Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Yustinus Kaize dan Sekolah yang Reot di Bine

10 Mei 2019   15:08 Diperbarui: 10 Mei 2019   17:51 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru Yustinus Kaize di depan rumahnya di Bine, Selasa, (09-04-2019). |Dokumentasi pribadi

Misalnya, di kampung Bine, hanya ada satu kopel rumah guru. Semua guru tinggal di rumah sempit tersebut. Apabila tidak ada rumah guru, bagaimana guru bisa betah tinggal di kampung dan mengajar anak-anak? 

Pemerintah bicara bahwa guru harus tinggal di kampung, tanpa menyiapkan rumah guru sehingga para guru tetap tinggalkan tempat tugas mereka. Akibatnya, anak-anak tidak bisa mendapatkan pengajaran dari para guru.

Para guru yang ditempatkan di SD Inpres Bine tidak aktif mengajar. Hanya kepala sekolah, guru Yustinus Kaize dan istrinya, Mama Frederika Ganadi yang aktif mengajar. Mama Frederika sudah pensiun, tetapi karena guru lain tidak aktif sehingga dirinya harus tetap mengajar. Bagaimana membayangkan sekolah dasar di kampung tanpa guru? Apa yang akan terjadi pada anak-anak Asmat di masa depan?

Kondisi paling kritis adalah rendahnya tingkat kesadaran orangtua untuk menyekolahkan anak-anak. Orangtua membawa anak-anak ke hutan pada saat mencari gaharu. Demikian halnya, ketika mereka ke dusun untuk mencari makan, mereka membawa anak-anak. Akibatnya, anak-anak tidak bisa sekolah.

Permasalahan orangtua membawa anak-anak ke dusun merupakan permasalahan klasik, narasi lama yang terus terulang di Asmat. Orangtua membawa anak-anak ke dusun atau hutan karena dua alasan. 

Pertama, kalau mereka tinggalkan anak di kampung untuk sekolah, siapa akan memperhatikan makan dan minum anak-anak? Kedua, guru tidak ada di kampung sehingga sekolah tutup. Daripada, anak-anak terlantar di kampung mereka memutuskan membawa anak-anak ke dusun. Di sana, mereka mengajari anak-anak mencari makan.

Apa pun narasi pendidikan sekolah dasar di Asmat, orangtua memegang peran sentral dalam pendidikan anak-anak. Bagaimana menyadarkan orangtua supaya mengarahkan anak-anak pergi ke sekolah? Bagaimana menyadarkan orangtua bahwa setiap pagi, sebelum anak-anak ke sekolah mereka harus sarapan terlebih dahulu? Siapa bertugas menyadarkan orangtua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak Asmat?

Pada titik ini, Gereja memiliki peran sentral. Gereja sebagai pihak yang telah membawa orang Asmat berjumpa dengan "peradaban baru" harus hadir dan menuntun kawanan dombanya, umat Allah serta mengarahkan anak-anak supaya sekolah. 

Gereja, melalui para gembalanya, Pastor, dan Pendeta harus hadir di kampung (stasi), berdiskusi dengan warga masyarakat (jemaat/umat), pemerintahan kampung, tua-tua adat (wayir) dan para guru untuk bersama-sama mencari jalan keluar terbaik supaya anak-anak bisa sekolah.

Proses belajar mengajar di kampung-kampung terpencil di Asmat, sebagaimana di SD Inpres Bine akan berjalan lancar apabila pemerintahan kampung, tua-tua adat, para guru, Pastor dan Pendeta bisa membangun kemitraan dalam pengelolaan sekolah dasar di kampung.

Apabila para pihak tersebut berjalan sendiri-sendiri, maka dapat dipastikan bahwa proses belajar mengajar tidak akan efektif. Karena itu, Gereja, melalui Pastor dan Pendeta harus pro aktif hadir di kampung (stasi) dan mendorong pemerintahan kampung, warga masyarakat, para guru untuk senantiasa menghidupkan sekolah dasar di kampung yang seringkali mati suri. [Agats, 9 April 2019].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun