Logika   : Lihat, tangan yang melontar bagai meriam itu, batu-batu itu, tak dapat kupilah-pilah lagi benar dan salah, jahat dan baik, lihaat! Apa itu kebenaran?, kebenaran yang membuat mereka memiliki alasan saling menyerang.
Hati      : Bukankah kebenaran itu milikmu? bukankah bagimu asumsi adalah kebenaran?, ada apa denganmu?
Logika   : Aku? asumsiku?, jelas terlihat…  Dan, tidak kah kau dengar? teriakan itu? semua itu bukan asumsi, bukan!!. Ini adalah kenyataan dan menurutku, fanatisme  yang biasa kau sebut cinta itu yang mendorong mereka!
Hati      : Cinta? Tak ada kesamaan antara cinta dan perang. Hanya pada asumsilah keduanya sama.  Ya, asumsi. Asumsi  yang kau anggap kebenaran itu.
Logika   : Lalu? bukankah  cinta dan perang lahir dari nurani? bukankah sepucuk surat yang menjadi mawar dalam origami sejatinya tetaplah origami?! jawab aku!
Hati      : Tidak..  Surat tetaplah surat walau berbentuk mawar.  Origami dapat merubah selembar surat menjadi apasaja, tapi  tidak merubah apa yang  tlah tertulis padanya.  Seperti  asumsi, yang tak pernah bisa merubah kebenaran sejati, walau semua dapat membuat kesan.
Logika   : Aku tak mengerti!
Hati      : Aku juga..
Logika   : Jadi,  apa semua itu salah?
Hati       : Yaa..  semuanya salah. Mereka  salah, mereka menganggap gulita malam dan warna hitam itu sama, hanya karna tak mereka lihat warna lain padanya. Mereka menggunakan kata kebenaran hanya untuk membenarkan kesalahan mereka.  Seperti  mawar yang memaksa tangan untuk memetik, agar durinya menusuk.
Logika   : Lalu bagaimana semua ini dapat berakhir?Â