Mohon tunggu...
Pindi Setiawan
Pindi Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FSRD ITB

Sibuklah mencipta ketika orang lain sibuk meniru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Merdeka

20 Februari 2020   18:37 Diperbarui: 20 Februari 2020   19:05 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lantar (matahari). Imaji Prasejarah di Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara

(TANGGAPAN terhadap TANGGAPAN Hikmat Darmawan terhadap TULISAN Radhar Panca Dahana di Kompas, 21 Januari 2020)

Budaya itu secara gampang terbagi tiga: Wujud Budaya, Idea Budaya dan Tindakan (Perilaku) Budaya. Ketiga 'budaya' itu lah yang kemudian menjadi suatu kebudayaan yang kita rasakan, kita jalani, dan kita lihat sekarang.

Kemudian pada latar ketiga jenis budaya itu, terdapat tiga fenomena:

Fenomena pertama terdapat wujud dari kebudayaan masa lalu, namun idea dan tindakan budayanya  tidak lagi hadir (atau tidak dihadirkan) sekarang. Contohnya, wujud budaya Gambar Prasejarah, baik idea maupun tindakan budaya yang terkait Gambar Prasejarah tidak lagi hadir sekarang.

Fenomena kedua, terdapat pula wujud dari kebudayaan masa lalu, yang idea dan tindakan budaya masa lalunya masih dipertahankan sampai sekarang. Contohnya wujud budaya Batik, baik idea dan tindakan budayanya masih dihadirkan sekarang.

Lalu, fenomena ketiga terdapat wujud dari kebudayaan masa kini, yang tentunya idea dan tindakan budayanya memang hadir hari ini. Contohnya wujud budaya aplikasi digital, yang idea dan tindakan budaya kekiniannya memang pasti terhadirkan sekarang.

Dari paparan di atas, kita dapat menduga duga yang dimaksud kebudayaan yang sedang Sakaratul Maut oleh Radhar itu, sebenarnya fenomena kebudayaan yang mana. Saya menduga itu merupakan fenomena kedua, yaitu kebudayaan masa lalu yang masih dihadirkan idea dan tindakan budayanya sekarang. 

Sifat utama dari fenomena kedua adalah yang memilih apa saja unsur unsur kebudayaan yang perlu dihadirkan hari ini, sering kali bukan pilihan orang banyak, namun memang pilihan para 'dewa' budaya (highbrows- culture atau budaya adiluhung). 

Pada fenomena kedua ketika publik ingin mempertahankan suatu kebudayaan yang bukan pilihan para dewa, maka pilihan itu kemudian dianggap budaya recehan, budaya jeprut, budaya picisan, dstnya (middlebrows culture atau budaya jelata). Budaya adiluhung selalu diikuti dengan narasi pelestarian budaya (suatu perspektif khas dari paham fungsionalisme).

Sedangkan, kebudayaan yang dengan optimis disebut oleh Hikmat sebagai 'Seni Budaya Indonesia senyatanya' itu tampak cenderung pada yang fenomena ketiga, yaitu fenomena kebudayaan yang sedang hidup sekarang, dan selama manusia hidup ya pastinya secara cergas (dinamis) pasti akan hidup. 

Budaya kekinian ini terkait akan diikuti dengan narasi perlindungan (perspektif fungsional-strukturalisme); pengembangan (perspektif evolusi budaya); dan pemanfaatan (perpektif pragmatisme dan sering diikuti oleh perspektif Struktural). Perlindungan kadang sangat 'kebarat-baratan', alias copy right banget. Pada latar kesenian Nusantara, maka yang lebih banyak terjadi adalah copy-left, alias berbagi. 

Ini yang menarik, pada fenomena yang ketiga ini (ekonomi kreatif tea sekarang mah) harusnya'kental' berada pada ranah copy-left (berbagi, sharing, viral). Namun ada syaratnya agar budaya copy-left (warisan nenek moyang kita) bisa menghidupkan 'budaya', yaitu kita harus sibuk mencipta. Jadi bila kita tidak sibuk mencipta, maka kita kan sibuk meng copy-right kan diri kita. Pada fenomena ketiga yang sangat ekraf ini, maka mental utama adalah sibuk mencipta: "Kartika memang malu malu, pakai sabuk merah bata".... cakeppp... "Ketika orang lain meniru, kita sibuklah mencipta".

Artinya, pada fenomena ketiga kata pembinaan perlu dimaknai dengan hati hati. Pembinaan itu untuk mental sibuk mencipta, bukan pembinaan dalam arti 'mengatur' apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Bukan membina apa yang bagus, mana yang bagus. Karena istilah pembinaan pada UU Pemajuan Kebudayaan, sepertinya cenderung kembali pada perspektif fungsionalisme seperti pada narasi pelestarian nya Radhar.

Perspektif Hikmat memang sangat bernuansa ide-ide Pemajuan Kebudayaan, yaitu budaya berkembang seperti apa adanya saja (pada tulisan Hikmat disebut 'strategi bottom up'). Itu benar, biarkan budaya berkembang sesuai pilihan jaman dan masyarakat pendukungnya. Namun, sayangnya kemudian pemerintah dalam latar Pembinaan mengajukan Indeks Pemajuan Kebudayaan yang nuansanya top-down. Bagaimana mungkin kebudayaan pilihan sendiri kemudian di-indeks-kan secara nasional. Ini sama dengan mengadirkan kembali 'konsep' pendewaan.

Radhar dan Hikmat jelas membahas dua fenomena kebudayaan yang berbeda. Saya memang tidak setuju dengan kesekaratan budaya yang diajukan Radhar, namun Radhar sejatinya ingin bicara modal budaya yang Nusantara banget (adiluhung masa lalu), kebudayaan yang mempunyai ciri khas dan berakar ke modal sendiri. 

Hikmat tidak bicara pada pelestarian budaya adiluhung masa lalu, namun bicara pada pragmatisme budaya yang sedang hadir sekarang.  Saya disini tidak setuju pada pendapat Hikmat yang seperti 'alergi' pada narasi pelestarian.  

Sebagai catatan, baik tuan Radhar, tuan Hikmat maupun tuan Pemajuan Kebudayaan masih malu malu dalam menyentuh fenomena pertama, yaitu melestarikan wujud budaya masa lalu, tanpa (merasa) perlu menghadirkan idea dan tindakan budayanya. Apalagi fenomena pertama ini sudah terundang undangkan sebelum UU Pemajuan Kebudayaan (2017), yaitu Undang undang Cagar Budaya (2010) dan Undang undang Hak Cipta (2014) khususnya pasal Ekspresi Budaya Tradisional dan Ciptaan. 

Pada kedua undang-undang 'lama' itu, topik utamanya adalah melestarikan budaya. Artinya, sebenarnya tidak ada salahnya bicara pemajuan budaya seperti Hikmat, sekaligus juga bicara pelestarian budaya seperti Radhar. Toh kedua perspektif itu sama sama sudah terundang-undang kan di Indonesia.

Oleh karena itu, para akademisi budaya seperti teman teman di Perguruan Tinggi, perlu menatap semua lini, memahami semua perspektif. Tetap merdeka pikirannya, tetap terbuka pada pemikiran apapun dan terhadap pemikiran siapapun. Jangan sampai terkotak-kotak, tidak perlu harus memihak pemerintahan yang 'sedang' berkuasa atau yang 'sedang' populer. 

Akademisi tetap dituntut berfikir merdeka dan mengakar, sehingga keilmuan berkembang dari modal akar yang kuat (ber ciri khas) dan menghasilkan kehidupan yang merdeka (inovatif). Kebudayaan itu bisa dari masa lalu, masa kini atau masa depan, alias Atita, Nagata dan Wartamana. 

Di Merdeka kan saja pilihan pilihan pemikiran budaya itu.

Semoga Akademisi tetap me-Merdeka-kan diri dalam berfikir..., dan jadi matahari kebudayaan yang menerangi semua yang gelap

Hidup Budaya Merdeka..!!!

PindiS

Akademisi FSRD ITB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun