Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fanatisme Membunuh Rasionalitas

12 Juni 2019   01:03 Diperbarui: 12 Juni 2019   01:20 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ibhseayeon.wordpress.com

Masyarakat kian terpolarisasi, fanatisme politik pun telah mereduksi esensi kritik dan membunuh rasionalitas. Perhelatan Pemilu sudah berlalu. Presiden dan Wakil Presiden terpilih sudah diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum. 

Namun, masih segar dalam ingatan peristiwa - peristiwa yang secara gamblang menunjukkan betapa masyarakat telah terpolarisasi dan terdikotomikan akibat pandangan dan pilihan politik yang berbeda di tengah masyarakat. 

Terdikotomikannya masyarakat akibat pandangan serta pilihan politik yang berbeda seyogianya bukanlah merupakan hal yang serta merta negatif. Pandangan politik yang berbeda tersebut seharusnya bisa melahirkan beragam gagasan yang berbeda namun tetap bermuara pada kemajuan dan pertumbuhan negara, serta mendewasakan semua pihak dalam berdemokrasi. 

Perbedaan pandangan politik dalam konteks demokrasi yang sehat seharusnya bisa melahirkan pemerintah yang baik dan juga diimbangi oleh oposisi yang beroposisi dengan baik pula. Baik pihak pemerintah maupun pihak oposisi sama - sama membangun negara ke arah yang lebih baik. Dikotomi tersebut menjadi tidak baik manakala yang diciptakannya adalah pemerintah yang otoriter dan oposisi yang anarkis. 

Dikotomi tersebut juga menjadi sangat tidak sehat ketika yang dihasilkannya adalah masyarakat yang terpecah belah dan mengubur dalam - dalam rasionalitasnya demi mendukung para pemimpin pilihan mereka secara total dan loyal. 


Loyalitas dan totalitas inilah yang kemudian bertransformasi menjadi fanatisme yang pada akhirnya mengesampingkan pikiran rasional. Dalam konteks seperti disebutkan diatas, masyarakat yang mendukung rezim pemerintahan sah yang sedang berjalan cenderung mengiyakan dan mengaminkan semua kebijakan -- kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut secara mutlak dipandang sebagai upaya pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat sekalipun realita berkata lain. 

Masyarakat pendukung fanatik pemerintah ini seolah menutup mata terhadap kelemahan -- kelemahan pemerintah. Bahkan, secara ekstrem, dapat dikatakan bahwa masyarakat bisa melihat kelemahan tersebut sebagai kelebihan dan kekuatan pemerintah. 

Apa pun kebijakan pemerintah, apa pun yang dikatakan oleh pemerintah, dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat pro-pemerintah. Secara berkelakar, beberapa orang mengatakan bahwa; pemerintah bernafas saja, dianggap benar oleh mereka yang mendukung pemerintah secara berlebihan.

Di lain pihak, ada masyarakat kontra-pemerintah atau oposisi yang merupakan kebalikan dari masyarakat pro-pemerintah. Jika yang pro-pemerintah menutup mata terhadap kelemahan -- kelemahan pemerintah, maka yang kontra-pemerintah adalah pihak yang menutup mata terhadap kebaikan -- kebaikan pemerintah. 

Segala kebijakan pemerintah, apa pun yang dikatakan oleh pemerintah, oleh masyarakat yang kontra-pemerintah dianggap sebagai sebuah kebohongan, kedzaliman, dan tipu daya pemerintah kepada masyarakat. Hal ini menandakan bahwa obyektivitas masyarakat yang terbagi menjadi dua kubu itu telah tergantikan dengan subjektivitas. 

Kubu yang kontra-pemerintah sudah lebih dahulu menanam benih kebencian terhadap pemerintah, sehingga tidak jarang kalau kritik yang mereka lontarkan tidak lagi berdasarkan fakta dan data, melainkan berdasarkan ketidaksukaan terhadap subjek- subjek tertentu yang berada di pemerintahan. 

Selain itu, narasi - narasi sentimental yang dibangun oleh kubu oposisi turut mendorong kubu kontra untuk "menyerang" pemerintah. Di sisi lain, kubu yang pro-pemerintah juga sudah lebih dahulu berprasangka terhadap oposisi, sehingga mereka cenderung sangat defensif dengan terus mengumbar kinerja - kinerja pemerintah yang diklaim telah terlaksana dengan baik, yang seyogianya hal tersebut memang merupakan tugas pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat dari seluruh lapisan.

Saya akan mengangkat dua peristiwa yang terjadi belakangan ini untuk lebih menjelaskan dan memperkuat opini saya diatas. Kendati demikian, penitikberatan tulisan ini tidak terletak pada peristiwa yang dimaksud, melainkan pada respons publik terhadap peristiwa tersebut.

Peristiwa pertama adalah aksi massa pada tanggal 21 -- 22 Mei yang berlangsung di depan Kantor KPU Pusat dan di beberapa titik di Jakarta. Aksi tersebut tentu menyisakan pilu bagi bangsa Indonesia mengingat kerugian yang ditimbulkan berupa korban jiwa dan kerugian material lainnya. 

Pada saat aksi tersebut berlangsung, dikotomi masyarakat seperti sudah dijelaskan diatas termanifestasikan melalui dukungan terhadap massa yang melakukan aksi dan kepada aparat POLRI-TNI yang melakukan pengamanan. 

Tidak sedikit kubu kontra yang menghujat aparat POLRI-TNI sebagai alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Bahkan, beberapa video hoax yang menyudutkan pihak aparat sempat beredar di media sosial. Contohnya adalah video pengarahan Kapolri yang di cut sehingga memelintir substansi yang disampaikan oleh Kapolri dalam video tersebut. 

Ada pula video kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil yang ternyata bukan aparat POLRI-TNI, namun di dubbing dengan bahasa Indonesia sehingga peristiwa tersebut seolah -- olah terjadi di Indonesia dan dilakukan oleh aparat POLRI-TNI. Selain itu, beredar pula video yang memperlihatkan selongsongan peluru yang diduga berasal dari senjata aparat dan dikaitkan dengan kematian beberapa peserta aksi. 

Respons masyarakat terhadap peristiwa ini pun langsung terbagi dua. Banyak masyarakat kontra-pemerintah yang terprovokasi oleh video hoax tersebut dan langsung menuduh pemerintah sebagai rezim yang otoriter tanpa mengumpulkan bukti - bukti otentik untuk membenarkan tuduhan itu, dan tidak sedikit pula masyarakat pro-pemerintah yang kokoh mendukung pemerintah dan aparat keamanan dengan mengatakan video-video yang beredar tersebut merupakan hoax dan direkayasa untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. 

Padahal, sebenarnya ada banyak tindakan alternatif yang dapat diambil oleh masyarakat. Sebagai contoh; mengenai video pengarahan Kapolri yang membenarkan bawahannya untuk menembak masyarakat, bisa disikapi dengan cara mendesak pihak kepolisian untuk segera mengklarifikasi video tersebut alih - alih menghujat pihak kepolisian di satu sisi dan mendukungnya di sisi yang lain. 

Hal ini membuktikan masyarakat lebih mengedapankan perasaan sentimentalnya daripada melakukan upaya - upaya yang lebih dewasa dan rasional. Contoh lain mengenai penemuan selongsongan peluru yang diduga milik aparat. Seharusnya masyarakat bisa menyikapinya dengan mengumpulkan penemuan - penemuan di lapangan, kemudian mendesak pemerintah serta pihak kepolisian untuk melakukan uji balistik guna mencari tahu asal - usul peluru tersebut alih -alih mengecam pemerintah serta kepolisian sebagai diktator di satu sisi, dan di sisi lain, kubu yang pro-pemerintah bertahan dengan argumennya bahwa aparat yang mengawal berlangsungnya aksi tidak diperlengkapi dengan peluru tajam. 

Dengan kata lain, baik masyarakat yang pro-pemerintah maupun masyarakat yang kontra-pemerintah sama - sama menutup kemungkinan - kemungkinan lain yang lebih rasional hanya untuk memuaskan sentimentalitasnya.

 Peristiwa kedua, yang juga berkaitan dengan peristiwa pertama adalah kebijakan pemerintah untuk membatasi penggunaan media sosial selama beberapa hari dengan alasan persatuan dan keamanan. Secara lebih spesifik pemerintah juga mengutarakan alasan pembatasan tersebut adalah untuk membendung arus hoax. 

Sama seperti peristiwa pertama, peristiwa ini juga memunculkan dua pandangan, yakni yang pro-pemerintah mendukung serta yang kontra-pemerintah menentang, dan seperti sudah dijelaskan diatas, baik dukungan maupun tentangan tersebut sama-sama berangkat dari subjektivitas. 

Sementara di sisi lain, diskursus mengenai dampak praktis yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut, maupun mengenai muatan-muatan ideologis dalam kebijakan tersebut menjadi terabaikan. Pada akhirnya, perubahan secara menyeluruh dapat dicapai melalui pembelajaran tiada henti serta kesadaran semua pihak, terutama para elit politik yang berdasarkan kedudukannya, seharusnya bisa menjadi influencer untuk hal-hal yang lebih baik dan membangun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun