Mohon tunggu...
paulus londo
paulus londo Mohon Tunggu... -

Aku bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Nature

'Sampah Kampanye' Tanggung Jawab Siapa ?

21 November 2012   11:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:55 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Catatan Pemilu 2009

“Sampah Kampanye” Tanggung Jawab Siapa ?


Kegiatan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu Legislatif, Pemilukada, dan Pilpres), sejatinya bisa jadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat, termasuk dapat menanamkan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Namun hal ini tampak cenderung tidak mendapat perhatian. Kita tentu berharap dalam rangkaian Pemilu yang sudah mulai bergulir saat ini (Pemilukada hingga Pemilu Legislatif dan Pilpres 2014), hal tersebut tidak terulang kembali. Karena itu, berikut ini disajikam beberapa catatan yang dipungut pada Pemilu 2009 untuk dapat dijadikan pelajaran.

Pada kampanye Pemilu 2009 sebagaimana sering terjadi, juga mewariskan pemandangan tak elok, yakni banyaknya sampah dari sisa media promosi di berbagai sudut kota. Di tiang-tiang listrik, selalu tersisa potongan kain lusuh dan sudah tercabik-cabik menggantung tak beraturan, bekas bahan spanduk yang terbelit tali. Sementara dinding halte dan beberapa fasilitas umum, terdapat sisa-sisa tempelan poster, stiker saling bertumpang tindih. Potongan terpal bekas baliho serta kayu-kayu penyangganya pun terlihat yang dibiarkan bertengger di tengah kota jelas menyajikan pemandangan menyesakkan.

Terjadinya peningkatan volume sampah pada masa kampanye di sebagian besar kota di tanah air memang merupakan konsekuensi logis dari tingginya pemanfaatan ruang terbuka untukkegiatan-kegiatan promosi politik, seperti pemasangan spanduk, penempelan poster dan stiker, pembagian brosur hingga penggelaran rapat umum dan pawai yang kerap diikuti oleh ribuan peserta.

Pemantauan di Kota Bandung, pada kampanye Pemilukadalima tahun silam misalnya, menurut sumber di Pemerintah Kota volume sampah meningkat rata-rata di atas 5% persen dari biasanya yang rata-rata 7.500 kubik per hari. “Di masa kampanye, kenaikan volume sampah yang mencolok umumnya terjadi di sekitar di lokasi yang biasa dipakai untuk rapat umum seperti di Lapangan Gasibu dan Lapangan Tegalega,”kata dia.

Meningkatnya volume sampah pada masa kampanye Pemilu juga diakui oleh seorang rekan di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Pemerintah Kota Surabaya. "Pada Pemilu dulu, sejak kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) berlangsung selama sepuluh hari, volume sampah di Kota Surabaya cukup meningkat,” kata dia tidak merinci jenis sampah dari kegiatan kampanye Pileg tersebut.

“Kalau angka pastinya, saya belum menyimpulkan, tapi peningkatan volume sampah selama masa kampanye sudah bisa dilihat dari banyaknya sampah berserakan di berbagai tempat dan meningkatnya aktivitas serta jumlah petugas kebersihan yang dikerahkan. Selain itu, sampah yang dihasilkan dari kegiatan kampanye umumnya merupakan produk yang bisa didaur ulang, sehingga tidak terlalu merepotkan," kata dia.

Dulu, sewaktu Dr Sylviana Murni menjabat Walikota Jakarta Pusat, juga mengakui terjadinya peningkatan volume sampah yang signifikan di wilayahnya selama masa kampanye (Suara Akar Rumput 2009). Sampah-sampah itu banyak berserak di jalanan yang dilalui para kontestan pemilu 2009. Tapi, pada waktu itu sebelum masa kampanye tiba, ia melalui siaran pers mengingatkan semua peserta Pemilu agar tidak membuang sampah sembarangan. Diingatkannya pula bahwa membuang sampah sembarangan adalah perbuatan tidak terpuji dan bisa berdampak pada perolehan suara. Karenanya ia mengingatkan para tim sukses dan pimpinan Parpol agarmengendalikan para simpatisan dan ikut berusaha menjaga kebersihan kota.

“Kami mohon para unsur pimpinan Parpol mampu mengendalikan anggota maupun para simpatisannya untuk tidak membuang sampah sembarangan selama masa kampanye.

Di DKI Jakarta, penanganan kebersihan di jalan-jalan memang sudah menjadi tugas pokok dan kewajiban aparat Suku Dinas (Sudin) Kebersihan. Tapi tentu bukan berarti warga boleh seenaknya membuang sampah di sembarang tempat apalagi di badan jalan. Tindakan seperti ini merupakan perbuatan yang tidak terpuji yang dapat merusak citra Jakarta yang tengah giat menciptakan kebersihan dan keindahan kota.

Gelimang sampah dari kegiatan kampanye pada Pemilu 2009 juga terjadi di Kota Tomohon Sulawesi Utara. Sampah-sampah berserakan di tempat-tempat umum selalu terjadi setiap kali para kontestan menggelar kampanye rapat umum dengan menghadirkan ribuan massa pendukung. Beberapa media lokal melaporkan bahwa, banyak sampah bertebaran di kota ini, terutama di sekitar lokasi pelaksanaan kampanye.

Kotoran itu didominasi bekas aqua gelas dan botol, kertas-kertas pembungkus makanan dan berbagai atribut kampanye. Tak hanya di lapangan. Tapi juga di jalan-jalan yang dilaluimassa saat mereka melakukan konvoi. Tidak sedikit sisa-sisa sampah ditemukan berceceran di badan jalan sehingga menyajikan pemandangan yang tidak sedap.Kenyataan ini jelas kontraproduktif dengan Program Clean and Green City, yang dicanangkan oleh Pemkot Tomohon saat itu.

Fenomena sampahyang muncul darikegiatan kampanye memang merupakan kenyataan yang umum terjadi hampir di semua kota di tanah air. Kuatnya keinginan para kontestan pemilu untuk meraih dukungan yang maksimal dari masyarakat, menyebabkan para konstestan berlomba-lomba melipatgandakan pemasangan berbagai atribut promosi dan propaganda di ruang-ruang publik. Pada hal disadari atau tidak, kebiasaan “berkampanye” seperti ini pada akhirnya menghasilkan sampah yang mengotori kota.

Selain itu, pemasangan media kampanye luar ruang seperti, spanduk, bendera, billboard, poster, dan sebagainya yang bercampur baur dengan media iklan, seperti papan-papan promosi rokok, minuman dan sebagainya di tiang-tiang listrik tidak hanya mengganggu keindahan dan kebersihan kota juga kenyamanan visual masyarakat. Bahkan, pemasangan media kampanye yang seperti ini kerap memicu terjadinya kecelakaan di jalan raya karena beberapa diantaranya menutupi rambu-rambu lalulintas.

Sampah sebagai dampak negatif dalam kegiatan kampanye pada akhirnya menjadi beban masyarakat dan pemerintah. Di Kota Bandung, misalnya, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi penumpukan sampah di ruang publik setiap usai kampanye, Pemerintah Kota Bandung sengaja membentuk “tim buser” dengan anggota20 orang/tim yang bertugas bersiaga melakukan pembersihan sampah di lokasi-lokasi kegiatan kampanye. “Dengan adanya tim buser, maka lapangan yang dipakai kegiatan kampanye langsung dapat dibersihkan pada hari itu juga,” ujar sumber di Pemerintah Kota Bandung.

Dengan cara ini, lanjut dia, meski volume sampah mengalami kenaikan, namun tidak sampai terjadi penumpukan di tempat pembuangan sementara (TPS) karena sampah langsung dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti di Kabupaten Bandung Barat.

Sedangkan di Surabaya, Pemerintah Kota Surabaya selain meminta agar setiap Panitia Penyelenggara Kampanye dari partai politik menyediakan tim kebersihan sendiri, juga menyiagakan sekitar 800 orang petugas kebersihan yang setiap saat dapat diterjunkan ke lapangan. Untuk itu DKP Kota Surabaya berkoordinasi dengan Bakesbang Linmas selaku pemegang otoritas di lingkungan Pemerintah Kota terkait pelaksanaan kampanye Pemilu.

Melalui koordinasi itu pula dilakukan sosialisasi program peduli kerbersihan kepada para pengurus parpol yang akan melakukan kampanye besar di Surabaya. Dengan demikian, saat kampanye berlangsung, pihak panitia juga menyiapkan tim kebersihan sendiri untuk membantu kerjaDKP. “Timdari kita (DKP) sudah dibagike lokasi-lokasi kampanye, dan mereka diinstruksikan untuk segera melakukan pembersihan sampah setelah kegiatan selesai," kata dia.

Peran Pemulung

Para petugas kebersihan mengaku, dalam mengatasi sampah sisa kampanye mereka sangat terbantu oleh kehadiran para pemulung. Apalagi sebagian besar sampah kegiatan kampanye merupakan bahan yang dapat didaur ulang. Menurut petugas kebersihan Kota Surabaya sampah yang bisa didaur ulang itu tidak serta merta langsung dibuang ke Tempat Pembuang Akhir (TPA) tapi lebih banyak transit ke karung-karung para pemulung. "Sampah kampanye itu kan hanya kardus, stiker, koran dan gelas Aqua. Sebelum dikumpulkan petugas kebersihan, sudah diamankan pemulung. Makanya saya tidak bisa menyebut peningkatan itu dalam bentuk angka," kata dia.

Bahkan, para pemulung yang kerap beroperasi di sekitar Stadion Mattoangin Makasar Sulawesi Selatan mengaku gembira dengan adanya “berkah” dari sisa kegiatan kampanye. Banyaknya sampaj plastik sisa jajanan para simpatisan yang berserakan di Lapangan Stadion Mattoangin, selalu mengundang kehadiran para pemulung dari anak-anak hingga orang dewasa datang untuk mengumpulkan dan memilah-milah sampah plastik dan kaleng-kelang bekas yang berserakan di lapangan yang digunakan kampanye.

Bekas pamflet dan stiker kampanye juga jadi rebutan mereka. Bahkan salah seorang pemulung yang tinggal di sekitar pemukiman kumuh TPA Antang Makassar, Sulsel mengaku sengaja ikut berkampanye dengan becak dan membawa karung besar agar sambil berkampanye bisa langsung memungut sampah-sampah berserakan untuk dimanfaatkan kembali.

"Hasilnya lumayan pak, selain dapat barang bekas. Saya juga dapat baju kaos dan makanan dari orang partai," ujarnya sambil menyusun barang yang telah dipungutnya seusai mengikuti kampanye salah satu pasangan Capres/Cawapres di Stadion Mattoangin.

Seorang pemuda yang mengaku asal Jeneponto Sulawesi Selatan mengaku ia sengaja menghentikan pekerjaan sebagai pengayuh becak, sebab memulung barang bekas jauh lebih menguntungkan selama kampanye dibanding menarik becak.

"Kalau penumpang susah sekali sekarang (tarik becak), banyak larangannya. Lebih baik saya kumpulkan kartun, plastik dan dus-dus bekas, banyak untungnya," tuturnya.

Dengan bawa becak, sehari paling dapat Rp20.000 dari dua tiga orang penumpang. Dengan memulung sampah kampanye, kata dia, bisa memperoleh sekitar Rp100.000 perhari. Menurut Daeng Gassing warga Makasar asal kabupaten Gowa, sampah bekas botol atau gelas air mineral itu dihargai Rp750 - Rp1.000 perkilo.Kardus, harga jualnya sekitar Rp500 per kilo.

Bagi dia tempatkampanye terbuka di beberapa titik di kota Makassar termasuk lapangan Stadion Mattoangin adalah lokasi yang memberi harapan mendapatkan tambahan rejeki bagi warga yang tidak mampu seperti dirinya.

Beberapa tempat yang juga menjadi lokasi kegiatan kampanye besar di kota Makassar adalah lapangan Emmy Saelan, Pacuan Kuda, Lapangan Bumi Tamalanrea Permai (BTP), Lapangan Bitoa, Barombong, lapangan Stadion Mattoangin dan Anjungan Pantai Losari, dan tempat strategis lainnya.

Jelang Masa Tenang

Saat paling merepotkan para petugas kebersihanadalah sehari menjelang “masa tenang” karena dalam ketentuan Peraturan Pemilihan Umum, semua ruang publik harus sudah bersih dari atribut kampanye. Sumber di Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta menuturkan bahwa pihaknya terpaksa mengerahkan sekitar 80 unit truk untuk mengangkut bekas atribut kampanye dari jalan-jalan dan ruang publik. “Sampah yang terangkut hanya jenis bendera, baliho, dan spanduk. Sementara yang kecil-kecil seperti poster dan pamflet agak sulit membersihkannya karena menggunakan lem,” kata dia.

Barang-barang bekas kampanye itu, sementara dikumpulkan di kantor-kantor kecamatan, untuk mengantisipasi kemungkinan ada pemiliknya datang mengambil barang-barang itu. Tetapi di banyak daerah para tim sukses dan Caleg (Calon Legislatif) cenderung tetap membiarkan membiarkan atribut kampanye terpampang di sejumlah tempat strategis. Bahkan, para kontributor di berbagai daerah melaporkan bahwa hingga sehari menjelang pencontrengan, jalan-jalan utama di sejumlah kota belum juga bersih dari atribut kampanye. Pemandangan ini terlihat mulai dari Aceh, Bengkulu, Sukabumi, Bandung dan beberapa kota lainnya, terutama karena berada agak jauh dari pantauan petugas berwenang.

Hal ini tentu tidak hanya merepotkan para petugas kebersihan, tapi juga Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang mengemban tugas menegakkan peraturan-peraturan Pemilu.

Beberapa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Nangroe Aceh Darussalam, misalnya, terpaksa membongkar paksa atribut-atribut tersebut. Bahkan Panwaslu juga mengancam akan menuntut para pemilik atribut kampanye tersebut ke pengadilan. Persoalan yang sama juga dialami Tim Panwaslu di Bengkulu yang terpaksa harus memanjat sejumlah baliho, untuk membersihkan poster partai dan para Caleg dengan peralatan seadanya.

Sedangkan di Kota Sukabumi, Jawa Barat, pembongkaran paksa dan pembersihan atribut kampanye juga terpaksa dilakukan oleh Panwaslu Kota Sukabumi, yang bekerjasama dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja dan mahasiswa. Mereka prihatin dengan ketidakpedulian peserta pemilu terhadap lingkungan maupun amanat undang-undang. (LS2LP)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun