyelengggara Jaminan Sosial (BPJS) nantinya akan bersifat nirlaba atau not for profit. Berbeda dengan lembaga asuransi kesehatan yang ada sekarang seperti PT askes yang berbentuk persero yang mempunyai kewajiban untuk menyetor deviden kepada pemerintah. Untuk lembaga not for profit sudah semestinya keuntungan itu akan dikembalikan kepada kepentingan masyarakat kembali. Belajar dan bercermin pada lembaga zakat yang juga nirlaba maka seorang penyelenggara (Amil Zakat) juga mendapatkan bagiannya dengan jelas. Penulis merasa bahwa sistem zakat ini sangat adil dan dapat diterapkan bahwa seorang dokter pun sebagai salah satu provider di bidang layanan kesehatan mempunyai hak yang layak terhadap gajinya. Sehingga tujuan awal dari UU SJSN adalah untuk menyejahterakan semua termasuk providernya akan tercapai. Jangan sampai nanti rakyat sehat, tetapi dokternya justru “sakit”. Di sisi lain bahwa sebenarnya biaya kesehatan di negara kita masih jauh dari harapan. Sehingga masih ada ruang untuk menaikkan anggaran kesehatan yang sekarang hanya pada angka dua persen menjadi sekitar 5 % sesuai dengan amanat Undang-Undang Kesehatan no 36 tahun 2009. Juga, bandingkan dengan besarnya gelontoran dana untuk mensubsidi BBM yang mencapai hampir 200 T, yang sebagian besar justru dinikmati oleh para orang-orang kaya, sementara untuk investasi awal BPJS hanya dialokasikan sebesar 25 T saja. Skenario ke Depan Sulitnya menemukan titik sepakat antara pemerintah dengan PB IDI tentang besaran premi bukan berarti jalan buntu. Semestinya kedua pihak sama-sama berpegang pada keputusan yang win-win solution. Membayar dengan harga keekonomian juga diyakini dalam jangka panjang justru dapat menyelesaikan masalah yang muncul karena pembayaran yang tidak adil. Tidak kurang Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH seorang pakar asuransi kesehatan dari UI dalam berbagai kesempatan menyatakan harga keekonomian merupakan jawaban untuk menyelesaikan carut marutnya sistem rujukan karena tidak berfungsinya layanan primer, tidak meratanya sebaran SDM kesehatan khususnya dokter, rendahnya mutu layanan, serta masalah moral hazard dalam dunia asuransi. Semoga hal – hal ini bisa segera ditemukan sebuah titik terangnya saat ini. Saat muktamar Dokter Indonesia ke XXVIII sedang berlangsung di Makasar, pada akhir November ini. Sehingga tema besar muktamar yaitu “Paradigma Baru Pelayanan Kedokteran dalam Era Jaminan Sosial Kesehatan Nasional Sebagai Upaya Menata Pelayanan Kesehatan Yang Berkeadilan Sosial” juga akan terwujud tidak hanya dalam arena muktamar tetapi pada kondisi yang sesungguhnya. Semoga. * Penulis: Tri Astuti Sugiyatmi (Dokter di Dinas Kesehatan Kota Tarakan dan Peneliti di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan FK UGM, Yogyakarta)