Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Raftel

20 Februari 2017   14:07 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:21 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: One Piece Wikia

Pulau yang menjadi tujuan seluruh bajak laut itu tidak pernah benar-benar ada. Kau mengatakan hal itu seolah-olah kau sendiri pernah membuktikannya. Kau memang selalu seperti itu, keras kepala dan egois. Tidak ada versi kebenaran lain di dalam kamus kebenaranmu. Delapan tahun sudah kita bersama-sama membaca One Piece, kini kau bilang Raftel tidak ada, Oda akan mati sebelum menamatkan cerita.

“Aku sudah bosan mengikuti mimpi-mimpi Luffy!” Kau membentakku di Gokana. Kita tengah kencan, kau tak paham situasi. Orang-orang memperhatikan kita dengan pandangan aneh. Tapi kau tak peduli. Kau masih melototiku dan berkata, “Bisa kau tutup komik itu sekarang?”

Pelayan baru meletakkan ramen pesananmu. Aku memesan nasi goreng. Aku bersumpah tidak akan memakan ramen yang identik dengan Naruto. “Luffy tidak suka ramen…” kataku sinis kepadanya.
“Pring, begini, sebentar lagi kita menikah, kita harus berhenti tentang semua ini…”
“Sebentar lagi bulan Ramadan, kau tidak boleh marah-marah,” kelitku.
“Ramadan masih 2 bulan lagi!”
“Begitu pun pernikahan kita…”

Kau tidak menjawab. Kau malah memegang sumpit padahal asap masih mengepul dari permukaan mangkuk. Lagu Konayuki milik Remioromen mengalun pedih, mengingatkanku pada cerita satu liter air mata yang berhasil membuatku menangis histeris sejak episode kedua. Seorang gadis SMA mengalami penyakit langka, kehilangan fungsi-fungsi sarafnya. Aku tidak mau kehilangan fungsi sarafku karena aku takut tak dapat mengindraimu. Aku juga takut tak dapat menghargai setiap kenangan yang pernah kita lalui bersama, meskipun itu tidak umum—sangat tidak umum.

“Alina, kamu ingat kenapa kita bertemu?” Mendadak aku bertanya.
Kau mendongakkan kepala, kembali menatapku, “Hujan,” jawabmu singkat.
“Bukan.” Jawaban itu bukan yang kuharapkan.
“Lalu?”
“Komik ini.”
One Piece. Ya, itu versimu.”
“Aku lebih suka two piece….”

Kenangan itu seharusnya muncul di kepalamu. Hujan. Taman bacaan di samping sekolah menjadi satu-satunya tempat berteduh. Halte tengah diperbaiki. Atapnya tak mampu melindungimu dari rintik hujan. Lalu kau berlari tegopoh-gopoh dengan tas menutupi kepala, sudah basah, mulai menatapku, lalu pura-pura tidak menatapku, mencuri-curi pandang lagi ke arahku, sebelum bertanya, “Kau sedang membaca One Piece?” Dan aku menjawab, “Aku lebih suka two piece…” Sambil menelan ludah melihat air telah membuat pakaianmu menerawang untuk menggoda kelelakianku.

Nyatanya setelah aku pinjamkan jaketku, kita berkenalan dan sekolah kita yang bersebelahan, alamat kita yang berjauhan, dan hobi kita yang nyaris sama—kau suka menggambar, aku hobi membaca buku bergambar—menjadikan kita dekat dan semakin dekat. Sampai kini, setelah bertahun berpacaran, kita akhirnya akan menikah.

“Aku tidak yakin, Pring… apa aku, apa kau siap menjadi seorang suami dan istri.” Kau mengganti topik ke arah yang lebih serius.

“Apa maksudmu, membaca komik bukanlah sebuah hal yang dewasa?” Aku masih tidak serius.

“Ayolah, kapan lagi kita membicarakan hal ini, Pring? Akhir bulan ini aku akan pulang. Aku tidak tahu kenapa aku jadi sesensitif ini. Mungkin benar kata orang, semakin dekat kita ke pernikahan, kita akan semakin cepat tersinggung, merasa semuanya serba salah, tidak yakin pada diri sendiri dan pasangan… atau apalah itu….” Kau memasukkan mie ke mulutmu lagi.

“Kau bertanya, tapi sudah tahu jawabannya,” jawabku ketus. Aku makin kesal melihat ramen yang tidak kusukai itu seperti meledekku di antara kita. Aku tidak suka bertengkar. Tidak suka berdebat. Itu melelahkan. “Kalau hanya ini yang ingin kau bicarakan, kita pulang saja!” Gantian aku yang mengeras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun